Menjelajah Jalur Rempah Masjid Syaikh Hasan Sulaiman di Hila dan Jaringan Intelektual Ulama Maluku-Jawa Masjid Syaikh Hasan Sulaiman di wilayah Hila, Maluku Tengah. Ia dikenal juga dengan Masjid Ulihalawang.
Corak arsitekturnya indah sekali, dengan balutan warna kuning muda cerah, dibalut hijau dan merah. Dinding masjid ini berbahan kayu dan beratap seng. Pada banyak bagian bangunan, terdapat banyak hiasan ornamen dengan berbagai macam jenis ukiran yang cantik. Semua elemen-elemen masjid menggambarkan keselarasan: penyangga atap, pagar halaman dalam masjid, bagian atas pintu, hingga mimbar dan mihrab ceruk pengimaman.
Letak masjid ini tak terlalu jauh dari Masjid Tua Wapauwe di Kaitetu, dekat dengan pesisir pantai Hila yang bersih dan biru. Nama masjid “Hasan Sulaiman” sendiri berasal dari seorang ulama besar Hila abad ke-17 M, yaitu Syaikh Hasan Sulaiman. (Baca tulisan menarik: Mengenal Alifuru)
François Valentijn, seorang misionaris dan naturalis asal Belanda, berada di Ambon pernah menginjakkan kaki di masjid tua ini, bertemu dengan imam masjid tersebut serta jemaatnya, sekaligus menulis sedikit deskripsi tentang potret Muslim Hila masa itu.
Valentijn berada di Maluku dan kepulauan Nusantara lainnya sejak tahun 1653 hingga 1694. Ia pun menuliskan segala seluk-beluk yang berkaitan dengan masyarakat Nusantara dalam bukunya yang monumental “Oud en Nieuw Oost-Indiën“.
Buku ini pun menjadi salah satu sumber rujukan utama bagi kajian sejarah besar Nusantara pada abad ke-17, utamanya bagi Maluku, Sulawesi, dan Jawa. (Baca tulisan Nasionalisme Islam Nusantara)
Dikisahkan oleh Valentijn, bahwa ia datang mengunjungi Masjid Hila. Ada banyak jemaah yang sedang melaksanakan salat. Saat itu ulama sentralnya bernama Syaikh Hasan Sulaiman. Kepada ulama tersebut, Valentijn pun bertanya tentang puasa, pernikahan, dan sumpah dalam agama Islam.
Ada imam Masjid Hila lainnya yang ia temui, yang memanjatkan doa
untuk Valentijn dan mengajaknya untuk memeluk agama Islam.
Selain itu, Valentijn juga menuliskan bahwa masyarakat muslim Maluku, selain berbicara dalam bahasa ibu mereka, mereka juga mahir berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua-franca wilayah Kepulauan Nusantara Raya, baik lisan maupun tulisan. Hal ini jugalah yang menjadikan kitab-kitab keislaman berbahasa Melayu banyak dikaji dan dipelajari di Maluku.
Dalam catatan Valentijn, Islam di Hila dan di wilayah Kesultanan Hitu (Maluku) lainnya erat berkaitan dengan Islam di Jawa. Dikatakan oleh Valentijn, bahwa salah satu babakan sejarah islamisasi Kepulauan Maluku tak bisa dilepaskan dari peran sosok “Pati Toeban”, seorang ulama dari Tuban, yaitu Sunan Bonang yang dikuburkan di kota tersebut.
Di Jawa, tentu nama Sunan Bonang dari Tuban sangat masyhur adanya. Dalam sebuah sumber yang lain, yaitu “Hikayat Tanah Hitu”, diberitakan bahwa Kesultanan Hitu di Maluku memiliki hubungan yang erat dengan pusat-pusat perkembangan keilmuan Islam di Jawa, seperti di Demak (Jawa Tengah), Giri (Jawa Timur), dan Banten (Jawa Barat).
Hitu juga memiliki hubungan dengan Kesultanan Gowa di Makassar, selain tentu saja dengan Kesulanan Buton, Ternate, dan Tidore yang lebih dekat.
Mari kita berkunjung ke sana, untuk membuka wawasan dan merasakan kesejarahan kita, keislaman kita. Saat berkunjung ke sana, kita juga akan disuguhi pemandangan indah, alam yang kaya, dan tentu saja manusianya yang menghormati segala keragaman yang ada di di bumi Indonesia ini. Dirgahayu Indonesia.
Teluk Ambon, 12 Agustus 2018