Fenomena baru di dunia pendidikan pesantren adalah kian besarnya animo masyarakat kota klas menengah yang memondokkan anaknya ke pesantren. Pada saat yang bersamaan, juga kian tumbuh pondok pesantren yang membuka kelas dan layanan pendidikan untuk masyarakat urban dan kaum berada. Benar kata Gus Dur, salah satu faktor tetap bertahannya pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin karena kemampuannya menyesuaikan dengan perkembangan dan permintaan masyarakat.
Persepsi masyarakat pun perlahan mulai berubah seiring kian ciamiknya kualitas pendidikan modern yang ditawarkan kelas pesantren yang sebagian darinya berangkat dari pesantren salaf murni tanpa pendidikan formal. Gerakan Nasional Ayo Mondok yang dicetuskan asosiasi pesantren NU pada 2016 mampu membangun persepsi atas realitas (perceved reality) pendidikan sepenuh hati pesantren dengan baik.
Pandemi menjadi momentum, orang tua arahkan anaknya bersekolah formal di pesantren karena hanya konsep pendidikan ‘mukim’ ala pesantren lah yang bisa menjadi solusi pro kontra pembelajaran tatap muka ataukah daring dengan penerapan protokol kesehatan maksimal di awal santri kembali dari rumah ke pesantren.
Fenomena banyaknya santri dan wali santri asal kota dan kelas menengah, menguras pekerjaan rumah tersendiri bagi pengasuh dan pengurus pesantren. Hal paling berat bagi masyarakat kota berada adalah melepas anaknya (terutama usia SMP) hidup sendiri di luar rumah, untuk pertama kalinya untuk jangka waktu tahunan. Terutama bagi wali santri yang belum terlalu familiar dengan kehidupan dan kesharian pesantren
Beberapa pesantren sampai harus membuatkan group WhatsApp bagi wali santri per kamar atau bilik pesantren. Sebagian malah mengkonstruksi aplikasi khusus di smartphone lengkap dengam fasilitas video call dan emoney untuk kontrol belanja harian santri. Transformasi benar-benar sedang terjadi di dunia pesantren. Bagaimana dengan wali santri kota tadi?
Biasanya para pengasuh dan pengurus akan menyarankan wali santri pasrah sepenuhnya pada pesantren. Karena toh, mereka sudah puluhan bahkan ratusan tahun dititipi amanat pendidikan agama para santri. Cukup?
Belum. Sisi kemanusiaan orang tua (terutama ibu) adalah faktor utama yang harus diatasi lebih dulu. Kekhawatiran berlebihan menjadi yang paling sering terjadi, sehingga bisa mengganggu proses adaptasi santri baru di pesantren.
“Berikan kesempatan pada anak-anak ibu bapak sekalian untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru dan suasana baru di pesantren. Bapak-Ibu tidak perlu khawatir seperti menelpon tiap hari karena justru akan mengganggu proses adaptasi itu. Percayakan pada pesantren. Kami sudah menyiapkan ustadz pembimbing untuk keseharian anak-anak Bapak dan Ibu sekalian.” Demikian statement salah satu pengasuh di PP Darul Ulum Jombang, KH Zuaim As’ad Umar di hadapan sebuah virtual meeting dengan walisantri.
Selain relasi antara santri dengan pengasuh, dalam sebuah pesantren relasi wali santri dengan santri serta pengasuh dengan wali santri menjadi kunci. Ketahanan dan kebesaran hati walisantri menjadi faktor penting yang harus awal dibereskan. Dalam beberapa kejadian, beberapa orang tua tidak siap menjalani proses menjadi wali santri yang (hatinya) harus ikut mondok.
Tentang bagaimana relasi orang tua dengan anaknya, ada 11 tips dan konsep menarik dari KH Tamim Romly Tamim, pengasuh yang juga sekretaris Majelis Pimpinan PP Darul Ulum Jombang. Ada 11 hal yang rahasia hati anak, namun tak mampu dikatakannya pada orang tuanya, yang bila mampu dipahami dan diantasipasi, akan menjadi kebaikan anak, termasuk selama mondok di Pesantren.
Pertama, Cintailah aku sepenuh hati. Karena engkaulah yang ada di hatiku dan masa depanku.
Kedua, Aku sebagai ladang pahala bagimu
Ketiga, Jangan marahi aku di depan umum.
Keempat, jangan bandingkan aku dengan kakak dan adikku, atau orang lain
Kelima, Ayah dan ibu adalah fotokopiku. Jangan lupakan itu.
Keenam, lian hari umurku kian bertambah, maka jangan selalu menganggap aku sebagai anak kecil. Dewasakanlah aku.
Ketujuh, Biarkanlah aku mencoba, maka beritahu kalau aku salah.
Kedelapan, jangan ungkit-ungkit masa laluku.
Kesembilan, Jangan marahi aku dengan kata yang buruk. Bukankah apa yang keluar dari mulut orang tua adalah doa bagiku.
Kesepuluh, Jangan ikutkan aku dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan aku.
Kesebelas, Berilah aku pendidikan agama, agar lepas tanggung jawabmu kelak. Dan sebagai anak shaleh aku yang akan saling tarik-menarik denganmu ke dalam surganya Allah.
Selanjutnya, Kiai Tamim ingatkan pentingnya niat dan penempatan diri kala seorang tua memondokkan anaknya. Menurutnya, ada empat tipe wali santri.
Tipe Pertama, Mondok First. Mondokin Anak, Baru dicarikan sekolah formal di mana. Orang Tua berniat yang penting anak mondok, sekolah nomor dua. Dia akan peduli peraturan pondok, hatinya ikut mondok, memantau perkembangan anak di pondok, percaya adanya barokah ilmu.
Tipe kedua, Mondokin dan Sekolahin. Ia menaruh anaknya di pesantren dengan harapan anaknya serba bisa, termasuk bisa bersaing dengan sekolah di luar pondok.
Tipe ketiga, sekolah sambil mondok. Orientasinya agar anaknya diterima di PTN favorit, karenanya pemahaman ilmu agama tidak menjadi prioritas. Tipe terakhir, menitipkan anak di pondok agar dia bisa lepas dari beban mendidik sehari-hari. Pesantren dianggap sekadar sebagai lembaga rehabilitasi anak, penitipan anaknya. Kata Kiai Tamim, kalau bisa jadilah wali santri tipe pertama, naudzubillah jangan jadi yang keempat.
Soal harapan, orang tua harus bijak terhadap anak. Jangan membebankan semua obsesi dan harapan pada anak. Tugas orang tua adalah mendidik (agama dan kehidupan) dengan sungguh-sungguh, selebihnya mengalir saja, serahkan pada Allah.
Banyak orang tua kecewa pada anaknya karena tiga hal ini: Terlalu berharap Salah meletakkan harapan, Salah meminta imbalan
Orang tua harus sadar, bahwa anak punya masa depan dan jamannya sendiri. Anak punya kontrak masing-masing dengan Tuhannya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW berkata:
علموا أولادكم فإنهم مخلوقون لزمان غير زمانكم
(Allimu auladakum, fainnahum makhluquna lizamanin ghairi zamanikum)
“Didiklah anak-anakmu itu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk mengisi masa depan bukan masamu”
Dalam sejarah perkembangan pesantren, Tebuireng adalah pesantren pertama yang mengadaptasi modernitas dalam praktik pendidikan melalui terobosan yang diciptakan ‘anak kiai’ bernama Abdul Wahid Hasyim, putra Pengasuh Utama Hadratus Syekh Hasyim Asy’ary.
Kala itu, di tahun 1930-an Wahid Hasyim muda sudah memasukkan pengajaran bahasa Inggris dan Bahasa Belanda kepada santri Tebuireng selain mengaji kitab kuning. Pesantren Darul Ulum termasuk yang terilhami dan pelanjut, selain beberapa lainnya seperti Pondok Gontor. PP Darul Ulum Jombang didirikan oleh KH Tamim Irsyad pada 1885, yang kemudian dilanjutkan oleh trio generasi penerus, Kiai Kholil Aljuroimi (menantu), Kiai Romly Tamim dan Kiai Umar Tamim. Pondok Njoso dikenal sebagai salah satu pusat thariqah di tanah Jawa, dimana Kiai Romly Tamim adalah mursyid thariqah Qadiriyah Wanaqsabandiyah.
Penerusnya, KH Mustain Romly, selain memanggul estafet mursyid thariwah, juga cemerlang membawa Pondok Njoso dikenal sebagai pondok yang memiliki integrasi pendidikan pesantren dengan pendidikan formal, bahkan menjadi pesantren pertama di Indonesia yang pada 1960an telah mendirikan perguruan tinggi bernama Universitas Darul Ulum (UNDAR). KH Abdul Wahid Hasyim adalah sosok yang menginspirasi Kiai Mustain dalam ‘revolusi pendidikan’ atau Breakthru Pendidikan yang di tahun 1970-an diperkenalkan sebagai Gerakan Trisula Darul Ulum: Pesantren, Thariqah, Universitas.
Tahun ini menerima 3553 santri baru dari seluruh nusantara yang terbagi mukim di puluhan asrama pesantren dengan masing-masing pengasuh, serta belasan lembaga pendidikan formal (negeri dan swasta di bawah Yayasan Darul Ulum) mulai dasar, menengah dan perguruan tinggi.
Agar wali santri menyatu dengan pesantren tempat anaknya mondok, maka mengenal lebih dekat pesantren menjadi sebuah keniscayaan. Seorang walisantri sudah seharusnya mengetahui dari mana asal muasal dan rantai gugusan (sanad) ilmu para kiai pengasuh yang nantinya akan diserap oleh sang anak. Pengetahuan ini idealnya dimiliki sebelum menitipkan anak di sebuah pesantren. Bagaimana pesantren itu didirikan dan apa tujuan serta filosofi sebagai teaching value (nilai ajaran) yang dimaksudkan para pendiri pesantren. Ini penting diresapi walisantri yang relatif baru di alam pendidikan pesantren. Tentu berbeda dengan wali santri ‘konvensional’ yang bahkan dia adalah alumni pesantren di situ.
Pondok Darul Ulum Jombang misalnya, sebagaimana disampaikan pengasuh dan Ketua Umum Majelis Pimpinan, KH Kholil Dahlan, mengusung visi besar pendidikan yang diletakkan dasarnya oleh KH Tamim Irsyad melalui narasi ayat Qurani tentang karakteristik orang-orang berilmu yang istiqamah menegakkan keadilan. Narasi ini bahkan tercantum di logo pesantren:
واولواالعلم قائما بالقسط
(Wa ulul ilmi qa-iman bil qisthi)
Statemen Qurani itu menegaskan visi ketuhanan ketauhidan yang redaksi lengkapnya tersurat dalam Kitab Suci Alquran, Surat Ali Imron ayat 18:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Bila tujuan pendidikan pesantren adalah menjadikan para pemilik ilmu yang mampu menegakkan keadilan, maka menyiapkan mentalitas dan membangun karakter santri menjadi paling utama. Dan Kiai Tamim menegaskan bahwa tantangan para pengasuh dan orang tua adalah bagaimana mengarahkan anak-anak kita lulus sebagai santri, bukan hanya lulus madrasah atau sekolah formalnya saja. Tiga indikator seorang anak pondok benar-benar lulus sebagai santri.
Pertama, bila ia tekun ibadah, tekun belajar. Kedua, Teguh dan kuat pendirian, tidak terpengaruh pergaulan di luar sana. Ketiga, Tangguh, kuat uji, dan mau mencoba setelah alami kegagalan. Dan keempat, tanggap dengan lingkungan, bisa beradaptasi dan mengevaluasi diri. Sebagaimana ada pepatah: Hasibu qabla an tuhasabu. Melakukan refleksi, agar tak merasa benar terus.
Mewujudkan profil santri paripurna menjadi misi utama pengasuh sebuah pesantren. Tugas ketuhanan yang sebenarnya adalah tugas orang tua dari Allah SWT yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akherat. Kalau pun para kiai pesantren mendidik anak-anak santri 24 jam dalam sekian tahun, maka sejatinya beliau-beliau sedang mewakili kewajiban orang tua menanamkan iman, akhlak, ilmu dan amal kepada anak-anaknya. Hanya karena keikhlasan dan kebaikan para pengasuhlah maka kewajiban orang tua menjadi lebih ringan. Maka memondokkan anak di pesantren lebih dari sekadar memilih sekolah favorit. Butuh ketulusan jiwa dan ikhtiar lahir-batin, serta unggahan doa fatehah untuk para pengasuh dan segenap guru dari kita semua para wali santri. Sekali lagi, ini semua atas nama kewajiban orang tua dan putra-putri shalih-shalihah yang kita idam-idamkan. Amin.