Buku itu bukti. Buku-buku lama menjadi panggilan sejarah. Kita mungkin teringat dengan ikhtiar P Swantoro menguak dan membaca sejarah melalui buku-buku lawas. Kita diundang menilik buku-buku berusia puluhan dan seratusan tahun dikoleksi P Swantoro, ditulis dengan lacak sejarah dan biografis. Pembaca pun takjub saat membuka halaman-halaman Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002).
Kita susah mengikuti pengembaraan dan ketekunan P Swantoro di khazanah buku tua. Di situ, ada diri sejak masa bocah sampai menjadi kakek. Gandrung dan keranjingan buku lawas beragam bahasa perlahan membuka ingatan tentang penerbit, warna sampul, gambar, percetakan, tahun terbit, jenis kertas, dan lain-lain. Kita sengaja mengajukan buku persembahan P Swantoro mengawali iseng bergerak ke masa lalu demi mengetahui percetakan dan penerbitan Kanisius. Kini, kerja perbukuan itu mencapai usia seratus tahun.
Buku kecil itu berjudul Kommoeni Soetji Toeking Kasampoernan. Buku dicetak berhuruf Latin berbahasa Jawa. Keterangan di bawah: Drukkerij ‘Canisius’ Djokdjakarta, 1928. Dulu, penamaan usaha percetakan menggunakan bahasa Belanda: drukkerij. Penulisan nama institusi masih mengesankan ejaan lawas, Canisius. Pada masa berbeda, penulisan menjadi Kanisius.
Bertemu buku itu mengejutkan. Buku diperoleh di pasar buku bekas dengan harga terjangkau. Buku bertema agama tapi memastikan sejarah itu terbukti. Buku menjadi bukti. Buku memiliki 74 halaman masih dalam kondisi baik dan utuh. Sejarah percetakan Kanisius dimulai pada 1922. Buku itu termasuk dalam babak awal membesarkan usaha percetakan, kelak bertambah dengan penerbitan.
Buku lama masih bisa ditemukan berkaitan Kanisius. Buku kehilangan sampul itu berjudul Serat Among-Sukma gubahan AMDG, cetakan ketiga. Buku berukuran kecil, 244 halaman. Buku dicetak berhuruf Latin berbahasa Jawa. Keterangan terbaca di bagian bawah: “Penerbitan Kanisius Jogjakarta, 1954.” Pada masa 1950-an, usaha sudah ganda berupa percetakan dan penerbitan. Penamaan menggunakan bahasa Indonesia, tak lagi bahasa Belanda.
Dua buku dari masa berbeda memang panggilan sejarah. Kita berhadapan dengan buku bercap Kanisius sebagai percetakan dan penerbitan. Penemuan dua buku itu cukup melegakan meski masih ada puluhan buku lawas cap Kanisius masih tersimpan di Bilik Literasi (Solo) tapi belum dibuatkan katalog. Sejarah di Indonesia memiliki bab percetakan dan penerbitan. Kanisius turut berperan besar, mula-mula dengan buku agama berlanjut ke beragam jenis buku.
Bujukan ke sejarah menguat saat membaca majalah-majalah lama. Kita membuka majalah Basis terbitan masa 1960-an. Kita berjumpa iklan-iklan dari Kanisius. Di majalah Basis edisi September 1960, terbaca iklan sehalaman dari Penerbitan Jajasan Kanisius. Daftar penulis, judul buku, dan harga mengundang orang-orang membeli dan mengoleksi. Jenis buku ditawarkan: agama dan pelajaran sekolah. Kita membaca sekian informasi: Sendi Perkawinan (IJ Istiadi), Saksi Zaman (Bambang S), Ikhtisar Sedjarah Indonesia dan Ketatanegaraan (L Jama), Teropong Sedjarah (H Embuiru).
Penerbitan buku pelajaran menjadikan Kanisius berperan besar dalam ketersediaan buku menunjang misi-misi pendidikan di Indonesia. Pada masa lalu, publik mungkin paling ingat terbitan Kanisius adalah buku berjudul Cakap Membaca dan Menulis. Buku laris alias sering cetak ulang. Buku susah terlupa tentu Mari Menggambar. Buku mengingatkan Tino Sidin.
Kita masih ingin menengok masa lalu mumpung peringatan seabad percetakan-penerbitan Kanisius (26 Januari 1922-26 Januari 2022). Iseng berlanjut dengan membuka buku Kenang-Kenangan Pekan Raya Dwi Windu Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1961 di Jogjakarta. Buku besar bersifat dokumentasi. Di halaman 161, kita melihat wujud keterlibatan dalam peringatan dwi windu kemerdekaan. Di situ, terbaca: “Pertjetakan Kanisius, Djl P Senopati 24 – Telpon 591, Jogjakarta. Alamat Tuan Buat Tjetakan Prima. Alamat Jang Dapat Dipertjaja.” Usaha percetakan cukup menjanjikan dan memungkinkan sejarah terus bergerak.
Masa lalu itu terlihat dan terbaca. Kita masih meragu untuk berhasil mendapatkan buku-buku dicetak dan diterbitkan Kanisius, sejak 1922. Sekian buku mungkin punah dari dunia. Sekian buku mungkin masih tersimpan di perpustakaan atau lemari buku milik para kolektor. Buku-buku agama tentu paling sering dicetak-diterbitkan ketimbang buku umum.
Publik tak usah selalu mengecap Kanisius melulu menerbitkan buku-buku agama (Katolik). Sekian buku umum justru menjadikan Kanisius dambaan pembaca. Para peminat filsafat biasa menikmati buku-buku terbitan Kanisius. Buku-buku bertema pendidikan juga sering bersumber dari Kanisius. Pada akhir abad XX dan abad XXI, publik mulai menikmati beragam buku terbitan Kanisius: memberi percik-percik pengetahuan dan renungan.
Percetakan dan penerbitan Kanisius menempuhi jalan sejarah (telah dan masih) panjang. Kita pun ingat ada kemungkinan melacak dan menulis sekian percetakan dan penerbitan dalam dakwah Islam. Kita masih berharapan ada penulisan untuk penerbitan AB Sitti Sjamsiah, Al Maa’rif, Bulan Bintang, Pustaka, dan lain. Perkara percetakan dan penerbitan bakal turut membuka babak-babak sejarah mengiringi pembentukan umat membaca, berdebat, dan menulis.
Iseng mengetahui percetakan dan penerbitan Kanisius belum bergerak jauh tapi ingatan-ingatan bisa terkabarkan. Buku-buku lama dan iklan tak mencukupi untuk memenuhi panggilan sejarah. Begitu.