“Para santri dilarang keras merokok!” Begitulah aturan yang berlaku di semua pesantren, kecuali di pesantren Tambakberas asuhan Kiai Fatah, tempat Gus Dur pernah nyantri. Tapi, namnya santri, kalau tidak bengal dan melanggar aturan rasanya kurang afdol.
Suatu malam, tutur Gus Dur, listrik pesntren tiba-tiba padam. Suasan pun jadi gelap-gulita. Para santri ada yang tidak pedulu, ada yang tidur, tapi ada juga yang terlihat jalan-jalan mencari udara segar.
Di luar rumah, ada seorang sedang duduk-duduk santai sambil merokok. Seorang santri yang kebetulan melintas di dekatnya terkejut meilihat ada nyala rokok di tengah kegelapan itu.
“Nyedot, Kang?” sapa santri sambil menghampiri “seniornya” yang asik merokok itu.
Langsung saja seorang itu memberikan rokok yang sedang diisapnya kepada sang “yunior”. Saat diisap, bara rokok itu membesar sehingga si santri mengenali wajah tadi.
Saking takutnya, santri itu langsung lari tunggang langgang sambil membawa rokok “pinjamannya”.
“Hei, rokokku aja digawa,” teriak Kiai Fatah.
(Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)