Setiap orang pasti menjadi saksi bagi tragedi. Sebagian besar penyaksi hanya menaruh empati dan sebagaian kecil penyaksi menjadi barisan perubah situasi dan kondisi. Adapun sisanya menjadi para pengambil laba penderitaan dan tukang tinggal gelanggang.
Tragedi sebagai suatu peristiwa yang dekat dengan kematian dan kehidupan agaknya penting diawetkan dalam bentuk keliping, lebih-lebih disajikan ulang dalam tulisan. Tahar Ben Jellon melalui novelanya yang diterjemahkan bertajuk Dalam Kobaran Api mengajak pembaca melihat tragedi terburuk umat manusia: dehumanisasi.
Terinspirasi atas kisah nyata pemuda asal Tunisia bernama Mohamed Bouazizi yang kematiannya turut menyulut Arab Spring, dengan bernas Tahar Ben Jellon mengisahkan tokoh Mohamed yang berulang-ulang digodam cobaan dan akhirnya menjadi godam bagi kekuasaan. Alkisah, setelah ayahnya wafat, Mohamed sebagai anak tertua menjadi tulang punggung bagi Ibunya yang sakit-sakitan, dan dua adik perempuannya. Ia tidak mengeluh terhadap kemiskinannya dan rasa kehilangan. Ia sarjana sejarah yang mampu mengajar. Ia bangkit mencari kerja di mana-mana namun sia-sia. Ia menolak dijatuhkan dan membangkitkan pendirian. Singkat cerita, ia membakar dokumen-dokumen penting dan ijazahnya.
“Ini bukan perkara beruntung atau tidak beruntung. Katanya, ini lebih pada persoalan ketidakadilan yang menjangkiti mereka yang, sialnya, terlahir miskin” (halaman 12).
Mohamed bukanlah sosok yang gampang menyerah. Ia membakar ijazah bukan lantaran kalah dan lari dari masalah. Ia tegap dan berani menghadapi hidup. Dengan modal gerobak usang dan uang pas-pasan, mau tak mau ia mengambil kredit dagangan dari seorang yang kasar dan curang. Ia mulai berjualan keliling sebab lokasi strategis telah dikapling dan diamankan oleh polisi untuk yang sudi beri upeti.
Pendiriannya yang bulat untuk membakar ijazah bagi sebagian orang termasuk Ibunya itu mungkin nampak konyol. Namun Mohamed bertindak bukan tanpa alasan. Kebulatan sikapnya itu dikuatkan oleh pendapat seorang pembeli yang memborong buahnya.
“Di sini orang belajar siang dan malam tapi setelah itu tak akan ada pekerjaan untuknya. Beda kalau kau punya gelar dari Amerika, mereka pasti akan mempekerjakanmu.” (halaman 25) Pada titik inilah pembaca diajak melihat bahwa tragedi bukanlah suatu jenis duka manusia atas wafatnya orang tercinta namun lebih pada peristiwa menyedihkan manusia yang dimiskinkan secara struktural.
Kemiskinan yang seperti sekam itu menjadi sungguh kering oleh kemarau panjang yang menyurutkan harapan generasi muda di negerinya. “Mohamed menyuntikkan harapan pada adiknya tapi memang sulit. Terlalu banyak ketidakadilan di negeri ini dan kesenjangan terlalu lebar” (halaman 29)
Bagaimanapun hatinya terbakar, Mohamed sadar bahwa hidup mustilah tegar. Ia terus bekerja dan tak berharap pada negara. Kesenjangan dan ketidakadilan yang tak becus diurus pemangku kekuasaan justru diperparah tindakan aparat penegak hukum yang berjalan miring. Pemalakan, kesewenang-wenangan, kebrutalan, pembunuhan. Tidak ada ruang bersuara untuk rakyat dan menjadi rahasia umum manakala polisi yang mendatangi rumah warga tak pernah tiba membawa kabar baik.
“Nak kedatangan polisi itu membuat gula darahku naik. Aku bisa merasakannya, mulutku terasa kering, dan badanku sakit. Orang-orang ini dibayar untuk menciptakan masalah buat kita. Kemungkinan besar polisi itu juga berasal dari keluarga yang sama miskinnya dengan kita. Ibu tahu sendiri, sesama orang miskin saling tidak menyukai satu sama lain” (halaman 21).
Rapor merah penegakan hukum itu pun sejatinya telah diadukan namun tak ada satupun tanggapan. “Kau bisa lihat sendiri kan? Kita bisa menulis tentang segala hal, mengadu tentang apa saja, tetapi tetap tidak mengubah apa-apa.” (halaman 34). Lebih lanjut bahkan Mohamed mencoba udar rasa dengan walikota atas penyitaan gerobak jualannya oleh polisi. Sialnya, bukan pengayoman yang ia dapatkan justru damprat dan usiran dari petugas di pintu layanan.
Mohamed telah banyak terpukul godam cobaan. Muaknya sudah memuncak. Kemarau panjang potret hukum dan tata kelola pemerintahan membuat sekam kemelaratan kian kasang. Hati dan kepalanya panas siap membakar kemiskinannya. Dengan keberanian dan sabar yang tersisa, ia datangi lagi kantor walikota dan tetap mendapat cacian, usiran. Apesnya, ditambah pukulan yang ia terima sekarang. Mohamed membakar dirinya.
Dalam kobaran api ia kepanasan. Di luar kobaran api ia dikerubungi penyaksi tragedi.
“Di saat ambulan tiba, apinya sudah padam, tapi Mohamed sudah kehilangan wujud manusianya,” (halaman 44).
Pembakaran diri yang dilakukan Mohamed dapat dipahami bukan sebagai sebuah sikap menyerah sebagaimana lazimnya mereka yang kalah, namun lebih pada sikap perlawanan. Dalam kobaran api tersebut nampaknya Mohamed ingin menunjukkan kepada pemerintah dan bawahannya wajah buruk mereka yang memang kehilangan wujud manusianya. Mohamed paham mereka tidak akan melakukan intropeksi diri sebab mereka telah tenang dalam zona nyaman kekuasaan sehingga mereka memerlukan shock therapy dengan tragedi sebagai mediumnya.
Meskipun cara protes terhadap kekuasaan yang dzalim dari tokoh yang dikisahkan Tahar Ben Jellon tidaklah terpuji – sebab tindakan melukai diri tidak dibenarkan dalam Islam, namun tragedi dehumanisasi yang menjadi kritik utama buku ini sangat menarik. Akhirnya, Tahar Ben Jellon sebagai penyaksi di luar kobaran api tragedi, telah memberi sikap dan arti. Dus, bagaimanakah dengan pembaca sekalian?
Judul : Dalam Kobaran Api
Penulis : Tahar Ben Jelloun
Penerjemah : Nanda Akbar Ariefianto
Penerbit : Circa
Cetakan : Pertama, Juni 2019
Tebal : 67 halaman
ISBN : 978-623-90721-0-0