Tidak ada yang bisa menebak kapan seseorang bisa mendapatkan hidayah dalam hidupnya. Siapa yang menyangka seseorang yang awalnya sangat membenci dan memusuhi Rasulullah saw, Umar bin Khattab, justru menjadi sahabat yang paling getol membela Rasulullah semasa hidupnya? hanya karena ia mendengar lantunan ayat suci al-Quran. Siapa yang menyangka sosok Khalid bin Walid yang menjadi orang terdepan dalam memerangi Rasulullah kemudian bisa menjadi panglima perang andalan Rasulullah?
Begitu pula tidak ada yang aneh ketika seseorang Dawud Ath-Tha’í justru menemukan kilas balik hidupnya ketika bertemu seorang perempuan di sebuah pemakaman.
Dawud Ath-Tha’i adalah salah seorang pembesar sufi pada masanya. Bernama lengkap Abu Sulaiman Dawud bin Nashir Ath-Thaí. Sebelumnya ia hanyalah seorang biasa. Tak ada yang menonjol dalam dirinya. Dalam hal ibadah juga tidak bisa dikatakan baik. Ia hanya pemuda Kufah yang seperti umumnya pemuda Kufah, menghabiskan waktu muda dengan berbagai hal menyenangkan, duniawi.
Namun, ada satu hal yang mengubah 180 derajat siklus kehidupannya. Suatu ketika ia sedang berjalan menyusuri kota Kufah, kota kelahirannya. Di sana, ia melewati sebuah pemakaman umum. Pemandangan tak biasa dilihatnya dari kejauhan. Di tengah heningnya kuburan, ia melihat sesosok perempuan sendiri meratapi sebuah makam. Sebuah pemandangan yang ganjil tentunya ada wanita di kuburan sendiri seperti itu. Ia memastikan kembali apa yang dilihatnya tersebut benar atau tidak. Setelah ia pastikan dengan mendekat ke sosok ganjil tersebut, ternyata benar, ia tak salah lihat.
Ia kemudian melangkah lebih dekat lagi ke perempuan tersebut. Lalu terdengar suara rintihan kecil darinya. Sayup-sayup telinga Dawud Ath-Tha’i mendengar ia sedang membaca sebuah syair:
مقيم إلى أن يبعث الله خلقه … لقاؤك لا يرجى وأنت قريب
تزيد بلى في كل يوم وليلة … وتسلى كما تبلى وأنت حبيب
“Semua adalah penduduk bumi, hingga Allah membangkitkan makhluk-Nya, * Bertemu dengan-Mu tak diharapkan padahal Engkau begitu dekatnya”.
“Kau berikan tambahan cobaan di siang dan malamnya, * Namun juga kau hibur dan Kaulah Sang kekasih pada hakikatnya.”
Sontak hati Dawud Ath-Thai bergetar hebat. Seakan ada yang baru saja mengoyak hatinya. Kenyataan bahwa dirinya saat ini sedang pada puncak penyesalan tak bisa ia hindarkan. Ia mendengar perempuan tersebut mengulang-ngulang syair tersebut. Sedangkan pikirannya sudah melayang kepada masa lalu kelamnya. Air matanya pun tak sadar meleleh membasahi pipinya.
Ia kemudian pulang dengan menanggung segala kesedihan. Ia baru menyadari hakikat hidup sesungguhnya. Ia kemudian memasuki fase baru dalam kehidupannya. Ia mulai mendatangi para ulama untuk belajar. Di antara gurunya adalah Imam Abu Hanifah. Ia kemudian dikenal sebagai seorang yang diakui kapasitas keilmuannya di kota Kufah.
Namun setelah mencapai posisi tersebut, Dawud Ath-Thai justru memilih menyusuri jalan kesufian. Menurut catatan Ibnu Khalikan dalam Wafayat al-A’yan, semua kitab-kitab yang ia punya ia tenggelamkan di sungai Eufrat. Ia kemudian memilih untuk uzlah, menyendiri dan memfokuskan diri untuk beribadah. Menanggalkan semua pernik kehidupan.
Masih menurut catatan Ibnu Khalikan, Dawud Ath-Thaí kemudian benar-benar hidup dengan zuhud. Ia sebetulnya punya 300 dirham uang hasil warisan dari sang ayah. Namun, selama dua puluh tahun ia hidup hanya menggunakan dua puluh dirham saja. Selainnya ia gunakan untuk diberikan kepada orang lain. Bahkan rumahnya sendiri pun tidak terlalu ia urus.
Urusan makan pun tidak menjadi prioritas beliau. Ketika ditanya salah seorang pembantunya,
“Apakah engkau tidak ingin memakan roti, wahai Dawud Ath-Thaí?” tanya sang pembantu
“Waktu untuk memakan roti ini aku masih sempat membaca lima puluh ayat al-Qur’an. Mengapa harus kusia-siakan waktu yang berharga ini?.”
Begitulah prinsip yang dipegang oleh Dawud Ath-Thai. Beliau memandang dunia ini hanyalah lantaran atau wasilah untuk menuju kepada kehidupan selanjutnya, akhirat. Sehingga ia hanya menggunakan dunia seperlunya. Sekira ia masih bisa hidup dengan sederhana, ia akan hidup apa adanya. Oleh karenanya selama 40 tahun Dawud Ath-Tha’i selalu berpuasa. Namun, uniknya tak satupun di antara keluarganya yang mengetahui itu. Ketika ia disiapkan sarapan oleh keluarganya, ia bawa makanan itu keluar dan memberikannya kepada orang lain. Dan baru kembali ketika sudah waktunya makan malam sekaligus berbuka.
Ia pun memilih untuk menjomblo hingga akhir hayatnya agar kehidupan rumah tangga tidak mengganggu aktivitas ibadahnya. Dalam Thabaqat al-Kubra, Imam Sya’rani pernah mengisahkan alasan Dawud Ath-Thai memilih membujang. Suatu ketika ia ditanya “Bagaimana engkau bisa kuat menahan tidak mempunyai istri? dengan enteng Dawud Ath-Tha’i menjawab ringan:
“Pada awalnya aku hanya menahan syahwat terhadap perempuan hanya satu tahun, akan tetapi setelahnya kok keterusan sampai sekarang.”
Demikianlah teladan para wali Allah dalam memprioritaskan hubungan dengan Allah. Mereka bukan saja diberi kelebihan hati, tetapi diberi juga kelebihan akal yang bisa mengontrol hati mereka yang begitu takut dan cinta kepada Allah.
Namun tidak semuanya laku Dawud Ath-Thai ini kita tiru. Sepertihalnya ia memilih menjomblo, tidak menikah. Padahal menikah adalah ibadah, salah satu usaha kita untuk meraih keridlaan dari-Nya dengan menjalani sunah Rasulullah. Wallahu a’lam.