Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ghanna, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Habib Hamid bin Ja’far Al-Qodri menerangkan beberapa pengagungan Allah kepada Nabi Muhammad yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Pertama, pengagungan Allah kepada Nabi Muhammad termaktub dalam surat An-Nisa ayat 80. Artinya, barangsiapa yang menaati Rasulullah berarti telah menaati Allah. Menurut Habib Hamid, bentuk ketaatan seorang mukmin kepada Allah terletak pada ketaatannya kepada Nabi Muhammad.
“Semakin kita taat kepada Rasulullah, semakin kita mengagungkan Nabi Muhammad, berarti kita menaati Allah dan mengagungkan Allah,” tegas Habib Hamid dalam Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), pada Kamis (15/7).
Kedua, bukti pengagungan Allah kepada Nabi Muhammad termaktub pula pada surat Ali Imran ayat 31. Pada ayat ini, Allah meminta Nabi Muhammad untuk menyerukan kepada umat manusia agar mencintai Allah dengan cara mengikutinya.
Dijelaskan Habib Hamid, Allah telah banyak memberikan aneka ragam kenikmatan kepada manusia dengan sangat tulus dan tanpa pamrih. Kenikmatan-kenikmatan itu berupa kesehatan, akal pikiran, ketenangan jiwa dan hati, serta rezeki yang berlimpah. Itulah bentuk kecintaan Allah kepada hamba-Nya.
“Akankah seorang hamba itu tidak cinta kepada Allah sebagai sang pemberi nikmat? Maka apa balasan atau bentuk cinta kita kepada Allah? Bilamana kalian cinta kepada Allah atas nikmat yang Allah berikan ini, maka ikutilah Nabi Muhammad,” tegas Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor DKI Jakarta itu.
“Jadi bentuk balasan cinta (adalah) dengan cinta. Kasih sayang dengan kasih sayang. (Kalau) kita mengakui kehambaan kita kepada Allah, dan kita cinta kepada Allah maka bentuknya adalah dengan mengikuti Nabi Muhammad,” tegasnya lagi.
Dijelaskan, cara untuk membalas cinta Allah karena telah memberikan banyak nikmat di dunia adalah dengan mengikuti Nabi Muhammad. Habib Hamid menegaskan, Allah telah menjadikan sang kekasih-Nya itu untuk dikasihi, diikuti, dikenal, dan didekati. Dengan demikian, cinta Allah akan dapat diperoleh dan Allah juga akan mengampuni dosa para hamba-Nya.
“Itu bentuk pengagungan Allah kepada Nabi Muhammad,” ujar habaib yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ummahatil Mukminin, Kramat Jati, Jakarta Timur itu.
Ketiga, bentuk pengagungan Allah kepada Nabi Muhammad terdapat juga pada surat At-Taubah ayat 62. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih pantas untuk dicari serta diharapkan keridhaannya.
“Allah dan rasul-Nya itu lebih berhak untuk dicari keridhaannya, untuk direlakan, diharapkan, bilamana mereka mukmin. (Kalau) kalian mukmin mengagungkan Allah maka tentu harus mengagungkan Nabi Muhammad,” tutur Habib Hamid.
Keempat, pengagungan Allah itu juga dapat ditemukan dalam surat Al-Ahzab ayat 56. Allah menyatakan diri, bersama para malaikat-Nya, telah bershalawat kepada Nabi Muhammad. Lalu Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk juga bershalawat kepada Nabi.
Habib Hamid menjelaskan bahwa Allah tidak pernah ikut melakukan terhadap sesuatu yang diperintahkan kepada hamba-Nya, kecuali dalam hal bershalawat. Ditegaskan, tidak ada keagungan dan penghormatan dari Allah kepada makhluk-Nya yang melebihi dari penghormatan-Nya kepada Nabi Muhammad.
“(Misalnya) Allah memerintahkan kita berpuasa atau shalat, Allah tidak melakukan (shalat dan puasa). Tapi di saat Allah memerintah kita untuk bershalawat kepada Nabi, sebelumnya mengatakan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah bershalawat. Barulah Allah memerintahkan orang mukmin untuk bershalawat kepada Nabi. Itu bentuk keagungan Nabi Muhammad yang diterangkan kepada kita di dalam kitab suci, melalui kalam Allah yang suci dan agung,” tutur Habib Hamid.
Keenam, Hasan Al-Bashri menafsirkan surat Al-Fatihah ayat 6-7 sebagai pemaknaan bahwa orang-orang yang berada di jalan lurus itu adalah Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya. Terutama Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khaththab.
“Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ihdinasshiratal mustaqim, siapa jalan yang lurus itu? Shiratalladzina an’amta alaihim, siapa mereka itu? Mereka adalah Nabi Muhammad, keluarga, sahabat yang mulia terutama Sayyidina Abu Bakar dan Umar,” terang Habib Hamid.
Ketujuh, seorang tabiin Abdurrahman As-Sulami menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 256. Diketahui, di dalam ayat itu terdapat kalimat faqadistamsaka bil ‘urwatil wutsqo. Orang-orang yang berpegang teguh kepada ikatan sangat kuat yang tidak akan pernah putus.
“Siapa itu ‘urwatil wutsqo itu? Dia yang dipegang teguh itu berarti Nabi Muhammad. Itu ditafsiri oleh Abu Abdurrahman As-Sulami, seorang mulia dari kalangan tabiin,” tegas Habib Hamid.