“Suami saya kena PHK karena Covid. Jadinya, sekarang saya bantu kerja dengan jual gorengan,”.
“Sejak Covid, suami sering marah-marah. Saya juga jadi cepat emosi, apalagi harus dampingi anak sekolah sambil kerja gosok (menyetika)”.
Kedua pernyataan itu sering saya dengar ketika mendampingi kelas perempuan di akar rumput (grassroot). Kelas ini diadakan di empat wilayah di Jabodetabek. Di empat wilayah itu, cerita yang sama selalu ada.
Menjadi perempuan, sejak dulu, memang tak mudah. Cerita semacam ini masih terus berulang. Datangnya Covid-19, menambah beban berlipat bagi perempuan, khususnya ibu. Jika sebelumnya, ibu sudah sangat direpotkan dengan pekerjaan di dalam rumah, saat Covid-19 datang, ibu kembali bertugas mendampingi anak belajar online di rumah. Tugas baru ini menunjukkan masih banyaknya orangtua gagap dalam menghadapi tantangan pendidikan.
Tiga Beban Perempuan
Salah satu materi yang dipelajari dalam kelas perempuan di akar rumput adalah tantangan dan masalah kekinian perempuan. Belajar daring dianggap sangat menantang bahkan menyulitkan . Di sesi ini, umumnya ibu-ibu menceritakan kesulitannya mendampingi anak belajar daring. Kenapa sulit?
Pertama, belum terbiasanya ibu mendampingi anak belajar secara intens. Bukan rahasia lagi, selama ini orangtua lebih banyak menyerahkan pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah. Sekolah dianggap sebagai pusat pendidikan utama. Dan guru sebagai guru utama. Sebuah kekeliruan yang sudah mengakar dalam memaknai pendidikan.
Kedua, banyaknya tugas yang diemban ibu membuatnya sulit membagi waktu. Pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai, mendampingi anak belajar online, dan ditambah tuntutan memenuhi kebutuhan ekonomi dengan mencari pekerjaan di luar rumah. Berjualan, menjadi buruh cuci, dan memulung, adalah jenis pekerjaan yang biasanya dilakukan ibu selama Covid-19.
Ketiga, minimnya pembagian tugas yang jelas antara ibu dan bapak. Soal ini sebetulnya cerita lama. Budaya patriarki menempatkan peran laki-laki mencari nafkah di luar rumah, sementara perempuan bertugas mengurus rumah, anak, dan suami. Anehnya, peran ini tidak dipertukarkan meski posisi mencari nafkah di luar rumah dilakukan oleh perempuan.
Itulah yang terjadi di masa Korona. Para ibu menceritakan suaminya yang kini tinggal di rumah karena mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK) tetap berposisi sebagaimana sebelum di-PHK. Tugas mendampingi anak belajar daring tetap dilakukan ibu, sebab bapak menganggap itu adalah tugas ibu.
Kekerasan Meningkat
Beberapa penelitian seperti yang dirilis oleh Komnas Perempuan dan LBH Apik mengungkap meningkatnya angka kekerasan pada perempuan selama pandemi. Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemenppa) juga menyebut kekerasan pada perempuan dan anak meningkat lima kali lipat selama masa Covid-19, dari 1.913 kasus sebelum Covid-19, menjadi 5.551 kasus.
Ini tak lepas dari meningkatnya stres di dalam rumah tangga. Beban ibu yang berlipat serta suami yang mengalami PHK adalah pemicunya. Para ibu di kelas perempuan mengakui, sejak di-PHK, suami mereka lebih sering cepat emosi, marah-marah, bahkan melakukan kekerasan fisik pada istri dan anaknya. Bagai bola salju, ibu yang merasa sedih, sakit hati, yang pada gilirannya membuat stress, melampiaskan semua itu kepada anak. Anak pun mengalami kekerasan dari kedua orangtuanya.
Bola kekerasan tak berhenti di situ. Anak yang sering mengalami kekerasan di dalam rumah, cenderung melampiaskan kemarahannya dengan melakukan kekerasan pada dirinya (mengurung diri, mabuk-mabukan, pergaulan bebas) atau kepada temannya. Akibat jauhnya, kondisi seperti ini bisa membuat anak mencari ketenangan di tempat lain, seperti bergabung dengan gerakan radikal dan terorisme, yang menjanjikan kenyamanan surga.
Saatnya Berbagi Peran
Tantangan di masa Korona memang tak mudah. Tapi lebih sulit jika dijalani sendiri, tanpa ada dukungan dari orang-orang terdekat. Keluarga adalah unit terkecil yang idealnya menjadi tempat kolaborasi antar penghuninya. Suami dan istri harus bersama-sama mencari solusi dan bergotong-royong dalam melakukan pekerjaan di dalam dan di luar rumah.
Masa Korona adalah momentum yang tepat untuk meruntuhkan budaya patriarki dengan mulai melakukan pembagian peran antara suami, istri, dan anak. Di saat peran suami bekerja di luar rumah digantikan oleh perempuan, maka suami mengambil alih pekerjaan di dalam rumah.
Anak laki-laki dan perempuan bisa berbagi tugas membantu pekerjaan rumah, minimal mencuci piring, merapikan tempat tidur dan mainan masing-masing. Pun dengan peran mendampingi anak belajar online, mestinya menjadi tanggung jawab kedua orangtua. Sebab belajar bukan hanya tentang angka 100 atau nilai A di raport akhir, tapi tentang proses membangun komunikasi, keakraban, dan menggali berbagai potensi anak yang bisa dikembangkan untuk mendukung keberhasilannya di masa depan.