Bagaimana memahami Rumi dan sistem tasawufnya? Inilah problem besar yang hampir dirasakan pada setiap pengkaji Rumi. Hingga William pemikir sekelas C. Chittick, tidak berani membuat komentar berlebihan terhadapnya. Tetapi tidaklah mungkin kita dapat memenuhi renungan mistik Rumi tanpa sentuhan seni tafsir. Sebagaimana juga kita tidak mungkin memahami al-Qur’an yang jauh lebih misteri kecuali dengan tafsirnya.
Sebelum memasuki dunia Rumi yang lebih spesifik, ada sesuatu yang lebih general untuk melihat jalannya seorang sufi. Jalan sufi adalah jalan ke empat (sesudah jalan indera, jalan rasional, dan jalan filsafat). Jalan yang mampu membawa manusia ke dalam suatu dunia hidup yang bebas dari segala batas internal inderawi.
Jalan sufi itu akan mudah dipahami dengan melihat orang membedakan dua jalan mencapai dan memahami Tuhan dengan segala maksud ajarannya. Dimana orang-orang seringkali membedakan dua jalan Islam dalam mencari dan mendekati Tuhan. Yaitu jalan syari’at dan jalan sufi sebagai jalan kedua.
Jika jalan syari’at lebih memfokuskan diri pada prosedur, maka jalan sufi lebih terfokus pada kesadaran batin tentang kehendak kuat mengabadikan diri dan seluruh hidup hanya bagi Tuhan. Walaupun demikian, jalan sufi bukan berarti mengabaikan prosedur formal. Karena itu, jalan sufi seringkali nampak lebih lentur dan subyektif tanpa aturan baku yang berlaku umum bagi semua dari semua kelas sosial.
Sungguhpun tasawuf lebih menekankan pada aspek hakikat, tetapi dua dimensi lainnya; syari’at dan thariqat (ilmu dan amal) menjadi sangat penting sebagai entery point kepada kesadaran spiritual (hakikat). Dalam ajaran Rumi, mengenai tiga dimensi ini dapat dilihat bagaimana ketiganya memiliki wilayah kerja dan fungsinya masing-masing:
“Syari’at ibarat pelita, ia menerangi jalan. Tanpa pelita, kalian tidak dapat berjalan. Ketika sedang menapaki jalan, kalian sedang menempuh thariqat, dan ketika telah sampai pada tujuan itulah hakikat”. “Syari’at ibarat ilmu tentang obat. Thariqat adalah pengobatan. Dan hakikat adalah kesehatan yang tak lagi memerlukan keduanya”. “Manakala seseorang telah melepaskan diri dari kehidupan dunia ini, terlepaslah ia dari thariqat, dan hanya hakikat. Syari’at adalah ilmu, thariqat adalah amal, dan hakikat mencapai Tuhan”.
Dari penjelasan Rumi tentang integritas dimensi tasawuf, maka sesungguhnya Rumi sedang menegaskan pentingnya ilmu (syari’at), amal (thariqat), dan kesadaran spiritual (hakikat). Mengenai paham tentang tiga dimensi dalam tasawuf juga dapat ditemukan pada tokoh-tokoh lain dalam sejarah pemikiran Islam.
Dia menggunakan dasar tauhid sebagai pijakan dalam menerangkan hakikat Tuhan. Manusia dan keterciptaan alam. Dan pentingnya pengetahuan teoritis, pengamalan dan kesadaran batin. Yang lebih spesifik dari Rumi adalah bahwa, ia menerangkan pesan-pesan al-Qur’an, Hadis, dan ajaran sufi sebelumnya dengan lantunan puisi dan syair. Dimana tidak setiap orang dapat memahami secara langsung sebagaimana memahami tafsir al-Qur’an yang ditulis secara sistematis. Dan justru di sinilah banyak orang yang keliru memahami dunia Rumi.
Untuk keluar dari kesulitan memahami Rumi, William C. Chittick mengatakan: untuk dapat mengapresiasi Rumi secara utuh, orang harus membaca Rumi itu sendiri, bukan berbagai ulasan tentangnya sebagaimana diakui Chittick, Rumi tidak menulis ajarannya secara sistematis dimulai dari yang ringan hingga kepada persoalan-persoalan yang rumit atau berdasarkan tema-tema seperti al-Ghazali menulis Ihya Ulumuddin-nya. Melainkan ia langsung menyentuh pada inti-inti ajarannya. Artinya, sebuah pemahaman yang utuh terhadap salah satu ajaran-ajaran Rumi menunjukkan tingkat pemahaman terhadap seluruh ajarannya. Seorang pembaca hanya akan dapat memperoleh sesuatu yang dinilai dari syair Rumi jika ia telah memahami ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya.