Sedang Membaca
Khudirin
Dwi Cipta
Penulis Kolom

Pegiat literasi media, penyuka sastra. Tinggal di Jogjakarta

Khudirin

Khudirin. Nama pendek ini memiliki gema panjang di benakku, terentang sejak kelas dua sekolah dasar sampai sekarang.

Aku tak tahu apakah namanya menggema pula di benak teman-teman sekolah dasarku. Selain pertemuan tak sengaja dengan buku-buku di gudang kantor balai desa sejak kelas satu sekolah dasar, pertautanku dengan buku dan aktivitas menulis barangkali tak akan merentang panjang kalau tak ada sosoknya.

Setelah membaca novel Marquez dan Coelho, bila namanya sedang menggema lamat-lamat di benak, ia tampil laksana sosok Melquiades dalam novel Seratus Tahun Kesunyian atau Melchizedek dalam novel Alkemis, orang yang hadir di dunia nyata untuk menujum dan menulis masa depan orang lain, bahkan dengan cara yang tak pernah ia sadari sendiri.

Lelaki berpostur kerempeng dengan muka ke-arab-arab-an ini pertama kukenal di kelas satu SD sebagai guru agama Islam.

Para siswa di sekolahku memanggilnya “Pak Dirin”.

Di tahun pertama sekolah dasar, aku tak pernah menganggap istimewa guru agama yang selalu datang ke sekolah dengan sepeda mini yang tampak kekecilan dibandingkan dengan tubuhnya yang tinggi kerempeng. Kesanku padanya baru berubah begitu menginjak kelas dua. Ia tampil tak sama dengan guru-guru lain di sekolah dasarku. Mungkin karena sejak kelas dua itu aku mulai menyadari kalau ia hanya mengajar seminggu sekali sementara guru-guru lain bisa setiap hari ditemui para siswa di sekolah.

Di samping itu, kebiasaannya termenung-menung sendiri di pintu belakang ruang guru sembari memandangi dedaunan atau buah mangga menerbitkan aura misterius dalam dirinya.

Baca juga:  Nalar Publik, Pandemi Corona, dan Kehidupan Masyarakat Sipil Indonesia

Selain memberi pelajaran agama Islam, ia juga menjadi kepala perpustakaan kecil di sekolah dasarku. Bila jam istirahat tiba, para siswa sekolah dasar yang suka membaca akan masuk ke ruang koleksi perpustakaan atau antri di depan sebuah loket kecil untuk mengembalikan buku.

Seingatku ia juga bukan orang yang pintar bercanda pada para siswa. Itulah sebabnya hubungan siswa peminjam buku dan dirinya selaku petugas perpustakaan hanya diperantarai oleh buku-buku di perpustakaan, obrolan pendek tentang kartu peminjaman buku dan jenis buku yang dipinjam. Nyaris tak ada pertanyaan apa tanggapan para peminjam buku setelah membaca buku-buku yang dibawa ke rumah untuk dibaca.

Karena jasa Pak Dirin itulah aku mengenal cerita-cerita anak terbitan Balai Pustaka, seri buku biografi para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa berukuran mini dari para pejuang kemerdekaan yang diterbitkan Penerbit Idayu, dan buku-buku pelajaran pendukung buku wajib.

Di antara buku-buku masa kelas dua sekolah dasar itu ada dua buku yang saya ingat dengan baik: biografi Dokter Suharso dan sebuah kisah tentang mitos Selat Karimata. Bertahun-tahun kemudian, ketika sedang membantu seorang kawan untuk mengecek koleksi perpustakaan salah seorang pengurus Taman Siswa (Pak Karkono), aku menemukan kembali seri buku biografi yang kubaca di masa kelas dua sekolah dasar itu.

Lelaki berwajah ke-Arab-Arab-an itu melayani gairah membacaku nyaris tanpa secluring senyum atau semburat jengkel di wajahnya. Setelah selesai urusan administratif, dengan bahasa tubuhnya ia meminta anak-anak yang antri di belakang siswa yang telah dilayaninya untuk maju.

Baca juga:  “Mencuri” Keuntungan Politik di Pusara Kiai Maimoen Zubair

Pada suatu hari, di masa-masa akhir kelas dua sekolah dasar, ia mengunjungi rumahku secara tiba-tiba. Sejak ia memarkir sepeda di depan rumah, perasaanku sudah kebat-kebit tak menentu. Untung aku tak berada di depan rumah sehingga tak langsung dipergokinya. Namun berbagai pikiran buruk menyatroni kepala. Kesalahan apa yang kuperbuat padanya sehingga ia merasa perlu mengunjungi rumahku? Apakah ada sesuatu hal yang akan ia laporkan ke ibuku?

Aku bisa tak peduli bila dimarahi ayahku. Tapi kalau ibuku sudah pasang wajah galak, alamaak, rasanya lebih milih kencing di celana sambil mengakui kesalahan daripada harus minggat dari rumah.

Dari ruang tengah aku berlari ke dapur untuk memberitahu ibu tentang kedatangan guru agamaku itu. Aku tak berani unjuk diri di depan guru yang selalu tampak misterius itu meski ia telah duduk di ruang tamu rumah dan ibuku menyiapkan segelas teh panas untuknya. Ketika akhirnya ibu menemui dan bercakap-cakap dengannya di ruang tamu, aku hanya mencuri dengar dari ruang tengah yang aman.

Namun, walaupun obrolan mereka kucuri dengar dari awal sampai akhir, tak keluar laporan kesalahan yang kuperbuat di sekolah dari mulutnya. Ia justru bertanya apa saja yang kulakukan di rumah sesudah sekolah, kenapa aku begitu teratur menjadi peminjam buku-buku di perpustakaan sekolah, siapa yang mengajariku membaca di rumah.

Baca juga:  Haji dan Perihal Ganti Nama, Bukan Ganti Presiden

Tak ada satupun pertanyaan yang nyerempet ke hal-hal buruk yang kulakukan di sekolah. Setelah ngobrol kesana kemari sambil ditemani segelas teh hangat ia pamit pulang. Namun sebelum pulang kembali ia berujar sesuatu yang akan kuingat sampai sekarang:

“Tolong jaga baik-baik anak sampeyan. Saya tak tahu juga kenapa harus bicara seperti ini. Tapi jagalah baik-baik anak sampeyan. Akan jadi apa kalau ia besar nanti, hanya Allah yang tahu.”

Begitu sepedanya telah jauh meninggalkan rumahku, ibu masuk kembali ke dapur. Aku membuntutinya, menunggu apa yang akan ia katakan setelah dipesani sesuatu yang tak kupahami oleh guru agamaku saat itu. Namun ia tak mengatakan apa-apa. Wajahnya jelas tak menunjukkan kemarahan sama sekali.

Namun senang pun tidak. Ia tampak berpikir keras. Namun anak kecil sepertiku tak pernah tahu hal-hal rumit yang dipikirkan oleh orang dewasa. Karena tak kunjung bersuara, aku ke kamar dan membolak-balik halalaman demi halaman buku yang kupinjam dari tangan orang yang baru saja bertamu ke rumahku.

Sayang, aku tak menikmati bacaanku. Yang terus ada di kepalaku adalah gema dari ucapan terakhirnya sebelum keluar dari rumahku. Aku tak mengira kalau suaranya akan menggema terus di benakku sampai sekarang. Aku lebih tak tahu akan jadi apa diriku ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top