Orang-orang di majalah Hai kadang “kurang ajar” dalam pengerjaan tema-tema musik sedang digandrungi atau membikin ruwet-perdebatan. Pada masa 1980-an, Hai itu kiblat remaja mengetahui musik, film, sastra, busana, makanan, dan lain-lain.
Kini, Hai itu dokumentasi ulah dan ide-imajinasi remaja dari masa lalu. Kita pantas iri mengetahui bapak-ibu atau paman dihidupi majalah-majalah. Kita mengingat Hai edisi 26 April-2 Mei 1988. Gambar di sampul: perempuan bercelana panjang, berkerudung, dan mengenakan sepatu karet. Ia memegangi gitar sambil beradegan seperti di panggung musik. Hai berani mengajak pembaca masuk ke perdebatan sengit bertema kasidah. Pada masa 1980-an, ada puluhan kelompok kasidah sering pentas di pelbagai acara. Kita mengingat Nasida Ria.
Pada saat berbarengan, ada kabar dari keponakan tinggal di Semarang. Di rumah, ia bekerja sesuai anjuran pemerintah. Ia pun momong tiga anak masih kecil. Ia mengabarkan mulai memutarkan lagu-lagu Nasida Ria untuk anak-anak.
Pada bulan Ramadan, bocah-bocah diajak mendengar musik masa lalu. Kita mengandaikan tiga bocah turut berjoget saat diajak bapak menonton pentas Nasida Ria di gawai. Kasidah itu seru. Tiga bocah lekas berseru: “Perdamaian, perdamaian…”
Kita menengok Hai memasang judul besar di sampul: “Kasidah: Musik Dakwah?” Ruwet kasidah dibicarakan dalam seminar di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, 16 April 1988. Kita mencatat kasidah memang bersejarah. Kasidah diseminarkan itu mengejutkan! Pengantar di Hai terbaca: “Musik kasidah digugat. Sebagian praktisinya melenceng. Padahal, musik inilah yang kerap disebut dengan ‘musik Islam’. Kenapa dangdut yang malah merasuk?” Kasidah terbukti kerasukan dangdut. Di pentas-pentas, kasidah mulai memiliki alat musik baru dan ada jogetan. Rebana belum memadai untuk mencapai ke “hiburan” dan “komersialitas”.
Apa kita salah waktu, tak terlibat atau mengikuti debat kasidah di masa 1980-an? Berdebat musik dan agama itu membuat kita mecucu, merem-melek, batuk-batuk, atau rajin marah. Kesibukan mengomeli musik dan agama masih berlangsung sampai sekarang. Konon, orang-orang sedang ribut lagu mengisahkan jalinan asmara Nabi Muhammad. Ah, ribut belum memicu seminar. Kita anggap kalah gengsi dengan kasidah. Kita sembrono membuat perbandingan jenis lagu dan suasana keberagamaan di Indonesia beda zaman.
Emha Ainun Nadjib berpendapat: “Unsur dakwahnya cukup bagus. Tapi wawasan Islam yang mencakup unsur sosial budayanya masih kurang. Masak urusan KB dan transmigrasi yang didengung-dengungkan. Kok malah jadi lebih tinggi dari Qur’an.”
Oh, ketenaran kasidah mulai dapat titipan propaganda pemerintah. Kasidah di panggung-panggung dengan pelbagai simbol Islam tak cuma berdakwah mengacu kitab suci tapi berpihak pula ke kebijakan-kebijakan pemerintah. Kasidah dengan berjoget memungkinkan pesan-pesan pemerintah sampai ke publik. Misi dakwah melalui lagu-lagu bertema keislaman justru berkurang.
Kasidah telah terpilih. Kasidah telah disetori kritik-kritik. Ebiet G Ade, musisi puitis berusia 34 tahun (waktu itu), memberi pendapat tak segalak Cak Nun. Ebiet G Ade sering bersenandung alam, religiositas, asmara, keluarga, dan lain-lain. Pada masa berbeda, kita mengingat lirik Ebiet G Ade: “Kepada-Mu, aku pasrahkan seluruh jiwa dan ragaku…” Di lagu berbeda: “Dalam kepekatan mimpiku, wajah-Mu tersembunyi, alam semesta, matahari, bintang, rembulan. Semua datang sujud buat-Mu…” Ebiet G Ade tak berniat terlalu meributkan kasidah. Ia telah memiliki siasat berdakwah melalui lagu-lagu berlirik puitis, tiada joget atau rangsang kemaksiatan. Ebiet G Ade mengatakan: “Jangan membuat pendengar seolah berada di Padang Arafah.” Ia memang bukan tokoh mahir berdebat. Kasidah cuma diberi “jangan”. Begitu.
Baca esai-esai menarik Bandung Mawardi