Sedang Membaca
Membaca Ayat-Ayat Misoginis: Tafsir Klasik dan Modern

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang suka ngopi dan diskusi. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Ogan Komering Ilir Sum-Sel.

Membaca Ayat-Ayat Misoginis: Tafsir Klasik dan Modern

Sebelum jauh membaca ayat-ayat misoginis, penulis coba sedikit menyinggung definisi misoginis. Dalam kamus Ilmiah ada tiga padanan kata; pertama misogin berarti membenci perempuan, kedua misogini bermakna perasaan benci terhadap perempuan, dan ketiga misoginis laki-laki yang benci terhadap perempuan. Hemat penulis, pemahaman ayat-ayat misoginis berarti, secara kasat mata, kalam Tuhan ini lebih berpihak kepada laki-laki ketimbang perempuaan.

Penulis akan menawarkan dua tipologi mufassir klasik dan modern, untuk menelisik sejauh mana para mufassir ini membongkar ayat-ayat Tuhan atau sebagai studi komparatif. Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menurut sebagian kalangan berpihak pada laki-laki, di antaranya QS. al-Baqarah: 28. Dalam ayat ini minimalnya dua poin besar yang selama ini menjadi polemik, “wa lahunna mitslu al-ladzî ‘alaihinna bî al-mar’ȗf” dan “wa li al-rijâl ‘alaihinna darajah” dalam menafsiri potongan ayat ini, penulis mengambil imam Thabary dan Ibn Asyur sebagai pisau analisa.

Imam Thabari menuturkan dalam karyanya tafsir al-Thabary, diriwayatkan dari Dlahak: “jika mereka—para istri—taat kepada Allah dan suaminya, maka kebaikan akan selalu mengiringinya dan terhindar dari mara bahaya serta diberi nafkah yang sesuai dengan kemampuannya.” Selain itu riwayat lain menyebutkan dari Ibn Abbas yang mengatakan “aku suka mendandani istriku, sebagaimana aku suka sesaat kamu mendandaniku”. 

Jika interpretasi di atas dipahami secara implisit akan menarik kesimpulan hubungan timbal balik antara suami-istri, kedua belah pihak diharuskan mengerti hak-haknya, suami mempunyai hak terhadap istrinya begitu pula sebaliknya. Lebih lanjut imam Thabari menegaskan bahwa tetap ada hak-hak yang hanya dimiliki oleh salah satu dari keduanya tanpa mengurangi bagian lainnya.

Baca juga:  Aturan Al-Qur’an Mengenai Kerjasama Antar Umat Beragama

Sependek pembacaan penulis, terlalu datar jika hanya berpangku pada penafsiran imam Thabary, pasalnya beliau tidak menuturkan secara jelas akan pemaknaan “mitsluhunna”. Esensi utuh akan potongan ayat tersebut. Apakah kemudian hak-hak istri ini setara dengan suamniya? Di manakah letak pemetaan wilayah pembagian hak-hak di antara keduanya? penulis sendiri merasakan kekurangpuasan atas interpretasi di atas. Terlebih bila penafsiran tersebut dikontekstualisasikan dengan era kekinian, bukan memberi pemahaman lebih malah justru meninggalkan pertanyaaan besar.

Dari sini penulis mencoba menawarkan interpreter modern, yakni Ibnu Asyur, barangkali melalui penafsirannya akan memberikan banyak titik temu. Dalam karya monumentalnya ‘al-taḫrîr wa al-tanwîr’ ia memaparkan potongan ayat di atas sebagai berikut: istri mempunyai kewajiban terhadap suami seperti halnya suami mempunyai kewajiban terhadap istri, kepekaan ayat ini lebih cenderung menangggapi hak-hak istri ketimbang suami, pasalnya hak laki-laki terhadap istri sudah begitu familiar. 

Adapun hak-hak perempuan terhadap laki-laki belum ada yang terlalu peka bahkan cenderung abai, selalu memprioritaskan kaum Adam, hingga lahir Islam yang meproporsikan haknya secara utuh.

Kaitannya dengan hak-hak istri, Ibn Asyur mendedah kata “mitsluhunna”. Ia mengatakan bahwa sinonim dari “al-mitsl” itu adalah al-nazhr atau musyâbih,terkadang sebuah permisalan bisa jadi sama seutuhnya atau hanya sebagiannya saja. Objek permisalan pun adakalanya jelas hingga tidak membutuhkan pemahaman lebih namun juga terkadang samar yang akhirnya memerlukan pendedahan lebih lanjut. 

Baca juga:  Anjing dan Maqam Spiritual

Hemat penulis, bila dipahami lebih dalam, penyetaraan hak suami-istri di sini tidak pada seluruh ranah kehidupan, namun pada bagian-bagian tertentu. Terdapat hak atau kewajiban yang hanya dimiliki salah satu dari kedua pihak. Maka setara bukan berarti harus serupa, namun hak perempuan dan laki-laki berbanding lurus, misalnya saat suami berkewajiban menafkahi istri, sebagai penyetaraanya istri juga berkewajiban mendidik anak, menjaga rumah tangganya, argumen ini diperkuat dengan hadis Nabi Saw: “Suami menjadi pelindung bagi keluarganya dan istri betanggung jawab atas rumahtangganya.” 

Tentu dalam pendiskrispian ini, agar tidak menimbulkan pemahaman yang keliru; menafkahi hanya menjadi kewajiban seorang suami bukan sebaliknya. Pasalnya bila istri disibukkan dengan mencari nafkah, maka justru akan mengabaikan tugas rumah tangga yang seharusnya menjadi tanggung jawab seorang istri.

Poin selajutnya adalah dari petikan ayat “wa li al-rijâl ‘alaihinna darajah”, pemaknaan ‘darajah’ inilah yang oleh sebagian kalangan ‘disalahgunakan’, bahwa kaum pria memang mempunyai tingkatan lebih dari kaum wanita. Bahkan seorang feminis kiri mengklaim adanya konspirasi ulama terkait dengan penafsiran ayat tersebut, dengan pandangan ini penulis mencoba tak gegabah untuk sependapat dengan hal tersebut atau sebaliknya.

Berangkat dari sini, penulis mencoba menghadirkan interpretasi potongan ayat di atas dengan melakukan penafsiran banding untuk mencapai makna utuh.

Ibn Asyur dalam menafsirkan potongan ayat tersebut, memberi dua kata kunci; “al-rijâl” dan “darajah”, ia menuturkan kata “rijal”, tersirat dua maksud: pertama, untuk menangkis mereka yang beranggapan bahwa equality (persamaan) antara perempuan dan laki-laki berlaku dalam semua aspek. Kedua, untuk memberi batasan laki-laki terhadap perempuan bahwa hak prioritas yang mereka miliki bukanlah hak mutlak. Kemudian pemahaman akan “darajah”, bahwa Allah Swt menganugrahkan kepada kaum Adam berupa kelebihan akal dan badan.

Baca juga:  Meniti Jejak Pengaruh Al-Qur’an: Kajian Kitab Mafatih Tadabbur Al-Qur’an wa Al-Najah fi Al-Hayah

Jika penafsiran ini kita gabungkan dengan imam Thabary maka dapat disimpulkan, bahwa kaum Adam memang mempunyai tingkatan lebih dari pada wanita, akan tetapi prioritas meraka tidak menyeluruh, hanya dalam kadar tertentu. Separti di dalam jihad dan waris. 

Selanjutnya, saat Islam mewajibkan jihad hanya untuk laki-laki sebab laki-laki dibekali Tuhan dengan badan yang kuat, adapun bagian waris mereka lebih besar ketimbang istri karena suami memiliki kewajiban untuk menafkahi. Dengan demikian, adanya hak prioritas laki-laki bukan berarti Islam menutup mata terhadap hak perempuan.

Setelah menyelami sebagian kecil ayat misoginis di atas, ternyata anggapan sebagian kalangan yang mengatakan keberpihakan firman Tuhan tersebut tak dapat dibenarkan. Sebab dalil tersebut tidak mengindikasikan bahwa Islam menganaktirikan kaum Hawa, namun hadirnya Islam ditengah-tengah masyarakat justru mengangkat derajat, harkat dan martabat wanita. 

Bahkan persamaan pria dan wanita tidak hanya dalam amar ma’ruf nahi munkar saja, tetapi kaum perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan, berpolitik, bersosialisasi dan lain-lain. Hal ini senada dengan pemaparan Mahmud Syaltut bahwa Islam memposisikan perempuan sebagai mitra bagi kaum laki-laki, sehingga Islam menyamaratakan antara hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki. Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top