Sedang Membaca
Ritme Politik dalam Peradaban Islam Jawa
Rohmatul Izad
Penulis Kolom

Dosen Filsafat IAIN Ponorogo. Alumni Akidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga dan Pendidikan Pascasarjana di Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.

Ritme Politik dalam Peradaban Islam Jawa

Sir. H.AR Gib, dalam Writer Islam; A Survey of Modern Movement in the Moslem World pernah mengatakan, “Islam sesungguhnya lebih dari sekadar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna”.

Purwadi (2010), dalam Babad Tanah Jawa, menuturkan bahwa kegemilangan masa silam adalah modal yang sangat berharga untuk membuat rajutan peradaban yang berkarakter dan mengakar pada kearifan lokal.

Ungkapan orang Jawa yang berbunyi “mawa cara negara mawa tata”, mengisyaratkan bahwa Jawa dulu memiliki sistem sosial yang cukup mapan, juga cara mengatur negaranya yang berasaskan tatanan yang lengkap. Karenanya, terwujudlah suatu masyarakat yang tata tentrem tarta raharja.

Dulu, era kegemilangan Jawa pernah ditunjukkan dengan tampilnya kerajaan-kerajaan besar seperti kerajaan Medang, Kamulyan, Majapahit, Kahuripan, Daha, Jenggala, Singasari, Kediri, Demak, Pajang, dan Mataram. Sebuah kisah yang mengitari perjalanan maju mundurnya kerajaan-kerajaan itu telah membentuk karakter kepulauan Jawa sebagai pelopor lahirnya Nusantara, yang juga telah melahirkan karakter peradaban di zaman Islam Jawa.

Dalam sejarahnya, Islam di Nusantara telah berlabuh sejak abad ke-13 M dengan bukti adanya muslim mayoritas di pulau Sumatera dan berdirinya kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai, disusul kemudian kerajaan Aceh Darussalam.

Sehingga pada awal abad ke-15 M Islam telah mapan dan mampu menguasai Malaka yang merupakan pusat perdagangan Asia Tenggara.

Sebagai agama, Islam memang sangat kompleks. Karena Islam merupakan kekuatan sekaligus urat nadi kehidupan bagi sebagian manusia yang mengusung segudang ilmu pengetahuan dan lebih cenderung memiliki eksistensi dan melibatkan beberapa substansi nilai-nilai kemanusiaan yang begitu lengkap di sepanjang sejarahnya.

Seperti di Jawa, peradaban Islam yang lahir dan apa-apa yang terkait di dalamnya menjadi hal yang sangat menarik dan unik, lebih-lebih jika kita integrasikan perkembangan tersebut dengan kiprah tokoh-tokoh yang melatarbelakangi terjadinya pergumulan kemanusiaan sejak abad ke-13 hingga abad ke-20.

Baca juga:  Mengenal Bayang, “Serambi Mekah” Pantai Barat Sumatera (1): H. Ilyas Yakub, Ulama Pejuang dari Bayang

Sangat tepat bila dikatakan bahwa Islam yang awalnya disebarkan di pulau Jawa merupakan mata rantai bermulainya sistem ajaran agama yang kini di era kontemporer, menjelma dan melompat menjadi gagasan besar dalam peran politik lokal dan regional hingga nasional.

Dalam catatan Herlambang (2013), paradigma perkembangana kerajaan Islam di pulau Jawa baru membentuk peta sejarahnya pada pertengahan abad ke-15 yang secara simultan dimulai dari kerajaan Demak , Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten. Di samping itu, lahir pula kerjaaan Islam di daerah luar Jawa seperti di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.

Sebenarnya, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam tersebut ditandai oleh beberapa faktor genting dan cukup pelik, salah satunya adalah karena terjadi konflik internal kerajaan, misalnya terjadi konflik perebutan kekuasaan antarsaudara, kakak-adik, dan seterusnya yang disebabkan oleh sistem kepemimpinan berpola Islam yang kurang sahih, di mana semua perselisihan itu memancing pihak-pihak lain untuk mendirikan sebuah dinasti dan kerajaan baru.

Namun demikian, ada hal penting yang sangat memengaruhi mengapa kerajaan Islam begitu lemah, khususnya pada permulaan abad ke-16, yakni dengan ditandai masuknya agresor perdagangan dan masuknya Kristen Barat ke wilayah Islam di Asia Tenggara; seperti orang-orang Portugis, Spanyol, dan Belanda. Hadirnya mereka bermula dari misi keagamaan (misionaris) dengan melakukan kristenisasi, terlebih oleh bangsa Portugis, sebelum pada akhirnya Nusantara dikoloni oleh mereka.

Masuknya mereka ke bumi Nusantara perlahan-lahan menggeser kekuasaan Islam dengan menguasai rempah-rempah sebagai simbol legitimasi pada sektor ekonomi. Karenanya, kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara telah mengancam eksistensi Islam dan mengambil alih kerajaan Islam dengan cara membuat aturan sendiri dalam hal politik, seperti yang dilakukan oleh Belanda.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa runtuhnya kerajaan Islam khususnya di Jawa adalah Belanda. Mereka berhasil membuat berbagai macam kebijakan baru, terlebih kebijakan politik. Kebijakan Pemerintahan Hindia Belanda itulah yang sebetulnya membuat kerajaan-kerajaan Islam hancur berkeping-keping dengan strategi politik adu domba.

Baca juga:  Iklan Muhammadiyah di Majalah Milik NU Tahun 1941

Sejak pertengahan abad ke-16, imperialisme Belanda telah sebegitu berhasil melemahkan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Tetapi umat Islam melalui kasultanan-kasultanannya dan juga dengan sebuah perlawanan, berhasil menunda keinginan Belanda tersebut hingga abad ke-17, salah satunya adalah yang terjadi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (Raja Banten), yang secara berasur-ansur melakukan penyerangan di Batavia.

Kebencian Sultan Ageng yang meluap-luap terhadap Belanda merupakan bentuk semangat perlawan yang mewakili Islam untuk menghambat keinginan Belanda.

Sayangnya, kekuatan militer Belanda yang begitu lengkap dengan seperangkat senjata canggih, sangat mudah menggagalkan perlawanan umat Islam, sehingga Belanda berhasil mewujudkan pemerintahan yang utuh, yang kemudian dikenal dengan Pemerintahan Hindia Belanda.

Dengan keberhasilan itu, Belanda yang diwakili oleh Snouck Hurgronje, sangat leluasa menentukan kebijakan politik di Indonesia terhadap umat Islam. Pasca-VOC bangkrut total di akhir abad ke-18, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kepemilikannya tahun 1816. Lalu, pada 1830 sistem tanam paksa mulai diterapkan. Kaum pribumi dipaksa dan koyak-koyak untuk menanam hasil-hasil perkebunan untuk memenuhi dan memasok permintaan pasar dunia.

Kenyataan pahit di atas tidaklah menyurutkan perlawanan dan pemberontakan. Para petani di bawah pimpinan Islam terus melakukan perlawanan dan bergerilya. Sehingga pemerintah Hindia Belanda mengharuskan arah politik baru tentang masalah-masalah keislaman yang kemudian dikenal dengan “Islam politik”, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani umat Islam di Nusantara.

Ada tiga kebijakan penting yang dilakukan Belanda dalam mengatur umat Islam; pertama, Belanda memberikan “kebebasan beragama” termasuk bebas pergi berhaji ke Makkah. Kedua, Belanda memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik. Ketiga, pemerintah Hindia Belanda menempatkan Islam sebagai saingan pendidikan agama yang harus dihadapi (Aqib Suminto, 1996).

Baca juga:  Akar Tradisi Ulama Al-Azhar Berziarah ke Makam Imam Syafii

Ketiga kebijakan ini sebenarnya tak lebih hanya ingin mengelabui umat Islam. Misalnya, ketika Belanda ingin memisahkan antara Islam sebagai agama dan politik, mereka sejatinya ingin menjauhkan kekuatan Islam dan akhirnya mempercepat proses kehancuran Islam.

Juga, ketika Belanda menjadikan pendidikan agama sebagai saingan, sebenarnya yang mereka inginkan adalah pendidikan Islam bersaing dengan pendidikan Barat modern, di mana Belanda sudah menduga bahwa pendidikan Islam tak akan mampu mengunggulinya.

Akan tetapi, persepsi Barat tentang kebijakan pendidikan tersebut sepertinya agak meleset. Faktanya, justru malah melahirkan sebuah konsep dan ide tentang modernisme Islam bagi pribumi yang kemudian disusul oleh lahirnya nasionalisme Islam yang menyerap ilmu Barat dan akhirnya menjadi musuh Belanda.

Sebuah kebijakan politik yang mula-mula dimaksudkan untuk memangkas peranan umat Islam dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi, justru menjadikan umat Islam bangkit dan mulai melakukan perbaikan diri pada ranah agama, ekonomi, politik, dan sosial. Kita bisa menyaksikan misalnya, bukti konkrit lahirnya respon umat Islam terhadap kebijakan Belanda terlihat melalui lahirnya organisasi Islam seperti Serikat Islam (1906), Muhammadiyah (1912), Perserikatan Ulama (1916), Persis (1923), dan Nahdlatul Ulama (1926).

Ini menjadi gambaran penting bahwa betapa peran Islam sengaja dimatikan dengan cara apapun. Kebijakan-kebijakan dibuat untuk menjegal dan mematikan gerakan Islam di Jawa. Tetapi, umat Islam akhirnya bangkit menjadi kekuatan besar, bukan hanya sebagai doktrin normatif semata, tetapi juga kekuatan politik dalam bentuk organisasi keagamaan yang sampai masa kemerdekaan, telah mengiringi terbentuknya Indonesia dan membabat habis pengaruh Belanda.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top