Abad Badruzaman
Penulis Kolom

Wakil Rektor III UIN SATU Tulungagung. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Penulis Buku-buku Keislaman.

Rindu Gus Dur

269976170 10220840089208344 5743229249008922270 N

12 tahun sudah Gus Dur meninggalkan kita. Saya merasa kita kini berada di satu masa di mana rasa rindu akan Gus Dur–dengan segala nilai yang diajarkannya dan lelaku yang diteladankannya–mencapai puncaknya. Ajaran-ajaran Gus Dur tentang keagamaan dan kemanusiaan kini terasa begitu relevan dengan kenyataan bahwa di dua ranah tersebut dewasa ini banyak terlihat ”kejumudan” dan ”kemerosotan”. Zaman terus melaju, kemajuan sains dan teknologi terus menggelinding. Tapi itu dalam banyak hal tidak sebanding dengan kemajuan kualitas dalam bidang keagamaan dan kemanusiaan.

Intoleransi dengan mudah kita lihat diperagakan oleh tidak sedikit orang yang mengaku (paling) membela agama. Pemahaman keagamaan yang terlalu berorientasi pada fikih masih cukup dominan mewarnai pemikiran keagamaan kita. Seruan membuka keran ijtihad tinggal seruan. Nyatanya, setiap upaya mendekati teks-teks keagamaan dengan piranti akal-nalar yang berangkat dari problem riil umat dan berorientasi pada maslahat, selalu saja tersandung fatwa haram. Keragaman paham dipandang dengan mata curiga, pengarus-utamaan ijtihad dicurigai bakal mencederai wibawa dan sakralitas agama. Di ranah kemanusiaan secara umum, keadaannya tidak jauh dari itu; terdapat kecenderungan memandang liyan sebagai ancaman, alih-alih mitra kemanusiaan yang meluaskan wawasan dan memperkaya pengalaman.

Para pecinta Gus Dur merumuskan sembilan ajaran dasar yang disaripatikan dari ucapan dan tindakan Bapak Bangsa itu. Yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan tradisi. Saya akan men-syarah satu persatu dari sembilan ajaran tersbut. Syarah ini hasil ijtihad saya, tapi bukan sebagai syarah ”tandingan” terhadap syarah-syarah yang sudah ada, tapi justru–kalau ada hal baru dari saya–sebagai pengayaan dan pengembangan.

Ketauhidan. Sejauh ini makna tauhid bagi kebanyakan pemeluk agama masih terlalu teosentris. Saatnya menambahkan makna tauhid dengan konten-konten yang lebih antroposentris. Ajaran dan pengajaran tauhid yang semula ditujukan untuk ”membela Tuhan”, kini harus lebih diarahkan untuk ”membela manusia”. Dalam rumusan Hassan Hanafi, akidah-tauhid harus melahirkan ”revolusi” bagi kemajuan dan martabat manusia: min al-‘aqidah ila al-tsawrah. Kefasihan melafatkan sifat wujud Allah misalnya, harus melahirkan kesadaran akan pentingnya menjadi entitas umat yang memiliki wujud; dalam arti, eksistensinya sebagai sebuah umat diakui dan diperhitungkan. Jangan seperti buih, ada tapi ”hampa”; tidak diperhitungkan, tidak dianggap ada.

Baca juga:  Mengenang KH. Abdullah Ubaid, Tokoh Bangsa yang Wafat Muda

Kemanusiaan. Salah satu kata-kata terbaik tentang kemanusiaan, menurut saya, adalah kata-kata Imam Ali ketika menasihati Malik al-Asytar, Gubernur Mesir kala itu: ”Mereka yang bukan saudaramu dalam agama, adalah saudaramu dalam penciptaan (kemanusiaan).” Tentu saja kemanusiaan yang diusung dan diajarkan Gus Dur bukan humanisme ala Barat yang condong pada menuhankan manusia. Kemanusiaan Gus Dur adalah kemanusiaan Islam yang berporos pada al-Isra`: 70 dan al-Baqarah: 30. Yaitu bahwa dengan akal dan jiwanya manusia menjadi makhluk mulia dan karenanya pula mereka mendapat mandat untuk memimpin serta memakmurkan bumi. Pada semua manusia melekat kemuliaan dan mandat tersebut.

Keadilan. Al-‘Adalah; keadilan yang menyeluruh-komprehensif. Keadilan yang menegasikan segala bentuk diskriminasi atas nama apa pun. Keadilan adalah hal pertama dan paling utama yang dituntut dari seorang pemimpin. Keadilan merupakan pilar utama tegaknya kepemimpinan; mulai dari level terendah hingga tertinggi, mulai dari bentuknya yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Ia adalah hal yang paling harus dihindari dari tercederai. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa tak ada hijab antara doa orang yang diperkosa keadilannya dengan ijabah Tuhan.

Kesetaraan. Tentu saja yang dimaksud adalah kesetaraan yang proporsional. Semua memiliki akses yang sama terhadap keadilan. Semua memiliki hak sama sama atas perlakuan yang manusiawi dan beradab dari sesamanya. Kekuasaan (relasi penguasa dan rakyat), harta (relasi kaya dan miskin), jenis kelamin (relasi pria dan wanita), dan katagorisasi lainnya, satu pun tidak boleh dijadikan dalih bagi dominasi dan hegemoni satu pihak atas lainnya. Kata al-Hujurat: 13, hanya kualitas takwa yang menjadikan seseorang terpandang di mata Tuhan.

Baca juga:  Ceramah Ger-geran ala Kiai Hasim Muzadi

Pembebasan. Salah satu ungkapan terbaik tentang ini adalah kata-kata Khalifah Umar yang disampaikan ke ‘Amr bin ‘Ash, Gubernur Mesir saat itu: ”Wahai ‘Amr, mengapa kauperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?” ”Nafas” dari kata-kata Umar ini baru digunakan di Eropa pada Revolusi Perancis dan digunakan di Amerika Serikat ketika Declaration of Independence ditulis. Menurut al-A’raf: 157, misi utama Sang Rasul bukan cuma amar makruf-nahyi munkar, bukan hanya bicara soal halal-haram, melainkan yang terpenting adalah membebaskan manusia dari segala bentuk beban penindasan dan kerangkeng penjajahan.

Kesederhanaan. Ini mungkin salah satu yang luput dari banyak dari kita. Tidak sedikit dari pejabat negeri, baik di sektor eksekutif maupun legislatif, yang gemar mempertontonkan kemewahan. Hal sama kita lihat juga pada beberapa orang yang diustadkan oleh sebagian umat. Tuhan tidak mengharamkan kecukupan materi, tapi Dia tidak suka kemewahan dan kemegahan dipamerkan terutama di hadapan khalayak yang kebanyakannya hidup dalam jerat kesusahan. Barangkali tidak terlalu masalah jika kita sama-sama makan gaplek. Tapi jadi masalah jika selagi kita makan gaplek tiba-tiba orang kaya yang tak punya perasaan secara demonstratif makan hotdog, sandwich, burger, atau grilled chicken. Menjadi kaya dengan cara yang benar bukanlah cela. Tapi caramu memamerkan kekayaan yang membuat hati si kecil terluka, itu Tuhan tak suka.

Persaudaraan. Pesan persaudaraan paling kental antara lain disampaikan Nabi Saw.: ”Wahai sekalian manusia, Tuhan kalian satu, dan ayah kalian (Nabi Adam) satu. Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, pun sebaliknya. Tidak ada kelebihan bagi yang berkulit merah atas orang berkulit hitam. Demikian sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan.” Dalam beberapa sabdanya, Nabi Saw. menghubungkan langsung kualitas iman-islam seseorang dengan seberapa baik hubungannya dengan saudaranya. Bahwa Muslim sejati adalah ia yang mampu menjaga lisan dan tangannya dari menyakiti sesamanya. Bahwa Mukmin hakiki adalah ia yang tidak pernah menyakiti tetangganya, memberi makan orang lapar, memberi pakaian orang yang tidak punya sandang, hingga memuliakan tamu dan mengucapkan (menebarkan) salam (kedamaian) pada siapa saja yang ditemuinya, baik kenal atau pun tidak.

Baca juga:  Keturunan Rasulullah: Minoritas yang Dominan di Indonesia

Keksatriaan. Yang ini seluruhya saya ambil dari gusdurian.net. Seperti ini: ”Keksatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang ingin diraih. Proses perjuangan dilakukan dengan mencerminkan integritas pribadi: penuh rasa tanggung jawab atas proses yang harus dijalani dan konsekuensi yang dihadapi, komitmen yang tinggi serta istiqomah. Keksatriaan yang dimiliki Gus Dur mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani proses, seberat apa pun, serta dalam menyikapi hasil yang dicapainya.” Saya tambahkan sedikit saja. Inilah antara lain cakupan makna ”jihad” dan syaja’ah.

Kearifan tradisi. Tradisi memiliki kearifannya. Tugas kita, terutama yang mengaku pelanjut perjuangan luhur Gus Dur, adalah memperjuangkan dan menegakkan ajaran-ajaran beliau dengan tidak mengenyahkan tradisi. Alih-alih mengenyahkan, justru menggali kearifannya lalu menjadikannya landasan, pendekatan, dan sipuhan agar perjuangan kita seperti slogan UGM: locally rooted, globally respected!

Terakhir, kalau boleh menambahkan, di antara ajaran Gus Dur lainnya adalah toleransi dan pluralisme. Untuk beliau, al-Fatihah…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top