Hakim Mujtaba adalah salah satu ustaz di pondok pesantren. Ia tak pernah gagal menjalankan perannya sebagai ustaz. Sebab, berdasar testimoni anak didiknya (santri), setiap ajaran yang dilakukan tak pernah membosankan dan selalu bikin nagih. Jadwal satu jam setengah pun hampir tak pernah terasa. Baru mulai allahumanfa’ana bihi wa bi’ulumihi fiddaroini aamiin, tiba-tiba bel penanda selesai aktivitas ta’lim berbunyi.
Dalam proses ta’lim nya, ustaz Hakim ini memang kreatif. Ia punya segudang cara dalam membentuk santri untuk kritis dan aktif. Suasana ta’lim mampu diubah menjadi cair, menyenangkan, dan bermakna. Para santri yang diajar, hampir semuanya, tak memiliki rasa canggung dan berani mengutarakan apa yang ada dibenaknya.
Di suatu malam, setelah pemaparan materi selesai, ustaz Hakim membuka sesi tanya jawab. Salah seorang santri tanpa berpikir panjang langsung bertanya. Namanya, Rafadan.
“Ustaz, izin bertanya” gumam singkat Rafadan sambil mengangkat jari telunjuk ke atas
“Ya Rafadan, silahkan” jawab ustaz Hakim
“Begini ustaz, petanyaannya mungkin tidak sesuai dengan materi yang dibahas kali ini. Apakah boleh, tidak apa-apa?” imbuh Rafadan.
Ustaz memberi respon dengan anggukan kepala.
Rafadan pun melanjutkan kembali pertanyaannya, “Saya merasa risau atas fenomena yang berkembang belakangan ini, yaitu tentang nasab keturunan Nabi. Sebenarnya, bagaimana cara kita menyikapi fenomena itu?, Kenapa mereka begitu diistimewakan, padahal tindakannya kerap disertai marah-marah, umpatan, dan kata-kata kotor?”.
Ustaz Hakim tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Mula-mula, ia memberi penguatan kepada penanya (Rafadan). Sehabis itu, yang ia lakukan justru melemparkan kembali ke para santri. Hal ini dimaksudkan supaya terjadi dialektika dan para santri berani mengungkapkan pendapatnya.
“Pertanyaan bagus dari Rafadan. Jadi, intinya bertanya tentang nasab keturunan Nabi. Ya, memang akhir-akhir ini sedang ramai menjadi perbincangan di ruang publik. Tapi coba, kalau dari kalian sikapnya memandang fenomena ini gimana?” tanya balik ustaz Hakim kepada para santri.
Zanki, salah satu santri, merespon pertanyaan yang diajukan ustaz, “Kalau saya, yang penting tetap menghormati para habaib, karena bagaimanapun di dalam tubuh mereka terdapat darah nabi Muhammad Saw”.
Santri lain, Syabani juga melontarkan pendapat yang sama, “Saya juga sepakat dengan Zanki, perihal menghormati para habaib tidak bisa ditawar. Wajib hukumnya dan mesti dikedepankan. Yang perlu digaris bawahi, jangan sampai nantinya berubah menjadi pengkultusan”.
Semua jawaban dari Zanki dan Syabani diafirmasi ustaz Hakim, “Betul ya apa yang dikatakan Zanki dan Syabani, bahwa sikap kita harus tetap menghormati dan memuliakan para habaib. Tapi kuncinya jangan sampai melebur pada pengkultusan. Itu yang tidak diperbolehkan dalam agama”.
Ustaz Hakim kemudian menambahkan pernyataan yang cukup menggelitik, “Eitss, ngomong-ngomong soal keturunan Nabi, kita ini juga keturunan Nabi loh”
Semua santri speechless dan ekspresif, “kok bisa taz?” tanya serentak santri.
“Lah iya, kita semua kan bani Adam, jadi ya termasuk keturunan Nabi, Nabi Adam” jawab ustaz Hakim sambil tersenyum.
Jawaban ustaz Hakim itu kemudian ditimpa oleh santri yang berada di pojok belakang bernama Karen, “Kalau saya, keturunan Nabi nya, Nabi Nuh taz” ujar Karen.
Ustaz Hakim penasaran dan bertanya “kok bisa gitu Karen?”
“Pada zaman Nabi Nuh yang tersisa tinggal orang-orang sholeh. Semua orang kafir dan ahli maksiat tenggelam. Maka itu, saya keturunan Nabi Nuh, keturunan dari salah satu orang sholeh tersebut” tandas Karen sambil tertawa kecil.
“Cocok Ren, aku berarti juga keturunan Nabi, Nabi Nuh. Keturunan yang berasal dari orang sholeh-sholeh” sambung para santri sepakat dengan argumen Karen.
Suasana kelas menjadi pecah riuh, ustaz Hakim hanya bisa tertawa melihat tingkah laku dan mendengar argumen para santri.