Seorang teman bercerita tentang betapa beratnya stigma yang dia dan keluarganya rasakan ketika ayah mertuanya terkonfirmasi positif Covid-19 dan harus dirawat di sebuah rumah sakit. Dia mengaku tekanan batin yang dia rasakan lebih berat daripada sang ayah mertua karena dia dan anggota keluarga yang lain harus menjalani isolasi mandiri di rumah.
Hampir seluruh tetangga sekitar tidak mau mendekat karena khawatir tertular. Bahkan yang menurutnya terasa paling menyakitkan adalah ketika dia mengetahui ada orang lain yang sengaja berhenti di depan rumahnya sambil memandang dari kejauhan dan seolah berkata, ‘Oh ini tho rumah orang yang kena Covid-19.’
Memang situasi pandemi seperti ini membuat masyarakat kita begitu mudah memberi stigma kepada orang lain berdasarkan kabar burung yang belum jelas kebenarannya. Akibatnya, stigma yang kadung diberikan tersebut harus ditanggung tidak saja oleh yang bersangkutan melainkan juga oleh orang-orang terdekatnya. Sebagai makhluk sosial, siapa yang tidak merasa tertekan jika dikucilkan oleh masyarakat di sekitarnya?.
Stigmatisasi yang diterima oleh mereka yang terpapar Covid-19 ini dalam taraf tertentu – meski tidak bisa disamakan persis – juga pernah (dan masih) dirasakan oleh saudara sebangsa kita. Sejarah bangsa ini pernah mencatat suatu peristiwa kemanusiaan yang kemudian melahirkan stigma dan perlakuan diskriminasi kepada sesama anak bangsa. Tragedi Kemanusiaan 65-66 adalah peristiwa yang mengakibatkan ratusan ribu jiwa terbunuh, jutaan lainnya harus dipenjara tanpa pengadilan, dan puluhan juta anggota keluarganya harus menanggung stigma dan mendapatkan perlakuan diskriminatif selama puluhan tahun.
Stigma yang disandang oleh para penyintas Tragedi 65-66 terjadi akibat kebijakan Orde Baru pada waktu itu yang menyematkan berbagai atribut negatif kepada mereka seperti atheis, pengkhianat bangsa, pembunuh yang keji, musuh Islam, dan sebagainya. Berbagai stigma tersebut sengaja diciptakan oleh rezim Orde Baru untuk menjadikan PKI sebagai satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pembunuhan para jenderal pada tanggal 30 September 1965.
Stigmatisasi yang terjadi pada masa itu dapat secara mudah menyebar kepada masyarakat luas karena saluran informasi seperti radio dan koran telah ‘dikuasai’ oleh rezim. Akibatnya, masyarakat hanya bisa menelan semua informasi yang diterima nyaris tanpa informasi penyeimbang. Ditambah lagi, rezim Orde Baru melanjutkan stigmatisasi terhadap penyintas Tragedi 65-66 melalui film dan buku-buku pelajaran di sekolah. Stigma tersebut kemudian diikuti dengan kebijakan dan peraturan serta perlakuan diskriminatif yang dilakukan baik oleh negara maupun oleh masyarakat.
Kebijakan dan peraturan diskriminatif tersebut antara lain pelarangan anak keturunan orang yang dituduh terlibat PKI untuk menjadi PNS, TNI/Polri dan beberapa profesi strategis lainnya, pemberian kode khusus (OT) pada kartu identitas para penyintas, hingga tidak terdatanya mereka pada program-program jaring pengaman sosial (BPJS, PKH, dsb). Sedangkan perlakuan diskrimatif yang terjadi di level masyarakat antara lain tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, kekerasan verbal (hinaan, cemooh, caci-maki), pengucilan, dan lain sebagainya.
Era keterbukaan informasi dan kecanggihan teknologi komunikasi dewasa ini seharusnya dapat membuat masyarakat kita lebih melek informasi. Informasi-informasi yang dulu tergolong rahasia dan sensitif saat ini sudah bisa diakses oleh publik termasuk fakta-fakta sejarah tentang Tragedi 65-66 yang lebih jernih dan independen. Oleh sebab itu, kita tentunya berharap agar stigma yang terlanjur disematkan kepada penyintas Tragedi 65-66 dan keturunannya dapat mulai dikikis seiring dengan tersedianya informasi yang lebih berimbang dan mendengarkan suara para penyintas.
Namun di sisi lain, penyebaran kabar hoaks dan ujaran kebencian terhadap keturunan para penyintas Tragedi 65-66 juga masih sering kita temui khususnya melalui media sosial seperti pesan Whatsapp, tayangan YouTube dan unggahan di Facebook atau Twitter. Informasi yang menyebar secara cepat dan nyaris tanpa filter tersebut menyebabkan masyarakat mudah terprovokasi terutama pada hari-hari menjelang peringatan Tragedi 65-66 di bulan September ini untuk terus melanggengkan stigma negatif dan perlakuan diskriminatif terhadap penyintas Tragedi 65-66 dan keturunannya.
Tidak mudah memang untuk mengurai benang kusut yang telah menjadi sejarah kelam bangsa ini. Stigmatisasi semacam ini harus dihentikan karena berpotensi memecah-belah masyarakat dan tidak ada jaminan tidak akan terulang kembali pada peristiwa atau kasus yang lain. Hal ini sudah mulai terlihat pada pemberian stigma kepada para pasien Covid-19 dan keluarganya akhir-akhir ini. Penolakan terhadap penguburan jenazah pasien Covid-19 yang terjadi di beberapa daerah jelas menjadi salah satu bentuk stigmatisasi tersebut.
Tragedi 65-66 merupakan sejarah yang belum selesai bagi bangsa kita karena hingga saat ini masih ada di antara saudara sebangsa kita yang terampas hak asasinya tanpa ada pengakuan dari negara. Pilihan ada di tangan kita saat ini, akankah terus melanggengkan stigma dan diskriminasi tersebut atau berusaha untuk duduk bersama menyambung yang putus dan memulihkan yang retak di antara sesama anak bangsa?