Arya Sena dan Drona barangkali adalah pasemon tentang fanatisme seorang murid pada gurunya yang justru, karena fanatisme itu, membuahkan. Dalam hal ini, fanatisme adalah suatu sikap yang positif. Kisah tentang Dewa Ruci dalam pewayangan Jawa, yang melibatkan Arya Sena atau Wijasena sebagai sang tokoh utama, seolah mendekonstruksi sikap-sikap yang secara umum dipandang negatif dalam masalah spiritualitas.
Bukan semata karena tabiat Arya Sena yang kasar dan tak tahu tatakrama yang seperti menyimpang dari citra umum para sufi atau para pencari kejaten yang halus perangai dan tutur kata. Bukankah konon “kelembutan” adalah sebuah kosakata yang begitu ditekankan dalam dunia keagamaan dan spiritualitas?
Citra Arya Sena yang bertubuh tinggi-besar pun seolah menegaskan bahwa tak mungkin rasanya kejaten, yang direpresentasikan oleh Dewa Ruci, mau dicumbu oleh seorang yang tak seperti Yudhistira yang penyabar atau Arjuna yang halus perangai dan tutur kata. Di sinilah citra umum seorang pengolah rohani seolah roboh dimana seorang ksatria pinandhita sekelas Yudhistira tak mampu mencapai maqam al-Ghauts yang menurut Serat Pengracutan justru diduduki oleh Arya Sena yang kasar dan jelas tak memenuhi standar untuk laik “dicintai.”
Laiknya samudera yang mampu menyingkirkan kekotoran sungai yang mengalir padanya, dalam lakon wayang Dewa Ruci itu fanatisme seorang Arya Sena, yang sekilas seperti mampu membutakan mata lahiriah dan mata batinnya atas segala kerendahan dan kelicikan Drona, justru dapat menyingkirkan pendeta Sokalima itu beserta dengan segala citra umuk, kelicikan dan niat jeleknya.
Fanatisme, yang konon kerap dimaknai sebagai sikap yang membuta, ternyata memiliki citra yang positif dalam keluguan seorang Arya Sena ketika bersinggungan dengan kelicikan seorang Drona. Meskipun seluruh dunia tahu bahwa Drona adalah sang penipu, tapi Arya Sena tetap menuruti segala petuahnya. Di sinilah kemantapan dan keyakinan sang murid pada gurunya yang menurut standar umum lebih rendah mampu mengantarkannya pada kebenaran (Dewa Ruci) dengan lantaran ketakbenaran (Drona).
Arya Sena, setelah keberhasilannya dalam menyingkap kejaten dan menyorgakan sang ayah, Prabu Pandhudewanata, justru membopong sang penipu dan menempatkannya di ketinggian di saat semua orang merendahkannya. Dalam hal ini, ternyata kebenaran sangatlah relatif. Memang benar bahwa Drona adalah seorang penipu sebagaimana yang dikabarkan dunia. Dan memang benar pula bahwa Arya Sena adalah laiknya anak kecil lugu yang gampang ditipu. Namun satu hal yang pasti, kemantapan dan keyakinan Arya Sena ternyata mampu mempermalukan dunia di akhir cerita.
Proses keberhasilan seseorang dalam mengaktualisasikan dirinya ternyata tak semata dapat disebabkan oleh sikap fanatisme murid pada sang guru. Dalam film Matrix, justru fanatisme itu dimiliki oleh sang guru pada muridnya. Morpheus adalah seorang yang berkali-kali meyakinkan Neo bahwa seorang yang sebermulanya bukan siapa-siapa itu adalah sang terpilih.
Morpheus, yang memiliki arti dewa tidur, tampak pula membawakan dirinya sebagai seorang yang fanatik. Berkali-kali Neo meyakinkan sang guru yang memiliki harapan yang besar itu bahwa ia bukanlah sang terpilih. Ia laiknya orang-orang pada umumnya yang hidup dengan segala absurditasnya: tidur, bekerja, belanja, menghibur diri, dan tidur lagi. Sama sekali tak ada yang istimewa pada dirinya.
Namun, kemantapan dan keyakinan Morpheus serupa pula dengan kemantapan dan keyakinan Arya Sena pada Drona. Berkali-kali sang dewa tidur itu meyakinkan Neo bahwa hanya dirinya yang mampu mendorong dan menguatkan gerakan dalam melawan sang otoritas.
Film yang dalam adegan awal sempat memampangkan salah satu bab dalam buku Jean Baudrillard, On Nihilism, dimana kebenaran dan ketakbenaran, yang nyata dan taknyata, seolah berbaur tanpa batas-batas yang tegas, seperti turunan belaka dari sengkarut kebenaran dan ketakbenaran dalam lakon wayang Dewa Ruci—atau lebih runcing lagi, seperti turunan belaka dari istilah “sunyata” yang bisa berarti suwung ataupun kesejatian yang merupakan jantung dari tasawuf-filsafati Jawa.
Fanatisme Arya Sena pada Drona sang penipu dan Morpheus pada Neo yang bukan siapa-siapa pada akhirnya merupakan kisah tentang kebenaran yang ternyata hanya diri kita sendirilah yang menjadi penentunya, bukan orang lainnya atau bahkan dunia.
Dalam Serat Jatimurti, R. Soedjonoredja, yang merupakan cucu murid Ki Kusumawicitra, mewedarkan bahwa kebenaran itu terletak di telenging jejantung yang tak mengenal Utara-Selatan, Timur-Barat, Kiri-Kanan. Dan jantung itu pun adalah jantung diri kita sendiri, jantung pribadi. Maka, berpesanlah Drona pada Arya Sena sesaat menjelang keberangkatannya, “Banyu suci perwita sari iku dumunung ing enering batinmu.”