Muhammad Idris
Penulis Kolom

Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren

Catatan Perjalanan Haji Ibnu Jubair: Dari Granada ke Makkah (1)

Pada masa lalu, mayoritas umat Islam asal Andalusia yang hendak pergi menunaikan ibadah haji lazimnya berziarah dulu ke kota Maghrib, Mesir, dan Syam. Dalam perjalanan panjangnya ini para calon haji asal Andalusia berkesempatan untuk mengelilingi sejumlah negeri Islam. Seorang calon tamu Allah asal Andalusia yang memiliki reputasi tinggi pada abad keenam Hijriyah adalah Ibnu Jubair.

Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Jubair al-Kannani. Ia lahir pada tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 540 H/ 1145 M di kota Valencia dan wafat di kota Alexandria pada tahun 612 H/1217 M.

Ibnu Jubair merupakan seorang tokoh yang mendapatkan banyak pujian dari kalangan ulama. Al-Muqri dalam karyanya berjudul Nafhu Thayyib Min Ghasnil Andalus ar-Rathib mengatakan, “Ia belajar dari ayahnya, Abu Abdullah al-Ashili, belajar ilmu qiraat (melantunkan Alquran) dari Abul Hasan bin Abi ‘Aisy. Ia memiliki kepakaran di bidang sastra. Karya-karya puisi dan tulisan lainnya bernilai tinggi”.

Ibnu Jubair melakukan tiga kali perjalanan dari Timur dan membukukan kisah perjalanan pertamanya dalam bentuk catatan harian yang diberi judul Tadzkirah bil Akhbar ‘an Ittifaq al-Asfar. Kemungkinan ia menuliskannya pada tahun 852 H/1186 M. Karya Ibnu Jubair ini diterbitkann pertama kali oleh seorang orientalis asal Inggris W. Wright pada tahun 1852 M. Kemudian dicetak ulang pada tahun 1907 M dengan suntingan baru dari orientalis Belanda De Goeje.

Raghib As-Sirjani dalam tulisannya berjudul Ibnu Jubair, Al-Jugrafi al-Fadhil, mengatakan:

“Ibnu Jubair memulai perjalanannya dari kota Granada pada tahun 578 H. Ia hendak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ia pergi ke Sabtah/Ceuta, sebuah eksklave milik Spanyol yang terletak di Afrika Utara, ujung utara Maghreb, di pesisir pantai Mediterania dekat Selat Gibraltar.

Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Sardinia, pulau terbesar kedua setelah Sisilia di Laut Tengah. Sardinia terletak di antara Italia, Spanyol dan Tunisia, di sebalah selatan Pulau Korsika.Di kota itu ia melihat para tahanan muslim dijual di pasar budak. Apa yang dilihatnya itu menggugah kesadarannya bahwa apa yang dialami oleh kaum muslim di sana merupakan akibat dari terpecah  belahnya dunia Islam saat itu.

Ia ingin mencatat apa yang dilihatnya agar dibaca oleh kaum Muslim sekaligus untuk mengetahui sejauh mana dan seberapa banyak kaum muslim yang ingin menyatukan kata-kata mereka, dan memperbaiki kondisi mereka, sehingga mereka dapat menghadapi bahaya yang mereka hadapi”.

Kemudian Ibnu Jubair tiba di Aleksandria dan memasuki kota. Ketika dia melihat mercusuar tinggi Aleksandria, dia terlihat tertarik dengannya. Setelah delapan hari tinggal di sana, dia kemudian meninggalkan Alexandria untuk pergi ke Kairo dan kemudian pergi ke Mesir Hulu.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Kisah Bayazid Bastami yang Tak Jadi Haji

Dia tiba di Qus, yang melewati gurun timur ke Laut Merah. Untuk melepas sebuah kapal dari pelabuhan Ayyamab, pelabuhan biasa bagi para peziarah di Laut Merah untuk menuju ke Jeddah. Bersama rombongan kafilah ia tinggal di Makkah sekitar setengah tahun, lalu menziarahi kota Madinah.

  1. Perjalanan keduanya dilakukan pada tahun 585 H/1189 M saat dimana ia mendengar kabar penaklukan Baitul Makdis oleh Shalahudin Al-Ayyubi. Pelancongan keduanya ini dilakukan selama kurang lebih dua tahun. [A’lam al-Jughrafiyyin]
  2. Perjalanan ketiga dilakukan pada tahun 601 H/1204 M dimana usianya sudah mencapai tujuh puluh tiga tahun. Ia tidak pernah kembali ke tanah kelahirannya. Bahkan sejak saat itu hingga sekitar sepuluh tahun lamanya ia bolak-balik mengunjungi Makkah, Baitul Maqdis dan Alexandria. Ia menyibukkan dirinya dengan belajar hingga ia wafat pada tahun 614 H/1217 M di kota Alexandria.

Penulisan Kitab Rihlah Ibnu Jubair

Salah satu hal yang paling penting (jika tidak dikatakan terpenting) dari kisah perjalanan yang dilakukan oleh Ibnu Jubair ini adalah bahwa kisahnya ditulis dalam bentuk catatan harian. Ia menuliskannya  dengan mengisahkan apa yang dilihatnya: tentang kota-kota yang dilewatinya, masyarakatnya, dan kondisi sosial yang mengitarinya.

Ibn Jubair tidak menulis perjalanannya dalam bentuk sebuah buku utuh dan khusus melainkan dalam lembaran-lembaran terpisah yang kemudian dikumpulkan oleh salah seorang muridnya dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Tadzkirah bil Akhbar ‘an Ittifaq al-Asfar (Pengingat Cerita Tentang Perjalanan) yang di masa kemudian dikenal dengan nama Rihlah Ibn Jubair (Kisah Perjalanan Ibnu Jubair).

Baca juga:  Le Grand Voyage: Haji dan Kisah Perjalanan Spiritual Lainnya

Gaya atau sistematika penulisan yang dituturkan Ibnu Jubair cukup runtut. Ia menuliskannya lengkap dengan waktu, tempat beserta tanggalnya. Bahkan dalam beberapa kisahnya ia menambahkan penanggalan kalender masehi.

Ibnu Jubair memulai penulisan dengan menceritakan kondisi laut yang dilewatinya. Perahu yang ditumpanginya harus menghadapi bahaya gelombang besar dan angin kencang. Ia menuturkan:

“Kami harus menghadapi gelombang besar dan angin kencang. Alhamdulillah kami masih diselamatkan oleh Allah. Hujan deras mengguyur di pagi hari tersebut. Kapal yang kami tumpangi berputar-putar di sekitar laut Sardinia hingga Rabu, satu hari setelahnya. Berhari-hari kami terombang ambing di samudera dalam keadaan yang mencemaskan. Bahkan ditambah hujan deras yang membuat kami tidak bisa membedakan mana arah barat ataupun timur. Kami menumpang kapal milik orang Rum”.

Bagian terpenting dari catatan perjalanan Ibnu Jubair adalah ulasannya tentang Makkah, Masjidil Haram, Manasik Haji dan Ziarah Madinah. Ia menuliskan tentang hal tersebut hingga mencapai sepertiga dari seluruh isi kitabnya. [Zakki Muhammad Hasan, Ar-Rahhalah al-Muslimun fil ‘Ushur al-Wustha]

Tiba di Jeddah

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa catatan perjalanan Ibnu Jubair lebih banyak menuturkan daerah di sekitar Makkah. Dan ini wajar mengingat ia tinggal di sana sekitar setengah tahun.

Perjalanan panjang yang ia tempuh di atas lautan akhirnya mendaratkan kapal yang ditumpanginya ke Jeddah. Ia sampai di Jeddah pada siang hari Selasa tanggal empat bulan Rabiul Akhir. Artinya sekurangnya perjalanan yang ditempuhnya dari Andalusia hingga sampai Jeddah sekitar enam bulan. Sebuah perjalanan haji yang bukan hanya Panjang dan melelahkan, bahkan sangat mencemaskannya. Ia menuliskannya:

Baca juga:  Humor Seputar Haji dari Ayah Gus Dur

“Di waktu Duhur hari Selasa tanggal empat bulan Rabiul Awwal bertepatan dengan tanggal dua puluh enam bulan Juli kami sampai di kota Jeddah seraya memuji kepada Allah Azza wa Jalla. Kami bersyukur kepada-Nya atas keselamatan yang diberikan-Nya kepada kami dari gelombang besar di laut Firaun (Laut Merah) selama delapan hari….kami merasa seperti mati dan kembali dihidupkan berkali-kali. Segala puji bagi Allah atas segala penjagaan-Nya, kekuatan dan ketegaran yang diberikan-Nya kepada kami semua. Tidak ada Tuhan kecuali Dia.”

Dalam mengisahkan kondisi sosial sekitar Jeddah Ibnu Jubair menuturkan:

“Jeddah merupakan sebuah daerah yang berada di dekat pantai. Kebanyakan rumah di sana adalah ihshash. Di sana juga terpadat pemondokan yang dibangun dengan batu dan tanah…kebanyakan penghuni di Jeddah adalah keturunan Alawiyyin; dari jalur Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan Sayyidina Jakfar…”

Di Jeddah ia menyaksikan banyak hal yang tidak ia lihat di Andalusia sebelumnya. Kondisi pemukiman warga, struktur dan kondisi sosial-politik masyarakat Jeddah yang ia lihat dituliskan dalam catatan perjalanannya ini (SI).  (Bersambung)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top