Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan individu yang bisa dikatakan wajib terpenuhi bagi setiap orang pada masa sekarang ini. Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Kebudayaan yang diterbitkan Majelis Luhur Tamansiswa (1994), pendidikan adalah upaya penanaman budi pekerti manusia yang beradab dan bentuk usaha penyesuaian terhadap keadaan alam maupun perkembangan zaman.
Secara sederhana, definisi ini mengarahkan arah pendidikan kepada suatu perubahan akal budi manusia guna menjaga martabatnya melalui keteladanan dalam iklim pendidikan. Secara sederhana, pendidikan bisa berwujud pengetahuan maupun keterampilan yang didapatkan dari institusi pendidikan, serta pendidikan karakter yang berasal dari pola interaksi dan penanaman nilai etika.
Menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, keluarga adalah salah satu pilar pendidikan. Sebagaimana sudah diketahui oleh umum, istilah keluarga yang dimaksud adalah orang tua dan anak. Perlu menjadi catatan bahwa keberadaan istilah “orang tua” tidak hanya disematkan kepada ayah, ibu, kakek, nenek, dan sebagainya. Pendefinisian tersebut bisa juga lebih meluas dengan mengarah kepada orang atau persona yang lebih tua usianya dibandingkan dengan anak seperti guru, kakak, teman, ataupun orang lain yang memiliki usia atau pengaruh diatas anak.
Mengacu pada pemikiran yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, adanya pendidikan karakter memang tidak bisa dipisahkan dengan orang tua. Hal ini dikarenakan orang tua merupakan pihak pertama yang mengerti akan tumbuh kembang anak. Jika dikaji dalam konteks sejarah kebudayaan, pentingnya pendidikan karakter dijelaskan dalam berbagai sumber-sumber literatur Jawa klasik, utamanya dalam serat piwulang. Isi dari karya sastra tersebut menjelaskan bahwa orang tua memiliki kewajiban sebagai pemberi nasihat maupun pengarah bagi pola tumbuh kembang anak.
Pelaksanaan pendidikan karakter pasti mengalami dinamika yang berbeda-beda menurut kondisi zamannya. Akan tetapi, semua itu memiliki satu kesamaan yaitu memahamkan sebuah etika dan tata moral. Dalam Serat Wedhatama, ada satu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang bagaimana pendidikan karakter dan tantangan apa saja yang dihadapi. Penekanan tersebut ada pada bagian pupuh Pangkur bait 1-8. Dalam teks tersebut, terdapat kiasan sifat yang mencerminkan tantangan sekaligus indikasi kegagalan pendidikan karakter bagi anak atau pemuda serta orang tuanya. Tantangan tersebut dinyatakan dalam bahasa kiasan “sepuh-sepah atau tuwa tuwas” dan “mudha-kumaki“.
Sebagaimana yang sudah disampaikan di atas, konsep pendidikan karakter ini tidak hanya menyoal masalah bagaimana keberhasilan transfer nilai dari orang tua ke anak atau dari pendidik ke peserta didik. Terlebih dahulu ditekankan mengenai kepekaan “rasa” orang tua. Hal ini perlu diperhatikan karena orang tua adalah subyek dari pendidikan karakter. Siapapun mereka, baik itu guru, bapak-ibu, maupun tokoh terpandang, akan menjadi cerminan bagi anak muda dalam bertindak di kesehariannya.
Dalam uraian serat, terdapat istilah yang diterangkan dengan kutipan “…nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepa lir sepah samun…” yang maknanya kurang lebih menerangkan bahwa orang tua yang tidak memiliki perasaan atau kesadaran diri, diibaratkan dirinya kosong seperti semak belukar. Interpretasi yang dimaksud adalah adanya seseorang tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap perkembangan anak.
Tentu ini akan menjadi ironi manakala perbuatan yang dilakukan justru kontradiktif dan tidak mencerminkan keteladanan. Dalam istilah lain, orang Jawa menyebutnya sebagai tuwa tuwas atau orang tua yang justru mendestruksi pendidikan karakter. Apa yang disampaikan berbeda dengan kenyataan sehingga menimbulkan rasa malu tersendiri (gonyak ganyuk nglelingsemi).
Dalam telaah kondisi saat ini, sering dijumpai keberadaan oknum orang tua yang kehilangan sistem pamomong atau kepengasuhan. Dalam bahasa Wedhatama, mereka cenderung mengutarakan sesuatu menurut nafsunya, tidak mau mengamalkan, dan tidak mau disalahkan. Satu contoh adalah ketika seseorang memerintahkan anak untuk berbuat kebaikan, tetapi ia tidak melakukannya. Bahkan, malah melakukan hal yang berlawanan dari perintah tersebut. Dalam bahasa satire yang beredar di masyarakat, tipikal semacam ini disebut dengan istilah “jarkoni” atau bisa ujar ora bisa nglakoni (bisa berkata-kata tetapi tidak bisa mengamalkan). Sikap semacam ini bisa dikatakan telah mematikan ruh pendidikan karakter karena role model-nya gagal memberikan keteladanan.
Sikap kedua yang menjadi tantangan sekaligus indikasi kegagalan pendidikan karakter adalah mudha-kumaki atau pemuda yang pongah atas kepintarannya. Dalam ajaran adab menuntut ilmu, seorang anak ataupun murid, hendaknya memiliki sikap tawadlu’ atau rendah hati. Ketika pelajaran yang disampaikan oleh guru atau orang tua dipahami dengan rasa kerendahhatian, sedikit demi sedikit akan mengubah pola pikir dan sikap anak. Artinya, si anak menerima pesan tersebut dan mau mengamalkannya dengan penuh tanggung jawab.
Kegagalan pendidikan karakter karena pola pikir mudha-kumaki adalah si anak muda “menolak” apa yang disampaikan oleh orang tua ataupun guru. Dalam Wedhatama, penolakan itu muncul sebagai akibat sikap kepongahan dengan tetap kokoh pada pendiriannya yang sebenarnya kurang pas. Pemuda tersebut merasa sudah tahu dengan apa yang dikatakan, sehingga menganggap remeh ajaran yang disampaikan. Hal inilah yang akhirnya memutus mata rantai pendidikan karakter kepada anak karena si anak gagal memahami maksud yang disampaikan.
Ketika seseorang anak tidak memahami pentingnya keteladanan, kedewasaannya akan terasa hampa. Kedewasaan hanya akan tampak pada usianya saja, sementara dalam segi pemikiran tidak ada perubahan yang berarti. Hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan yang akan datang. Bahkan, bisa menjadi ancaman dengan munculnya penyimpangan perilaku sebagaimana sikap tuwa tuwas yang telah disampaikan di atas.
Oleh karena itu, antara orang tua dan anak harus saling menyadari bahwa keteladanan itu sesuatu hal yang penting. Pada masa yang akan datang, anak akan masuk pada jenjang kedewasaan dan menjadi orang tua juga. Harapannya adalah agar kedewasaan itu tidak hanya secara usia, tetapi juga secara perilaku atau psikologis. Kita harus memahami bahwa pendidikan tidak hanya memoles sisi intelektualitas semata, tetapi harus mampu menyeimbangkan kognitif, afektif, maupun psikomotorik secara simultan dan komprehensif.