Gus Dur punya stok humor gelap (dark joke) yang komplit, baik yang berkisah agama, etnis, dan tentu saja humor gelap yang menghina diri sendiri. Khusus dua hal yang disebut pertama, agama dan etnis, jika dijadikan humor bisa menyinggung, atau bahkan bikin marah sebagian pemeluk agama, atau etnis tertentu.
Tapi, hingga kini humor gelap Gus Dur awet. Soal kedekatan dengan Tuhan, misalnya, Gus Dur membandingkan antara orang Hindu, Kristen dan Islam. Orang Hindu memanggil tuhan dengan istilah Om, pemeluk Kristen dengan sebutan Bapa, nah orang Islam bagaimana, Gus? Boro-boro dekat, mau manggil Tuhan saja harus pake toa.
Silakan cari lagi soal Anak Tuhan Masuk Kristen, atau humor Kutang yang Bisa Dijadikan Topi Yahudi yang membuat Simon Peres, tokoh Yahudi terbahak-bahak.
Cerita ledekan Gus Dur pada Peres di bawah ini saya baca di Alif.ID. Humor itu lewat sanad sastrawan terkemuka Ahmad Tohari.
“Pak Peres, negeri Anda akan kaya raya jika mau mengimpor kutang dari Perancis,” usul Gus Dur pada Shimon Peres.
“Kenapa?” tanya Peres penasaran.
Imporlah kutang dari Perancis. Sesampai di Israel, kutang itu dipotong jadi dua,” Gus Dur menjelaskan. Peres makin penasaran.
“Nah, setelah dipotong jadi dua, baru dijual. Kutang yang aslinya hanya bisa dipakai satu orang, di Israel bisa dipakai dua orang, asal dipotong dulu. Dan itu artinya bisa mendatangkan untung lipat dua. Jangan lupa, tali-tali pengikatnya dibuang dulu,” jelas Gus Dur tambah panjang.
“Mana bisa kutang dipotong jadi dua dan mendatangkan untung berlipat???” tanya Peres. Rasa penasarannya makin menjadi-jadi.
“Ya kan kalau sudah jadi dua, namanya bukan kutang lagi. Kalian bisa memakai kutang sebagai topi untuk pergi ke tembok ratapan,” terang Gus Dur enteng.
“Hahahaha…hahahahaha….hahahaha…” kali ini Peres paham, dan langsung tertawa terpingkal-pingkal.
Topi Yahudi bernama Kipah. Bentuknya bulat. Dipakai oleh pendeta atau rabi. Diletakkan di atas ubun-ubun, agak ke bawah sedikit.
Ada juga humor Gus Dur soal Pastur yang Hendak Disantap Harimau, Sopir Mikrolet yang Masuk Surga Duluan Dibanding dengan Kiai dan Pastur, atau yang bersifat etnikal: Orang Madura dan Agama Khong Guan, dan Salam Horas Ala Jawa, serta Kondektur Metromini dari Batak.
Joke etnikal terakhir ini disampaikan Gus Dur ketika memberikan pengantar pidato kenegaraan menyambut HUT ke-55 Kemerdekaan RI di Sidang Paripurna DPR Agustus 2000. Sebuah acara resmi. Luar biasa. Serius tapi santai.
Di tengah-tengah pidato tanpa teks itu, Gus Dur bercerita tentang seorang kondektur bus asal Sumatera Utara yang bergelantungan di pintu bus. Ketika bus melaju kencang, rupanya sopir tak tahu kalau sang kondektur terjatuh tersenggol bus lain. Sang kondektur pun jatuh tersungkur, kepalanya langsung membentur jalan dan retak, napasnya sudah senin-kemis (terputus-putus).
Saat itulah datang seorang Betawi yang mencoba menolong kondektur yang sekarat itu. “Bang, nyebut Bang, nyebut,” katanya sambil mendekatkan mulutnya ke telinga kondektur itu.
Maksud orang Betawi ini agar kondektur yang sekarat tadi menyebut Syahadat La ilaaha illallah, sebelum meninggal. Tapi karena kondektur tadi bukan orang Islam, dia mengaitkan permintaan nyebut tadi dengan profesinya.
Maka sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, kondektur tadi nyebut, “Blok M-Depo… Blok M-Depo….”
Joke yang membuat anggota DPR terpingkal-pingkal.
***
Oke. Silakan cari humor gelap Gus Dur yang berceceran di internet. Seabrek, jumlahnya. Anehnya, sangat jarang, bahkan nyaris tidak ada yang kemudian tersinggung berat dengan humor yang sensitif ini. Kalau pelontarnya orang lain, saya haqqul yaqin bakal banyak yang sewot, marah, bahkan menggugat secara hukum segala.
Ada beberapa alasan mengapa Gus Dur santai saja melontarkan humor gelapnya, dan tidak khawatir ada yang tersinggung.
Pertama, Gus Dur sering meledek dan menertawakan dirinya, bahkan komunitasnya (santri, kiai, dan NU). Sangat banyak sekali humor yang menertawakan diri sendiri. Anda mungkin sudah hafal humor yang beliau lontarkan di hadapan Bill Clinton, Fidel Castro, Jacques Chirac, hingga Raja Fahd, dan lain sebagainya. Gus Dur meledek diri sendiri terlebih dulu, lantas melontarkan jokenya pada saat yang tepat. Meledaklah tawa para pimpinan negara ini. Jadi, lontaran humor ini tidak menimbulkan masalah, melainkan malah melahirkan keakraban antara kedua belah pihak.
Kedua, soal humor gelap yang sensitif, Gus Dur melesatkan humornya dalam suasana keakraban, kedekatan, dan kasih sayang sesama pemeluk agama, bukan atas dasar kebencian, fasisme dan rasialisme. Narasinya pas, sentuhannya tepat, dan dilontarkan dalam suasana dan momen yang pas. Dalam istilah Jawa, tahu empan-papan. Paham situasi dan kondisi.
Ketiga, Gus Dur paham psikologi massa. Gus Dur bisa membawakan humor dalam suasana maupun komunikasi komunal dengan teknik dan pilihan guyonan yang berbeda. Saat berceramah di hadapan ibu-ibu nahdliyyat di desa, maupun dalam pengajian umum, atau di depan acara resmi, maupun dalam seminar, pilihan humornya tidak sama. Teknik penyampaiannya juga berbeda. Disesuaikan dengan mustami’in-nya. Ini yang membuat kualitas humornya selalu segar dan tidak basi.
Keempat, humor gelap Gus Dur dilontarkan dalam rangka otokritik, mengkritik diri sendiri, mengkritik golongan sendiri. otokritik ini sangat penting, termasuk untuk kehidupan beragama, agar tidak sombong dan merasa benar. Dalam poin ini saya merasa harus menyebut Ustaz Abdul Samad (di poin nomor 1-3 sudah pengen menyebutnya, tapi saya tahan, di sini saja) yang harusnya meniru ini.
Saya sangat yakin, andai Gus Dur ditanya tentang salib dan patung, maka jawabannya bukan merendahkan keyakinan liyan, sambil menglorifikasi keyakinan sendiri. Terpaksanya merendahkan keyakinan orang lain, maka Gus Dur akan memakai jurus dan ilmu agar orang tertawa, bukan tersinggung, seperti humor-humor yang saya contohkan di atas. Kurang apa Gus Dur menghina Yahudi, tapi toh Simon Peres tidak tersinggung, sebaliknya, malah terkekeh-kekeh.
Karena itu, soal ledek-meledek dan humor gelap, Gus Dur adalah master. Maestro. Shifu. Mahaguru. Tidak bisa dikopipaste dan tidak bisa ditiru sembarangan. Humor sensitif yang dilesatkan dalam koridor cinta akan menimbulkan ledakan tawa dan keakraban.
Sebab kasih sayangnya melampaui ledekan dan candaannya. Sebagaimana ayah membercandai anak-anaknya. Hangat dan akrab. Wallahua’lam.
Kira2 menurut anda apa jawaban gus dur atas pertanyaan yg sama kepada uas ??? ?
Anda benar.. humor2 Gus Dur walaupun menyangkut perkara yg sensitif,tapi tdk prnh membuat publik marah.. saya seorang Kristen,tapi saya sangat respek dan mengidolakan beliau.. sangat di sayangkan Tuhan terllu cepat memanggil beliau pulang.. karena Indonesia masih sangat membutuhkan beliau.. Gus Dur seharusnya sangat layak mendapatkan gelar resmi dari pemerintah sbg pahlawan.. khususnya pahlawan kemanusiaan..