Sedang Membaca
Tangisan Umar Ketika Rasulullah Meninggal
Muslimin Syairozi
Penulis Kolom

Alumnus Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Menekuni kitab-kitab klasik. Kini tinggal di Lamongan, Jawa Timur.

Tangisan Umar Ketika Rasulullah Meninggal

Dari  pengancam berubah menjadi pembela. Dari pembenci menjadi perindu. Dari orang yang hendak membunuh menjadi orang yang siap dibunuh. Demikianlah perjalanan hidup Umar ra. Berubah seratus delapan puluh derajat dari kehidupan jahiliyahnya. Pada masa Jahiliyah ia sangat-sangat membenci Rasulullah, namun setelah masuk Islam menjadi orang yang  sangat mencintai beliau.

Sepeninggal Kanjeng Nabi, salah satu orang yang paling terpukul adalah Umar ra. Tepat setelah mendengar nabi meninggal ia bersigap mengacungkan pedangnya dan mengancam akan membunuh orang yang mengatakan nabi telah meninggal.

Ia sangat terpukul, seakan kesadarannya telah hilang. Hingga akhirnya ia disadarkan oleh Abu Bakar ra.

Belum cukup sampai di situ, kesedihan Umar masih terus berkelanjutan. Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin meriwayatkan bagaimana tangisan Umar pasca ditinggal Rasulullah Saw. Berikut ini adalah ungkapan kesedihan Umar sebagaimana dikutip oleh Hujjatul Islam, Imam Ghazali:

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, pelepah kurma yang engkau duduki untuk berkhutbah merintih saat engkau berpindah mimbar saat umat Islam semakin banyak. Pelepah itu merintih karena berpisah denganmu. Dia baru terdiam saat engkau mengusapkan tangan muliamu. Maka, umatmu lebih berhak lagi menangis karena berpisah denganmu. Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, betapa mulia dirimu, Allah menjadikan taat kepadamu merupakan taat kepada-Nya. Allah telah berfirman: “Barang siapa yang taat kepada rasul berarti dia taat kepada Allah” (QS. Al-Nisa’: 80)

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, betapa mulia dirimu, terlebih dahulu Allah mengkhabarkan akan memberi maaf sebelum memberi khabar tentang kesalahanmu. Dia Swt berfirman:

Baca juga:  Dakwah Wali Songo (4): Pengaruh Para Wali dalam Membentuk Wajah Islam Nusantara

“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)” (QS. Al-Taubat: 43)

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, betapa mulia dirimu, engkau diutus menjadi akhir para nabi namun disebut-sebut di masa awal para nabi. Allah Swt berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. Al-Ahzab: 7)

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, betapa mulia dirimu, para ahli neraka penuh harap bisa kembali menjadi orang taat kepadamu sementara mereka sudah di dalam jurang neraka. Mereka berkata: “Andai saja kita bisa kembali taat kepada Allah dan rasul-Nya.”

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, sungguh bila Musa bin Imran diberi Allah sebuah batu yang bisa mengeluarkan aliran air maka hal itu tidak lebih mengagumkan dari pada dirimu yang memancarkan air dari selah-selah jari-jemarimu.

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, sungguh bila Sulaiman bin Daud diberi angin pagi satu bulan dan sore di bulan lainnya maka hal itu tidak lebih mengagumkan dari pada buraq yang Engkau naiki menuju langit ke tujuh kemudian shalat subuh pada malam seperti biasa.

Baca juga:  Islamisasi Jawa: Mati Bersama Cahaya

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, sungguh bila Isa bin Maryam diberi Allah mukjizat bisa menghidupkan orang meninggal maka tidak lebih mengagumkan dari pada kambing panggang yang dilumuri racun yang berbicara kepadamu. Lengan kambing itu berkata: “Janganlah engkau memakanku, karena aku telah dilumuri racun.”

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, sungguh Nuh telah mendoakan kaumnya, Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Maka, seandainya engkau berdoa seperti itu kepada kami niscaya kami akan binasa. Sungguh punggungmu telah diinjak-injak, wajah telah berdarah, dan gigi sampai tanggal namun engkau tetap berdoa dengan kebaikan, Ya Allah, ampunilah kaum karena sungguh mereka tidak tahu.

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, dalam sebentarnya tahun dan pendeknya umurmu telah mengikuti sejumlah pengikut yang lebih banyak dari Nuh yang tahun dan umurnya lebih panjang. Banyak orang yang telah beriman kepadamu sedangkan hanya sedikit yang beriman kepada nabi Nuh.

Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, seandainya Engkau tidak duduk bersama kecuali dengan orang yang sepadan denganmu niscaya engkau tidak akan duduk bersama kami. Seandainya Engkau tidak menikah kecuali dengan wanita yang sepadan denganmu niscaya Engkau tidak akan menikahi wanita dari kami. Seandainya Engkau tidak makan bersama kecuali dengan orang yang sepadan denganmu niscaya Engkau tidak akan makan bersama kami. Sungguh, demi Allah, Engkau telah duduk bersama kami, menikahi wanita dari kami, dan makan bersama kami, Engkau hanya memakai baju suf (bulu domba/woll), dan menaiki Khimar, kami berjalan di belakangmu, dan engkau meletakkan makananmu di tanah dan menjilati jari jemari bekas makan sebagai bentuk tawadlumu, wahai Rasulullah.

Baca juga:  Sabilus Salikin (77): Sejarah Tarekat Rifa'iyah di Indonesia

Begitulah tangisan Sayidina Umar yang begitu dalam. Ratapan yang menunjukkan betapa ia sangat merindu kepada Baginda nabi. Ratapan orang yang dulu sangat membenci dan kini menjadi sangat mencintai.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top