Sekompok orang, laki-laki dan perempuan, berkerumun di depan pintu surga. Mereka tampak seperti sedang berunjuk rasa. Makin lama, kerumunan itu membesar jumlahnya, awalnya hanya puluhan, lalu ratusan, lalu ribuan.
“Hai-hai.. Tenang-tenang.. Tenang Saudara-saudara. Satu-satu bicaranya. Saya di sini cuma sendirian,” Malaikat Ridwan berusaha menenangkan massa.
“Saya tidak terima masuk neraka dulu,” kata seorang dari mereka.
“Betul. Pak Malaikat, Anda harus dengarkan kami,” kata yang lain lagi.
“Kami hidup di dunia sudah pahit, Pak Malaikat!” ibu-ibu teriak dari samping.
“Tenang-tenang, sekali lagi tenang. Silakan perwakilan kalian bicara yang jelas. Perkenalkan diri siapa kalian, apa maksud dan tujuan kalian. OK?” Malaikat Ridwan menenangkan kembali.
Lalu, satu di antara mereka maju, dan langsung berhadap-hadapan dengan Malaikat Ridwan. Tidak lama setelah itu, penjaga surga itu naik panggung dan bicara dengan lantang:
“Saudara-saudara, berdasarkan hasil obrolan tadi, saya mengerti nasib saudara-saudara sewaktu di dunia. Hidup kalian cukup pahit selama puluhan tahun menjadi guru honorer. Oleh karena itu, saudara-saudara diperbolehkan langsung masuk surga, tanpa dicuci dulu di neraka. Masuklah langsung ke surga dengan tertib, satu-satu…”
Ribuan orang, tenaga guru honorer bersorak-sorai di depan pintu surga. Mereka mengelu-elukan Malaikat Ridwan:
“Hidup Malaikat Ridwan!”
“Anda penolong kami, para guru honorer!”
“Terima kasih Pak Malaikat!”
Malaikat Ridwan menjawab mereka dengan kalem, “Sudah masuk dengan tertib. Jangan rame. Dan berterimakasihlah kepada Pak Mendikbud, Pak Muhadjir.. Beliau yang membuat kalian tak mampir neraka. Selamat menikmati surga…”