Sedang Membaca
In Momeriam Usep Romli HM: Penulis NU Bernafas Panjang
Abdullah Alawi
Penulis Kolom

Wartawan, tinggal di Jakarta

In Momeriam Usep Romli HM: Penulis NU Bernafas Panjang

Fb Img 1594346080274

Saya pernah bertamu ke rumah Usep Romli HM pada November 2012. Waktu itu, saya pulang dari Tasikmalaya setelah meliput wisuda pertama STAINU Kota Tasikmalaya. Kemudian mengikuti 90 tahun Pondok Pesantren Sukahideng yang didirikan sepupu KH Zainal Mustafa, KH Zainal Muhsin. Untuk acara yang disebut terakhir, saya telat datang. Ketika tiba di lokasi, KH Saepudin Zuhri, pengasuh pesantren Haurkuning sedang berdoa. Doanya pun di bagian akhir.

Pada perjalanan pulang ke Jakarta itulah, saya bertanya keberadaan Usep Romli HM yang tinggal di Garut melalui pesan singkat ke nomor kontaknya. Kalau dia berada di rumah, saya akan singgah. 

Ia mempersilakan bertandang, asal menjelang malam sebab ia masih di Bandung. Kesempatan ini tak akan saya sia-siakan karena kapan lagi bertamu kepada penulis top Sunda. Apalagi dia berlatar belakang pesantren. Saya akan bertanya dan belajar, kendati dalam waktu singkat. 

Saya tiba di rumahnya selepas maghrib. Setelah makan malam kami mengobrol di ruang tamunya. Seingat saya, di ruang tamunya terdapat beragam jenis buku di bebeberapa lemari. Selintas saya melihat buku-buku tersebut, di antaranya terdapat kitab-kitab kuning yang biasa dikaji di pesantren. Ia memang jebolan pesantren. Ahli bahasa Arab. Kemampuannya itu telah mengirimkannya dalam liputan Timur Tengah manakala ia jadi wartawan Pikiran Rakyat.

Baca juga:  Sukarno, Kader Muhammadiyah yang mencintai NU

Garut dan Literasi

Pada percakapan di ruang tamunya, saya bertanya tentang pesantren dan dunia tulis-menulis. Ia memulai cerita dari tanah kelahirannya sendiri. Garut sebagai tanah subur untuk tanaman dan inspirasi pengarang, baik oleh orang Garut sendiri maupun daerah lain, bahkan mancanegara. 

Menurut dia, sejak awal abad 18, Garut sudah menjadi sumber ilham para sastrawam, pelukis, dan fotografer. Pengarang Arab Abdullah Assegaf menulis Fatat Qarut (novel, Gadis Garut), penyair Jerman (dia tak menyebutkan nama) juga pernah menulis puisi-puisi berlatar belakang keindahan Garut. Ia juga menyebut Charlie Chaplin pernah ke Garut. 

Sastrawan Sunda Moh. Ambri, yang terkenal dalam bukunya Numbuk di Sue (1936), memakai daerah Garut selatan yaitu Waspada, Cikajang, Cisompet, Cilauteureun sebagai latar kisah.

“Keadan membentuk tradisi intelektual penduduk setempat untuk aktif dan kreatif melahirkan karya-karya tulis,” katanya.

Ia kemudian mengabsen pengarang-pengarang Garut: Surachman RM, Olla S. Sumarnaputra, Abdullah Mustapa, Ai Koraliati, Andan Purasasmita, Apip Mustopa, Nenden Lilis A., Asep Salahudin, dan Iip D. Yahya. Mungkin ada pengarang lain yang tak sempat ia sebutkan. 

Pada generasi lebih tua, ada Achdiat Karta Mihardja, Dodong Djiwapradja dan Wing Kardjo Wangsaatmaja. Generasi sebelumnya lagi, ada Muhammad Musa, Lasminingrat dan Haji Hasan Mustapa (HHM).

Baca juga:  Omar Khayyam: Saintis Muslim, Sastrawan hingga Penikmat Wine Sejati

Di lain kesempatan melalui telpon, ia bercerita ada orang Garut yang memiliki ‘tenaga dalam’ luar biasa dalam menulis. Dalam sehari, tulisan dengan tema sama, tentang Maulid Nabi Muhammad, dimuat di tujuh koran berbeda dengan perspektif berlainan.

Ketujuh artikel tersebut adalah Maulid Politik Kenabian (Kompas), Religiusitas Maulid Nabi (Republika), Spirit Budaya Kenabian (Republika rubrik Kabar Jabar), Maulid Kita (Pikiran Rakyat), Tarekat Kultural Maulid (Tribun Jabar), Maulid dan Paradoks Keberagamaan (Media Indonesia), dan Semiotika Berkat Maulid (Jurnal Nasional).

Penulis tersebut adalah Asep Salahudin, santri Limbangan yang kini mengabdi Pesantren Suryalaya Tasikmalaya serta Lakpesdam PWNU Jawa Barat. Dalam produktivitas menulis, ia pernah memeroleh anugerah Rucita Aksara dari Universitas Padjajaran dalam kategori mahasiswa (S3) tahun 2012. Anugerah tersebut diberikan kepada dosen dan mahasiswa yang paling produktif menulis di media massa.

Panjang Napas 

Kembali ke obrolan di ruang tamunya, Usep pun menjelaskan semangat orang pesantren menulis. Menurutnya, menulis itu tiada lain bertujuan untuk dakwah. Pesantren mengajarkan, dakwah tidak hanya dengan lisan, tapi juga tulisan. 

Walhasil, pesantren tak pernah absen melahirkan penulis andal. Khusus di Garut, menurut Usep, pesantren melahirkan Muhammad Musa, Haji Hasan Mustapa, KH Teten (Pesantren Al-Ulfah Lewo, Malangbong), KH Hasan Basri (Pesantren Keresek, Cibatu), KH Uding Bahrudin (Wates, Limbangan), Enas Mabarti, KH Nuh Ad-Dawami (Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat), Iip D. Yahya, Asep Salahudin, dan lain-lain.

Baca juga:  Mengenal Muhammad Zekki, Gen Z dari Madura di Tanah Suci

Sementara Usep Romli HM tidak bercerita tentang dirinya. Padahal ia penulis produktif sepanjang usia. Menurut Iip D. Yahya, Usep adalah teladan santri yang panjang napas menulis. Karenanya, PBNU tak ragu memberi penghargaan Hadiah Asrul Sani (2014) pada kategori Kesetiaan Berkarya. 

Di ruangan tamu Usep menunjukkan jejak kesetiaan dan panjang napasnya sebagai penulis. Beberapa piagam penghargaan tergantung di dinding. Berdasarkan penulusuran saya di Google, ia memang pernah meraih beberapa penghargaan, di antaranya Hadiah Mangle (1977), Hadiah Penulisan Buku Depdikbud (1977), Piagam Wisata Budaya Diparda Jabar (1982) serta Hadiah Sastra LBSS (1995). Juga anugerah Rancage (2010) untuk kategori karya, yaitu buku Sanggeus Umur Tunggang Gunung; dan Rancage kategori jasa (2011). 

Soal panjang napas, Dadan Sutisna berpendapat, bahwa Usep, hampir setengah abad melahirkan ribuan judul tulisan. Masih menurut Dadan, dalam karya Usep ada yang bernuansa sastra, jurnalistik, dan keislaman. Bagian terakhir ini perlu saya tegaskan, Usep adalah pengasuh Pesantren Raksa Sarakan (Cinta Tanah Air). Jadi, ia kiai haji atau ajengan yang panjang napas menulis. 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top