“Siswa dituntut untuk bisa menguasai seluruh Mapel”. Salah satu ungkapan itu datang menjorok mengkritik sistem pendidikan di Indonesia, yang di setiap jenjangnya mengharuskan Siswa dalam suatu sekolah untuk mempelajari berbagai macam Mapel.
Sebuah ungkapan yang menurut saya salah kaprah. Jika seorang manusia dituntut untuk bisa segalanya, karena potensi yang dimiliki setiap individu itu tidaklah sama.
Seperti yang kita ketahui bersama, setiap manusia memiliki anugerah potensi atau bakat masing-masing, yang diberikan murni dari Tuhan, yang dalam istilah bahasa arab disebut malakah ilahiyah, bakat alami.
Seorang yang memiliki potensi dalam bidang olahraga ( olahragawan) tidak akan bisa melakukan pekerjaan yang menjadi potensi seorang jurnalistik. Bahasa mudahnya, wong iku wes ana dalane dewek-dewek (Jawa), setiap orang itu sudah punya jalannya masing-masing. Seorang yang ditakdirkan menjadi pemain sepak bola tidak mungkin tertukar dengan orang yang ditakdirkan menjadi pemusik.
Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang sangat mungkin memiliki lebih banyak potensi dari orang lain, tapi lagi-lagi itu dikembalikan pada ‘malakah’ yang diberikan oleh Allah.
Hal itu juga mungkin berlaku dalam dunia permusikan.
Dalam kitab Al-Musik Al-Kabir, Al-Farabi menjelaskan mengenai muqaranah antara praktik pembuatan lagu oleh komponis dan penyampaian lagu oleh penyayi.
Sangat jelas sekali menurut saya ungkapan musisi lagu masa dinasti Abbasiyah, Ishaq bin Ibrahim Al-Maushili (767-850 M) mengatakan: اَلْاَلْحَانُ نَسْجٌ يُنْشِئُهَا الرِّجَالُ وَيُجَوِّدُهَا النِّسَاءُ (lagu itu ibarat tenunan kain yang dibuat oleh laki-laki dan dipoles oleh perempuan).
Yang jika diinterpretasikan oleh pemahaman saya yang dangkal berarti “seorang komponis lagu belum tentu dapat menyampaikan lagu yang ia buat”. Atau bisa juga diartikan dengan kegiatan lain yang memiliki indikasi sama, misalnya seorang pembuat video game belum tentu bisa memainkan video game yang ia buat.
Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan seorang komponis lagu mahir dalam bernyayi, malah lebih masuk akal dari pada pendapat Al-Mausihili di atas menurut saya.
Dengan argumentasi salah satu alasan seseorang menjadi komponis karena ia menyukai dan bisa menyanyikan lagu. Apakah mungkin seseorang yang tidak bisa bernyanyi kemudian membuat lagu? Tapi kembali pada malakah (bakat) yang tidak bisa dibantah, maka hal itu wajar saja, karena memang ‘potensi’ yang dimiliki manusia berbeda-beda, tergantung pada malakah, bakat/kemampuan yang dianugerahkan Allah.
Kemudian dari malakah tersebut akan membentuk pribadi seorang musisi dengan utuh, tergantung kecondongan si musisi tadi.
Dari perbedaan kecondongan itulah lahir genre-genre musik yang terus berkembang sampai sekarang. Mulai dari jenis musik seni (art music) musik serius yang termasuk dalam musik kontemporer, musik klasik khas Eropa ataupun musik populer, yang digemari oleh kaum milenial, seperti jazz, rock, pop atau yang lainnya, juga tak ketinggalan “musik tradisional” seperti dangdut.
Al-Farabi, dalam hal ini mengelompokkan lagu yang ada ke dalam tiga jenis:
Pertama, Al-Alhan Al-Mulidzah, lagu yang dapat membuat an-Nafs, jiwa/spirit merasakan nikmat dan sempurna ketika didengarkan, serta memberikan rileksasi pada jiwa tanpa membebaninya dengan sedikitpun aksi dari jiwa, mungkin dalam hal ini contohnya sama seperti ketika seorang muslim mendendangkan shalawat.
Kedua, Al-Alhan Al-Mukhayyalat lagu yang memberikan efek positif pada jiwa, dengan adanya hayalan yang timbul dari mendengarkannya sehingga menimbulkan tashawur, deskriptif dan kemudian melukiskannya pada kanvas jiwa/spirit seperti melihat sosok yang tergambarkan dalam lagu yang didendangkan.
Ketiga, Al-Alhan Al-Infialiyah, lagu yang timbul karena infialat, kasus-kasus yang terjadi, juga yang timbul dari keadaan-keadaan ada pada hewan, yang memberikan rasa ‘nikmat/sakit’ pada pendengar.
Pada kasus lagu yang ketiga kata ‘elegi’ atau melankolis mungkin adalah ungkapan yang paling cocok, karena jenis ketiga ini isinya adalah ratapan atau rasa senang penyanyi yang diekspresikan pada sebuah lagu.
Kemudian Al-Farabi menjelaskan tujuan dari ketiga jenis lagu yang ia jelaskan dengan lafadz:
وَالْمُلِذَّةُ مِنْهَا تُسْتَعْمَلُ لِلرَّاحَاتِ وَفِى كَمَالِ الرَّاحَاتِ, وَالْاِنْفِعَالِيَّةُ تُسْتَعْمَلُ حَيْثُ يُقْصَدُ بِهَا حُدُوْثُ الْاَفْعَالِ الْكَائِنَةِ عَنِ انْفِعَال, اَوْ حُصُوْلُ الْاَخْلَاقِ التَّابِعَة ِلِانْفِعَالٍ مَا, وَالْمُخَيَّلَاتُ تُسْتَعْمَلُ حَيْثُ تُسْتَعْمَلُ الْاَقَاوِيْلُ الشِّعْرِيَّةُ وَاَنْحَاءٌ مِنَ الْخِطَابِيًّةِ, وَمَنَافِعُهَا تَابِعَةٌ لِمَنَافِعِ الْاَقَاوِيْلِ الشِّعْرِيَّةِ
Lagu yang termasuk golongan Al-Mulidzah digunakan untuk relaksasi spiritual, membuat si pendengar dapat merasakan nikmat sehingga menimbulkan ketentraman dalam jiwanya.
Lagu yang termasuk dalam Al-Infialiyat digunakan untuk mengharapkan terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan apa yang ia alami.
Kalau dalam lagu melankolis atau elegi maka penyanyi berharap hal itu tidak terjadi lagi untuk seterusnya, sebaliknya jika lagu tersebut berisi ungkapan rasa bahagia, atau timbulnya sifat yang mengikut pada peristiwa yang terjadi dengan apa yang dikehendaki.
Sedangkan Al-Mukhayyalat biasa digunakan dalam bentuk syiir atau kalau zaman sekarang bisa berupa puisi atau prosa, dan arah pembicaraan dialog antar perorangan atau komunal, artinya kemanfaatan jenis lagu ini tergantung isi dari syiir yang dilantunkan.
Ketiga jenis lagu yang dikelompokkan Al-Farabi tersebut adalah jenis lagu berdasarkan efek yang timbul dari suatu lagu. Namun, jika ketiga jenis tersebut terkumpul dalam satu lagu, maka akan lebih sempurna dan afdhal lagu yang dihasilkan.