Kita sering mendengar istilah “ngaji”. Terlebih di bulan Ramadan kali ini, istilah ini mungkin terdengar tiap hari. Tetapi apa itu artinya? Apakah semua orang memahaminya secara sama?
Pertanyaan sederhana ini sering luput dari pembahasan. Tidak banyak orang yang sadar bahwa ngaji mempunyai arti yang berbeda bagi masing-masing kalangan. Berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan sejumlah orang non-santri di perkotaan, ngaji adalah membaca Al-Qur’an dan hadis dan mendengarkan ustaz berbicara hal ihwal keagamaan. Ini sudah cukup. Bagi kaum santri tradisional di pedesaan, pengertian ngaji seperti itu tentu tidak salah, tetapi belum mencukupi.
Saya ingin menguraikan apa itu ngaji berdasarkan secuil pengalaman pribadi sewaktu anak-anak. Kata “tradisional” di sini penting diimbuhkan karena ia menunjuk suatu alam pikir khas yang dibentuk oleh sistem nilai pesantren tradisional. Ini berbeda dengan santri “modernis” yang perlu dijelaskan tersendiri di tempat lain.
Bagi kaum santri tradisional yang secara sosiologis umumnya berasal dari pedesaan, ngaji adalah segalanya. Bahkan bagi sebagiannya, ngaji dikontraskan dengan sekolah. Sekolah penting, tetapi rasanya ngaji jauh lebih penting. Bahkan ketika mau berangkat kuliah di Jogja, saya dipesankan oleh orang tua, “Silakan, tetapi harus sambil ngaji.” Sebuah pesan yang tidak pernah saya jalankan sepenuhnya.
Setelah bisa membaca Al-Qur’an yang biasanya telah diselesaikan kadang sebelum masuk sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah, seorang santri tradisional akan mulai diperkenalkan dengan “kitab kuning”. Memang kertas kitabnya berwarna kuning, jadi disebut kitab kuning, yaitu buku berbahasa Arab gundul yang berisi berbagai penjelasan mengenai agama Islam. Sang guru, kyai, ajengan, tuan guru, atau ustadz, membacakan kata per kata berserta artinya dalam bahasa setempat. Lalu murid menirukan membacanya. Setelah selesai dibaca, guru menjelaskan sepintas maksud dari kata-kata itu. Si murid mencatatnya di pinggir atau di bawahnya biar tidak lupa kalau dibaca di kemudian hari. Dalam tradisi pesantren Sunda, aktivitas ini dikenal sebagai “ngalogat”. Teman-teman saya di Jawa mengistilahkan aktivitas ngalogat dengan “ngesahi”, “ngapsahi”, atau “maknani”.
Begitulah metode pengajaran ngaji kitab kuning. Secara umum jenisnya ada dua: bandongan dan sorogan. Yang pertama dilakukan secara beramai-ramai, guru membaca, dan murid mendengarkan. Sementara yang kedua lebih privat karena diikuti oleh hanya seorang murid di depan gurunya. Murid membaca, sementara guru mendengarkan dan minta penjelasan dari murid. Jenis kedua ini diambil oleh guru untuk menguji kemampuan membaca dan memahami murid terhadap teks kitab kuning secara perorangan. Pada level tertentu, seorang guru atau kiai, akan memilih santri kinasih-nya untuk mengaji sorogan secara khusus. Semacam pengkaderan pada santri-santri unggulan.
Biasanya kitab kuning yang pertama kali diajarkan adalah Syafinatun Najah. Kitab fikih yang dikarang oleh Syaikh Sumair al-Hadrami al-Batawi ini cukup pendek. Tetapi kemudian diberi syarah atau komentar yang lebih panjang oleh para ulama lainnya, termasuk oleh Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab Syafinah berisi penjelasan tentang tata cara bersuci, salat, zakat, dan peribadatan dasar lainnya.
Setelah dirasa bisa memahami dan terutama mampu mempraktikkan dasar-dasar peribadatan, murid akan diperkenalkan dengan kitab Tijan ad-Daruri karya Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab ini merupakah syarah terhadap risalah yang ditulis oleh Syaih Ibrahim al-Bajuri. Isinya adalah pengantar tentang sifat-sifat Allah yang diyakini sebagai dasar akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang diyakini oleh kaum Nahdliyin di Indonesia, dan organisasi keagamaan lain yang menganut Aswaja.
Selepas dua kitab tersebut, murid akan belajar kitab-kitab lainnya dalam berbagai bidang ilmu keagamaan secara bertahap. Untuk mengerti tata bahasa Arab, mereka menggunakan kitab al–Jurumiyah, lalu al-Amtsilah at-Tasyrifiyah atau dikenal dengan kitab Shorof, kemudian ditambah Nazdam Imrithi dan Nazdam al-Maqsud atau kitab Yaqulu, sebelum kemudian ngaji Alfiyah Ibnu Malik. Dulu saya harus menghapal kitab-kitab itu, meski sekarang sudah hilang dari ingatan. Seseorang belum dikatakan bisa ngaji, pantas disebut kiai, kalau belum hapal di luar kepala kitab-kitab tersebut.
Selain itu, masih ada puluhan dan bahkan ratusan kitab lain dalam berbagai bidang ilmu keagamaan yang diajarkan. Tidak heran, apa yang disebut ngaji itu bisa berpuluh tahun lamanya, beralih dari satu kiai ke kiai lainnya, dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Sebenarnya hal ini mirip dengan jenjang di dunia akademis modern di mana seseorang butuh waktu puluhan tahun untuk menyelesaikan pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, apalagi hingga doktoral.
Pokok yang ingin saya sampaikan dari ilustrasi di atas adalah bahwa ngaji dalam pengertian kam santri tradisional itu bukan sekadar membaca Al-Qur’an dan hadis, kemudian membaca terjemahannya sambil mendengarkan ustaz berbicara mengenai itu. Model ngaji seperti ini justru sering melahirkan salah paham keagamaan yang berbahaya. Intoleransi yang meresahkan kita hari-hari ini terjadi karena, di antara penyebabnya, pemahaman tentang ngaji yang terlampau sederhana.
Tantangannnya sekarang adalah, “Bagaimana mentransformasikan pengertian ngaji yang berlaku di kalangan santri tradisional itu ke kancah yang lebih luas?” Situasinya sungguh berbeda. Pertanyaan ini penting diutarakan karena pada saat yang sama keinginan kalangan non-santri di perkotaan untuk ngaji sangat besar. Inilah gejala sosiologis yang berlangsung di Indonesia sejak awal Orde Baru ketika islamisasi justru semakin menguat. Gejala ini, sayangnya, lebih direspons oleh mereka yang memahami ngaji secara sederhana, sehingga melahirkan generasi yang reduksionis terhadap makna keagamaan yang sangat beragam.