Sedang Membaca
Intoleransi: Hak atau Identitas?
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Intoleransi: Hak atau Identitas?

Img 20200629 Wa0012

Beberapa hari lalu, seorang teman memberi tahu saya dan sekaligus bertanya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mengadakan survei intoleransi dalam bidang pendidikan, meliputi guru, murid, dan pengelola pendidikan lainnya. Kira-kira apa yang sebaiknya diajukan dalam kegiatan seperti itu agar survei intoleransi tidak mengulang-ulang apa yang sudah-sudah?

Pemberitahuan dan pertanyaan tersebut dikemukakan mengingat kritik saya mengenai survei intoleransi. Seperti telah dimuat sebelumnya di Alif.ID, saya skeptis dengan berbagai macam suvei intoleransi karena rasanya tidak ada yang dilakukan setelah survei dilakukan. Intoleransi masih terus terjadi lagi dan lagi.

Menambah argumen sebelumnya mengenai kemiskinan perspektif yang melatari survei intoleransi, saya ingin menunjukkan satu hal lagi: survei intoleransi melulu berbicara “hak”, tetapi hampir tidak pernah memperhatikan “identitas”. Seolah-olah intoleransi hanya terkait dengan hak yang dilanggar, tetapi jarang peduli dengan identitas yang mesti dipertahankan dan diwariskan.

Perkara hak dan identitas mewakili dua tradisi filsafat besar yang berkembang saat ini. Gagasan mengenai hak lahir dari tradisi filsafat liberal yang terfokus pada otonomi diri individual, sedangkan gagasan tentang tradisi timbul dari tradisi filsafat komunitarian yang lebih mengedepankan keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas kultural tertentu. Keduanya sama-sama mempunyai justifikasi yang sah dan meyakinkan.

Baca juga:  Harmoko Kampanye di Masjid Pesantren

Akan tetapi, selama ini, survei intoleransi melulu berbicara mengenai hak. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada responden berangkat dari asumsi bahwa responden adalah individu belaka. Identifikasi etnis, agama, organisasi, dan afiliasi keanggotaan lainnya ditanyakan untuk melihat sejauh mana individu  berhadapan dengan identitas-identitas di luar diri. Ketika individu memberikan jawaban yang mengesankan dirinya lebih mengikuti idenitas-identitas di luar diri itu daripada “suara hati”-nya sendiri, maka pada saat itulah intoleransi dianggap terjadi.

Dalam konteks pendidikan, misalnya, intoleransi dianggap terjadi jika guru atau pengelola pendidikan lainnya meminta murid perempuan untuk mengenakan jilbab. Permintaan ini, apalagi kalau dilakukan di sekolah negeri, dinilai intoleran. Tanpa mempertimbangkan apa makna di balik tindakan itu, pokoknya permintaan agar murid perempuan mengenakan jilbab di sekolah negeri adalah intoleran.

Kalau dibaca dengan perspektif hak, kesimpulan tersebut memang masuk akal. Pilihan untuk mengenakan jilbab atau tidak harus diletakkan dalam kerangka pilihan individual. Tidak boleh ada kekuatan apa pun di luar keinginan diri yang berhak menentukan pilihan itu.

Masalahnya, terus mau apa? Setelah survei intoleransi merilis hasilnya, lalu apakah pemerintah akan memerintahkan sekolah-sekolah agar membebaskan murid perempuan untuk memakai jilbab atau tidak? Ini mungkin mudah, tetapi bagaimana jika permintaan untuk memakai jilbab itu datang dari lingkungan setempat—keluarga, teman-teman, masyarakat? Apakah pemerintah juga akan memperingatkan lingkungan tersebut agar tidak melakukan itu?

Baca juga:  Mengapa NU Online Mengalahkan Web-Web Islam Puritan?

Di sinilah dilema terjadi dan di sini pula perspektif mengenai intoleransi yang melulu berbicara hak akan menemui batasnya. Akibatnya survei intoleransi yang berangkat hanya dengan perspektif ini tidak akan membawa kita kemana-mana kecuali pengetahuan bahwa sekolah di daerah ini toleran atau, sebaliknya, sekolah di daerah itu intoleran. Hasil akhirnya, singkat kata, adalah pelabelan.

Oleh karena itu, saya mengusulkan agar intoleransi juga dipahami dalam perspektif identitas. Resikonya memang boleh jadi apa yang sebelumnya dikatakan intoleran ternyata tidak sungguh intoleran, tetapi inilah realitas sosial. Apa yang senyatanya tidak selalu sesuai dengan apa yang seharusnya.

Dalam tataran yang lebih teknis, survei yang mempertimbangkan perspektif identitas akan lebih menggali pertanyaan mengapa seseorang melakukan tindakan tertentu. Kembali ke soal jilbab tadi, pertanyaan bukan lagi apakah Anda meminta murid perempuan di sekolah yang Anda pimpin untuk mengenakan jllbab, tetapi mengapa Anda melakukan itu. Pertanyaan yang sama bisa diajukan kepada murid perempuan yang bersangkutan. Contoh pertanyaannya adalah apakah Anda merasa terbebani dengan aturan pemakaian jilbab di sekolah Anda atau tidak? Jika tidak, mengapa? Dan seterusnya.

Untuk sampai pada pertanyaan-pertanyaan seperti itu, penyelenggara survei intoleransi tentu harus mempelajari terlebih dahulu apa makna jilbab bagi seorang perempuan Muslim yang telah dewasa. Tidak hanya mempelajari, penyelenggara survei intoleransi juga perlu mengerti implikasi etisnya bagi seorang perempuan Muslim yang telah dewasa jika itu dilanggar. Soal ini memang rumit, sebab ia memasuki suatu wilayah pengalaman beragama yang tidak selalu rasional.

Baca juga:  Politik Penyertaan: Keterwakilan Muslim dalam Kabinet Jokowi-Ma'ruf

Tentu saja penambahan perspektif identitas dalam kegiatan survei intoleransi bukan berarti permakluman terhadap intoleransi itu sendiri. Perspektif identitas perlu disandingkan dengan perspektif hak agar kita tidak gampang melabeli sesuatu sebagai intoleran tanpa memahami secara benar apa makna di balik sesuatu itu. Tidak hanya tidak akan membawa kita kemana-mana, penilaian survei intoleransi yang gampangan akan melahirkan serangan balik yang tidak perlu dari mereka yang dilabeli intoleran itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top