Sedang Membaca
Daulat Petani Kopi, Orang Gayo, hingga Kaum Sufi
Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Daulat Petani Kopi, Orang Gayo, hingga Kaum Sufi

“Saya kasih tahu cara menyeduhnya, ya, Pak. Taruh air panas di gelas, lalu taburkan kopi di atasnya. Biarkan kopinya meresap ke dalam air. Jangan diaduk. Nah … barulah nanti diminum.”

Tengku Sadikin alias Gembel

Senang sekali saya mendengar petunjuk minum kopi itu dari seorang petani kopi Arabika Gayo di Bener Meriah, Nangro Aceh Darussalam. Ini sesuai dengan terminologi Petani Kopi Mandiri yang saya dan Pungkit Wijaya buat, “Petani yang bisa menanam benih kopi, memelihara, hingga menyajikan hasil kopi olahannya sendiri.”

“Saya ingin lebih dari itu,” ujar Tengku Sadikin alias Gembel, pemilik Kafe Seladang. Disebut Gembel merujuk rambutnya yang panjang seperti tak pernah diurus. Tapi jangan ragukan pengetahuannya soal Kopi Gayo. “Saya namakan Petani Kopi Berdaulat!” tegasnya.

Gembel membuka Kafe Seladang di jalan perlintasan Aceh Tengah, yang dikonsep sebagai kafe di tengah kebun kopi. Ke depan pengunjung bisa bermalam di tengah kebun sambil menikmati berbagai sajian kopi Gayo.

Saya datang ke Seladang bersama Hamzah Sahal. Kami datang ke Bener Meriah, dari tanggal 11-12 September, untuk sebuah tugas dari Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama.

Mula-mula duduk di dangau paling belakang, persis dekat pohon-pohon kopi. Di dangau belakang tersedia empat kursi. Awalnya hanya kami berdua, lalu Gembel menyusul.

Baca juga:  Perbincangan dengan Andree Feillard: Islam yang Berubah
Salah satu sudut belakang dangau di Kafe Seladang, Jalan Lintas Aceh Tengah (dok. alif)

Rinai hujan yang turun menemani obrolan-obrolan ringan. Daun kopi yang mengkilap karena kena air hujan dan biji kopi yang memerah di sela-sela dedaunan mencuri perhatian kami untuk berdiri dan memotretnya.

Tidak lama Tgk. Syarkawi dan Tgk. Bahruddin datang. Kami pindah di ke depan, di tempat yang lebih luas lagi dan dilengkapi tungku perapian.

Obrolan ringan berubah mengarah ke tema-tema serius. Pengolahan, permodalan, perbankan syariah khusus kopi, strategi pemasaran, akses petani pada fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Untung saja, kami masih dianugerahi rezeki dapat tertawa, sehingga dapat memecahkan keseriusan obrolan. Dan ini, peran lubang hidung yang sehat amat penting di penting jika berkunjung ke Seladang. Karena jika hidung mampat, aroma “kopi anggur” yang aduhai tidak dapat dinikmati.

“Tanpa tawa dan hidung mampat, apalah arti kita datang ke sini,” sela Hamzah Sahal disambut tawa.

Penulis, Gembel, Tengku Syarkawi, dan Redaktur Alif.ID duduk di dangau Kafe Seladang, Aceh Tengah. (dok. alif)

“Minimal anak-anak petani kopi Gayo bisa sekolah hingga D3,” Gembel.

Melihat antusiasme anak muda perintis seperti Gembel itu,  Tengku Syarkawi yang juga Wakil Bupati Bener Meriah, tak kalah semangat.

“Apa yang sudah dirintis Bang Gembel ini akan menjadi percontohan. Kami akan mendukung semua upaya menuju petani kopi yang sejahtera.”

Tgk. Syarkawi yang merupakan pasangan dari Bupati Ahmadi ini baru dilatik dua baulan lalu. Keduanya harus berjibaku berbenah, menata pertanian kopi sebagai mata pencaharian terbesar sekaligus penghasil devisa terbesar bagi Kabupaten Bener Meriah.

Baca juga:  Syaikh Abdul Qodir dan Nasrani yang Masuk Islam

“Semua orang di dunia ini suka kopi, tapi tak semua tempat bisa ditamani kopi,” ujar ulama yang disapa warga sebagai abuya itu. “Dengan kondisi itu, sudah seharusnya petani kopi Gayo punya daya tawar yang lebih baik,” sambungnya.

Begitulah. Jika anak muda perintis mendapat dukungan pejabat yang punya visi, cahaya harapan untuk kesejahteraan petani layak untuk diharapkan.

Islam dan Kopi

Secangkir “Kopi Anggur” di Kafe Seladang, Aceh Tengah (dok. alif)

Hamzah Sahal, yang antara lain dikenal banyak menulis humor pesantren, tidak kalah serius dalam obrolan sore itu. Dia mengajukan tema keislaman dan kebudayaan mengiringi kampanye daulat petani kopi.

Eropa, kata Hamzah, banyak mengkonsumsi petani kopi dari Gayo, tapi banyak di antara mereka berpandangan miring tentang Islam.

“Dunia mengakui kok bahwa kopi ini sumbangan orang orang Islam. Kata Kang Iip, dulu para sufi yang mengenalkan kopi. Para sufi minum kopi agar kuat berzikir. Ajaran kaum cinta kasih, perdamaian, menghormati jalan menuju Tuhan yang beragam. Dan umat Islam di Aceh ini mempertemukan dua-duanya, buminya menumbuhkan  kopi terbaik dan dan ulamanya mewariskan tradisi sufi. Jadi rugi kita yang muncul hanya urusan jual beli kopi,” terang Hamzah.

“Jangan sampai Aceh hanya terkenal hukuman cambuknya saja,” tambahnya.

Gembel sarujuk dengan materi yang disampaikan Hamzah. Gembel menekankan soal perdagangan.

Baca juga:  Makam Syekh Safiuddin, Jejak Sufisme Dinasti Safavid

Gembel mengungkapkan, masih ada petani kopi yang melakukan jual-beli tidak sesuai Syariah, padahal mereka semangat bicara Islam.

“Kopi yang ditanam di ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut, dijual dibawa naik di tanah ketinggian 1500 meter untuk menaikkan harga. Ini kan menipu? Tidak sesuai dengan nilai Islam dan perjuangan petani kopi berdaulat,” ungkapnya.

Petani Kopi Berdaulat, semoga dapat segera terwujud di Bener Meriah. Islam dan orang Gayo juga tidak boleh ditinggalkan.

Sebab, jika kita gigih berjuang dengan ide petani kopi berdaulat, itu artinya kita juga memperjuangkan nilai keislaman, memperjuangkan orang-orang Gayo lengkap dengan kebudayaannya.

Didong Gayo misalnya, harus ikut mendunia bersama kopinya, bersama Islam tradisi sufinya, bersanding dengan tari Saman yang sudah lebih dulu mendunia.

Selamat bekerja keras, Bang Gembel. Selamat mengemban amanah Bang Ahmadi dan Tgk. Syarkawi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top