“Manusia memiliki persamaan hak dan kewajiban. Kemuliaan insani merupakan fenomena fitrah yang tak lekang oleh waktu. Oleh sebab itu, siapa pun tidak boleh merasa lebih tinggi dari yang lain. Seseorang yang baik harus rendah hati kepada Tuhannya, juga kepada sesama manusia, tidak boleh angkuh dan merasa lebih tinggi, juga tidak boleh sombong. Ia sama seperti yang lain, berasal dari satu keturunan,” begitulah tulis Syekh Wahbah az-Zuhaili.
Membincangkan perihal rendah hati, saya ingat satu sosok yang cukup masyhur di kalangan masyarakat Banjarmasin. Beliau ialah KH. Ahmad Zuhdiannor atau yang akrab disapa dengan Guru Zuhdi. Di mata para muridnya beliau ialah pelita, penerang bagi orang-orang yang dirundung kegelapan. Keberadaan beliau seolah sejalan dengan perumpamaan yang pernah dituliskan Salman al-Farisi bahwa seorang ulama itu seperti pembawa lentera di tengah jalan yang gelap gulita. Setiap yang dia lewati mengambil penerangan darinya.
Iya, Guru Zuhdi ialah pelita, ialah pembawa lentera, ialah penuntun, ialah guru, ialah ilmu, setidaknya itulah saya rasakan. Saya, satu di antara (mungkin) ribuan orang lainnya yang banyak mendapat pelajaran dari apa-apa yang beliau sampaikan, dan salah satunya ialah sikap rendah hati.
Dalam beberapa pengajiannya, Guru Zuhdi cukup sering mengutarakan tentang pentingnya memandang diri ini tidak lebih baik dari orang lain. Bahwa diri kita ini, kata beliau, hina, karena kita ini adalah hamba, tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa. Semua bentuk kelebihan adalah milik Allah, karena tanpa Allah, kita tidak akan mampu berbuat apa-apa.
Seorang guru, kata beliau tidak layak memandang dirinya lebih tahu tentang ilmu daripada seorang murid, seorang suami tidak layak memandang dirinya lebih hebat dari seorang istri, dan seorang ayah tidak layak memandang dirinya lebih baik dari seorang anak.
Tak hanya sebatas kata-kata, apa-apa yang pernah beliau utarakan tentang pentingnya memandang diri tidak lebih baik dari orang lain seringkali beliau ajarkan secara langsung kepada murid-murid dan jamaahnya dalam beberapa kesempatan. Bagaimana beliau berjalan, menghormati para ulama dan habaib, mencium tangan mereka, menghormati anak-anak.
Bahkan pernah dalam sebuah pengajiannya, beliau mengutarakan permintaan maaf, meminta kerelaan, keridhaan kepada para jamaah yang hadir yang saat itu berangkat dengan kendaraan roda dua, naik sepeda, dan ada juga yang ikut menumpang mobil orang. Dengan kerendah-hatiannya, beliau meminta ampun jika telah menyakiti hati para jamaah karena beliau berangkat menggunakan mobil.
Meski Guru Zuhdi dikenal dengan ulama kharismatik, dan setiap pengajiannya hampir selalu dihadiri ribuan jamaah, namun dalam beberapa kesempatan beliau masih saja terlihat ikut serta dalam Barisan Pemadam Kebakaran (BPK) ketika ada musibah kebakaran. Dalam kesempatan lain, beliau juga terlihat ikut serta membantu kelangsungan acara haul guru beliau, Tuan Guru Zaini bin Abdul Ghani atau yang akrab disapa Guru Sekumpul dengan menjadi relawan.
Tak dipungkiri, pemandangan-pemandangan tersebut selalu membuat diri ini malu. Iya, malu memandang diri yang bukan siapa-siapa namun enggan membantu sesama, dan beliau yang begitu masyhur tak segan-segan hadir melebur bersama masyarakat.
Sebagai penutup, ada satu hikayat yang cukup menarik, ketika Allah menciptakan bumi, bumi berbangga diri dan berkata, ‘Makhluk mana yang dapat mengalahkanku?’ Kemudian, Allah menciptakan gunung-gunung sebagai pasak bumi. Dan bumi dikalahkan oleh gunung-gunung.
Gunung-gunung pun merasa hebat dan berbangga diri. Allah menciptakan besi dan besi itu mampu mengalahkan gunung-gunung, maka besi itu pun berbangga diri. Lalu Allah mengalahkan besi dengan api, dan api pun berbangga diri. Allah menciptakan air dan dengannya mengalahkan api. Maka air pun berbangga diri. Kemudian, Allah menciptakan awan dan awan mampu mencerai-beraikan air yang ada di dunia. Maka awan itu pun berbangga diri. Allah menciptakan angin dan angin mampu memisahkan awan. Maka, angin pun berbangga diri.
Kemudian Allah menciptakan manusia, hingga manusia bisa menciptakan rumah untuk dirinya sendiri, yang dapat melindungi dirinya dari panas, dingin, dan angin. Maka, manusia pun berbangga diri. Allah menciptakan kantuk dan kantuk pun dapat mengalahkan manusia. Kantuk pun berbangga diri. Kemudian, Allah menciptakan rasa sakit dan rasa sakit dapat mengalahkan kantuk. Maka, rasa sakit itu pun berbangga diri. Allah menciptakan kematian dan kematian itu dapat mengalahkan rasa sakit. Maka, kematian pun berbangga diri. Lalu, Allah mengalahkan kematian pada hari kiamat nanti, kematian itu sendiri akan dipenggal dengan surga dan neraka.
Begitulah, dan ternyata hanya dengan kantuk saja, kita tak berdaya. Wa Allah A’lam. (RM)