Berdasarkan penanggalan Hijriah, Nahdlatul Ulama (NU) akan menyambut gelaran akbar Hari Lahir yang ke-100 (satu abad) pada 16 Rajab 1444 H atau 7 Februari 2023. Menuju abad keduanya, NU mengklaim sebagai organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA tahun 2019 menyatakan jumlah nahdliyin (sebutan warga NU) mencapai 49,5 persen dari total populasi Indonesia.
Meski survei tersebut masih menyisakan perdebatan ketika banyak masyarakat yang banyak tidak mengetahui NU namun melakukan amaliah ke-NU-an seperti Yasinan, Tahlilan, Selawatan, hingga Ziarah Kubur. Basis NU diketahui mendominasi provinsi Jawa Timur dan pesisir Jawa Tengah mengingat cikal bakal pendirian organisasi diiniasi oleh tiga kiai asal Jombang yakni Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri.
Selain motif nasionalisme, pendirian NU juga dimaksudkan untuk melindungi tradisi Islam Nusantara yang mendapat ancaman ideologi transnasional. Perbedaan NU dengan organisasi lain tidak hanya sebatas praktek ibadah, namun punya landasan teologi yang berbeda. Meski demikian, NU selalu berusaha menampilkan citra moderat untuk menghindari konflik antar agama. Setidaknya, sejauh ini NU menjadi “rumah” bagi organisasi atau komunitas minoritas agama-agama di Indonesia.
Tuduhan liberal hingga komunis adalah risiko NU sebagai ormas terbesar yang menjadi benteng NKRI. Bukan hanya perundungan dari aspek agama, isu politik juga mewarnai ketegaran NU menghadapi ancaman ideologi yang mengancam pancasila. Di bawah nahkoda baru K.H. Yahya Cholil Staquf, NU perlu hadir berperan memberikan solusi perdamaian.
Dalam perjalanannya, NU merupakan ormas yang banyak diminati politikus untuk meraih suara di pemilu. Tak ayal, NU selalu beriringan dengan pemerintah menjaga stabilitas sosial keagamaan. Di sisi lain, NU tetap konsisten mengkritisi pemerintah jika kebijakannya tidak selaras dengan kepentingan rakyat. Perjuangan NU di dunia politik merupakan bentuk jihad melindungi pemerintahan dari penyusup idologi yang berafiliasi melalui organisasi pergerakan, lembaga dakwah, hingga partai politik.
Politik NU di tingkat pusat nyatanya tidak diikuti oleh anggotanya yang kerap menciptakan konflik seperti pelarangan kajian yang dituduh menyebarkan paham kontra pancasila, keterlibatan narasi politik praktis, dan perilaku yang tidak sesuai marwah ke-NU-an. Nahdliyin seharusnya punya peran menerima perbedaan sebagai konsekuensi demokrasi di negara plural, bukan memperkeruh suasana damai dengan pernyataan dan sikap yang menimbulkan konflik.
Pengalaman Menjadi Nahdliyin
Saya adalah jebolan santri di salah satu pondok pesantren (ponpes) di Karanganyar. Ponpes identik dengan NU meski realitanya sekarang banyak ideologi non-NU yang masif mendirikan pondok pesantren atau madrasah. Semasa kuliah, saya sempat mengajar materi keaswajaan kepada santri lain tentang sejarah, amaliah, dan tujuan didirikannya NU.
Namun klaim sebagai nahdliyin muncul saat bekerja, mengingat saat sekolah dan kuliah basis NU tidak sekentara di lingkungan ponpes. Saya mendirikan komunitas Seniman NU tahun 2018 yang memiliki cabang di sepuluh provinsi di Indonesia. Gagasan besar saya untuk mengembalikan NU pada posisi moderat dengan merangkul semua ideologi keagamaan meski dianggap mengancam NU itu sendiri.
Mengajarkan pada dunia bahwa NU adalah ormas keagamaan yang mengajarkan cinta. Mengedepankan sikap kebijaksanaan dengan memanusiakan manusia. Konsisten melindungi kaum minoritas tanpa melihat afilisasi kelompok pada dunia politik. Bahwa kebencian (terhadap NU) tidak harus dibalas dengan kebencian. Keyakinan pada NU harusnya mendewasakan cara berpikir bahwa segala perdebatan mengenai teologi dan amaliah jelas punya landasan dan rujukan dari Alquran dan Sunah.
Kecemasan dan ketakutan terhadap ancaman ideologi Islam puritan menandakan tidak yakinnya pada kebesaran NU. Keyakinan saya, NU tidak akan runtuh meskipun dunia mencoba menghancurkannya. Selanjutnya adalah menjadi “rumah” yang nyaman bagi setiap orang, khususnya yang tinggal di Indonesia. Pengaruh Walisongo mengajarkan Islam yang berbudaya masih banyak diikuti masyarakat tanpa label NU sekalipun.
Kemunculan cendikiawan muslim seperti Gus Baha’, Gus Muwafiq, Gus Miftah, hingga Gus Nadir semakin menambah keyakinan bahwa NU punya konsep yang logis dalam beragama. Belum lagi keikhlasan kiai kampung yang jarang diekspos media namun berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat.
Keyakinan saya pada NU seperti yang disampaikan Gus Dur bahwa semakin berilmu, seseorang akan semakin toleran. Kebencian yang diekspresikan dengan menyalahkan ajaran dan amalan NU hanya karena kurangnya ilmu dalam memahami agama. Semakin banyak referensi kitab dan pengalaman dalam beragama akan menyadarkan seseorang tenang relevansi NU pada perubahan zaman.
Harlah satu abad NU harus dijadikan momentum menegakkan kembali empat prinsip dasar keaswajaan seperti tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh. Menjaga jarak keterlibatan politik praktis. Merangkul semua elemen masyarakat tanpa membedakan suku, ras, dan ideologi agama.***