Telah dikatakan pada artikel sebelumnya bahwasanya bahasa yang bervariasi yang ada di dalam pesantren pada masa silam tidak hanya digunakan sebagai untuk mendalami agama seperti yang dilakukan pada bahasa Arab, tetapi lebih jauh lagi digunakan untuk berjejaring atau meluaskan pengaruh pesantren itu sendiri. Namun sangat penting juga untuk melihat bahasa-bahasa asing yang ada di dalam pesantren ini dalam proses masuk dan dampak yang diberikan ke dalam dunia pesantren.
Dalam sejarahnya, setidaknya terdapat empat bahasa asing yang cukup berpengaruh dalam dunia pesantren, yakni bahasa Arab, Persia, Turki hingga bahasa Cina. Semuanya dikatakan memiliki dampak yang cukup besar dalam dunia pesantren hingga masyarakat Nusantara secara umum.
Bahasa Arab
Telah dikatakan sebelumnya bahwasanya pada dasarnya bahasa Arab adalah bahasa wajib yang dipelajari sebab digunakan untuk memahami agama Islam. Namun dalam sejarahnya bahasa arab yang mulai masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan pada Abad ke-16 ini memiliki dampak yang cukup signifikan dalam persoalan penggunaan bahasa secara umum. Bahasa Arab yang masuk ke Nusantara jelas berbarengan dengan masuknya Islam itu sendiri, sehingga pemahaman agama Islam itu sedikit banyak mempengaruhi masyarakat.
Ahmad Baso (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa sejak masuknya Islam ke Nusantara, bahasa Arab membantu orang-orang Nusantara memaknai bahasa secara berbeda dari cara-cara masyarakat Hindu-Budha memaknai bahasa.
Sebelum Islam masuk Nusantara, bahasa keagamaan hanya digunakan sebagai mantra atau yantra, yakni sebagai alat untuk memfokuskan pikiran dan perasaan dalam semedi (meditasi) atau sebagai reseptakulum. Setelah kedatangan Islam, bahasa mulai bertransformasi. Berkat pengaruh bahasa Arab, berbahasa mulai identik dengan cara menafsirkan secara tepat. Ahmad Baso mengatakan bahwa para Wali Songo mengangkat istilah “patitis kang mardikani” yang semakna dengan ta’wil dan tafsir dalam Islam. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa sejak Islam masuk kekuatan magis atau yang dianggap supranatural dalam karya sastra telah ditinggalkan dan berpindah kepada menjadikan karya sastra sebagai objek yang mesti ditafsirkan dan dipahami. Hal ini selaras dengan semangat ilmu tafsir al-Qur’an dalam dunia Islam.
Bahasa Persia
Dikatakan oleh Tom Pires dalam penelitiannya bahwa pada Abad ke-16 di negeri Pasai orang-orang Bengali atau orang-orang India Bengali (kini Bangladesh) menggunakan bahasa Persia untuk berinteraksi dengan masyarakat Nusantara. Oleh sebab itulah menurut Ahmad Baso bahasa Bengali yang dimaksudkan di dalam Suluk Gatholoco adalah bahasa Persia. Sedangkan menurut Brakel dan Robson penerjemahan teks-teks berbahasa Persia ke dalam bahasa Melayu banyak dilakukan di Pasai sejak abad ke-14. Teks-teks yang banyak ditemukan adalah teks-teks yang berisi cerita atau hikayat, seperti teks Hikayat Muhammad Hanafiiyah yang merupakan kisah dari putra Ali bin Abi Thalib dan Hikayat Amir Hamzah yang merupakan kisah paman Nabi Muhammad.
Terdapat dua hal yang menjadi sumbangan yang amat penting terhadap dunia Pesantren dengan hadirnya bahasa Persia dan teks-teks Persia ini. Pertama, dengan hadirnya teks-teks cerita atau hikayat di atas kemudian mempengaruhi tradisi penulisan teks-teks baru dalam cerita, hikayat, babad atau serat dalam bahasa-bahasa Nusantara. Seperti teks Muhammad Hanafiyah yang mempengaruhi hadirnya teks-teks baru di Jawa dalam bentuk cerita-cerita si Jaka, kisah seorang yang berasal dari pinggiran atau santri dusun pengembara yang kemudian menjadi pahlawan bagi masyarakatnya.
Kedua, dengan adanya teks-teks berbahasa Persia, maka dapat dilakukan konstruksi dan reproduksi teks-teks moralitas kekuasaan atau Fiqh Siyasah. Salah satu contohnya adalah penerjemahan karya Imam Al-Ghazali yakni at-Tibru al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk yang awalnya ditemukan berbahasa Persia yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Ali Mubarak bin al-Mawhub al-Lahmi al-Adili. Itulah kedua sumbangsih penting masuknya bahasa Persia ke dunia Pesantren.
Bahasa Turki
Dalam penelitian Tom Pires dikatkan bahwa sejak abad ke-16 banyak orang Turki masuk ke Malaka dan kota pelabuhan lainnya di Sumatera. Ahmad Baso sendiri menjelaskan bahwasanya masyarakat Nusantara mengenal orang-orang Turki dengan sebutan “Rumi”. Pergaulan antara masyarakat Nusantara dengan orang-orang “Rumi” ini kemudian mengundang interaksi anak-anak bangsa untuk mempelajari bahasa mereka. Dan tentu bukan tanpa alasan kalau kalangan santri di Jawa, seperti digambarkan di dalam Suluk Gatholoco, juga menguasai bahasa tersebut.
Seperti kedua bahasa yang dibahas sebelumnya, bahasa Turki yang masuk ke Nusantara juga jelas memberi sumbangan besar ke dunia Pesantren. Salah satu sumbangannya adalah didapatnya pengetahuan militer, ilmu perang, ilmu persenjataan yang merupakan andalan dari Kesultanan Turki Usmani pada masanya. Ilmu-ilmu tersebut didapatkan di dalam teks-teks berbahasa Turki yang diterjemahkan pada abad 18 dan 19 ke dalam bahasa-bahasa Nusantara. Seperti karya Haji Bankatasi, komandan artileri Kesultanan Usmani yang berasal Anatolia, yang berisi berbagai soal tentang ilmu perang dan teknik persenjataan. Karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis dan Makassar pada abad ke-18.
Menurut Ahmad Baso, Bankantasi adalah ejaan Bugis-Makassar atas Haji Bektash, yang juga merupakan pendiri tarekat Bektashidan juga guru spiritual pasukan Janissaries Turki Usmani. Pengetahuan akan ilmu militer ini menjadi pegangan penting untuk mempertahankan diri dari musuh dan sekaligus sumbangsi penting masuknya bahasa Turki dan teks berbahasa Turki ke Nusantara.
Bahasa Cina
Di dalam Suluk Gatholoco dikatakan bahwa bahasa Cina juga menjadi salah satu bahasa yang dikuasai oleh para santri di masa silam. Terdapat berbagai teks berbahasa Cina yang masuk ke Nusantara yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Nusantara. Salah satunya adalah Serat Ang Dok yang berisi tentang kisah seorang Konghucu dengan seorang anak yang terkenal cerdas. Anak tersebut bernama Xiang Tuo atau Hang Thok (dalam bahasa Hokkian). Ahmad Baso mengatakan bahwa orang-orang Jawa mengadopsi nama tersebut dalam menerjemahkan teks ajaran Konghucu. Di dalam naskah terjemahan tersebut terdapat beberapa kosa kata yang sangat akrab dengan dunia pesantren, seperti koran, ngaji, langgar, ngaji kitab, dan santri, yang menunjukkan sebuah keakraban antar komunitas.
Dengan hadirnya teks-teks terjemahan dari teks berbahasa Cina dan bagaimana para santri menguasai bahasa Cina menjadikan tradisi pesantren menjadi lebih kaya serta membuka wawasan yang lebih luas, khususnya pada wawasan multikultural, meski sumber-sumber wawasan itu didapatkan dari agama yang berbeda. Pada sisi lain mempelajari bahasa Cina membantu mereka membangun komunikasi lintas komunitas. Sebab komunitas pendengar pesantren di antaranya adalah mencakup orang-orang Cina Totok atau peranakan, maka kegiatan berbahasa Cina juga membantu memperkaya pemaknaan antar komunitas dan lintas peradaban dua bangsa.
Pada akhirnya setiap bahasa asing yang masuk ke dalam dunia pesantren memberikan sumbangsih yang besar, baik dari segi keilmuan hingga mempererat keakraban antar komunitas yang tidak memandang agama satu sama lain.