“Sudah berapa tahun saya menipu kematian? Saya sudah bertatap dengan kematian, Mat, dan saya telah berhasil menaklukkannya. Sudah sepuluh tahun! Saya tak takut apa-apa lagi.” Begitu katanya, teatrikal dan takzim, suatu malam pada 2011 atau 2012, saya lupa.
Ini bukan keangkuhan. Ini adalah ungkapan seorang penyair yang memang secara harfiah berkelit dari kematian. Pada 2001, ia dinyatakan gagal ginjal. Fungsi ginjalnya, seingat saya, tinggal 15%. Ia harus cuci darah seminggu dua kali, kalau tak salah, ya?
Ginjalnya yang nyaris mati Itu mengurangi keleluasaan geraknya. Tapi, lelaki kecil ini mengaum selama 20 tahun kemudian, mendada kematian yang mengancam dua kali setiap minggu. Ia makin aktif menulis dan beraktivitas.
Saya jarang ketemu dia, sebetulnya. Terakhir kali ketemu, di ruang jenazah rumah sakit Fatmawati, saat Mas Danarto wafat. Kami tak bicara banyak. Radhar dikelilingi banyak orang, salah satu dari dua orang yang mengkoordinasi tetek bengek pemakaman Mas Danarto –Radhar dan Mas Noorca. Saya sempat membelikan nasi bungkus, tapi ia tak memakannya. Saya maklum, dalam keadaannya, tak semua makanan cocok di lidahnya. Kopi yang diminum saja harus derajat panas tertentu (sangat panas), dan kalau dingin sedikit, ia tak akan mau atau bisa meminumnya.
Radhar ini mitos sewaktu saya masih luntang-lantung di Depok, ngekos kayak mahasiswa, padahal sudah tidak, pada 1992-1993: Radhar adalah seorang jenius yang kerap dibicarakan di kamar kos atau pelataran musala FISIP UI. Kawan seangkatan Radhar (Fisip UI 1986), yakni Krisnadi Yuliawan , atau yuniornya, Heri Haerudin Hasyim (Fisip 1987) pernah menyampaikan cerita-cerita ajib soal Radhar: menulis di Kompas waktu kelas 6 SD, sudah ngajar mahasiswa main teater saat ia masih SMP atau SMA, menulis makalah tugas dengan gaya penyair tentang Bangladesh dengan memulai kalimat “Bangla, Bangla….”, dan selama jadi mahasiswa jadi penanggung hidup para pemain teaternya bersama keluarga mereka.
Sewaktu pertengahan 1990-an, saya dengar betapa ia memutuskan lulus kuliah dan bikin skripsi (ya, betul, waktu itu kuliah bisa selama itu!), Radhar 2-3 bulan ngetik di rental komputer skripsinya tentang Sosiologi Teater Indonesia yang banyak menyebut sejarah teater Indonesia –yang ia tuliskan berdasarkan ingatan! Beberapa tahun kemudian, skripsinya terbit sebagai buku, salah satu yang terbaik sejauh saya baca tentang subjek itu.
Sebelum itu, Radhar juga banyak dibicarakan kawan-kawan FSI (Forum Studi Islam –sayap unit rohani mahasiswa di FISIP UI yang lebih sekuler daripada “anak mushala”) ketika saya baru masuk kuliah, karena ia bikin majalah mahasiswa yang asyik sekali yang banyak melibatkan kawan2 FSI, tapi hanya terbit satu edisi kalau tak salah.
Ia seorang cemerlang, begitu kesan yang saya dapat, tapi seperti tak ditemukan masyarakat. Belakangan, saya juga mendengar cerita lain tentang Radhar: ia orang yang keras, dan banyak orang berselisih dengannya, pada circa 1990-an itu.
Saya ingat, pernah memproduksi acara buku untuk televisi apa ya, lupa juga, bersama QB Book Store, di awal 2000-an. Satu sesi, membicarakan buku puisi Sitok Srengenge yang baru terbit (ini usul Richard Oh, yang punya QB, yang waktu itu erat sekali bersahabat dengan Sitok). Saya jadwalkan sesi itu dengan Radhar sebagai pembahas. Sebelum syuting, saya ke kuil jemaat Nichiren di Puncak, dan papasan dengan Sitok di pintu toilet. Sitok langsung nyolot ke saya, marah betul buku puisinya akan dibahas Radhar. “Dia itu siapa? Sebagai penyair, gagal! Di teater juga buruk! Esai…yah, lumayan lah,” kata Sitok bernada tinggi, teatrikal juga.
Dalam benak, saya mikir, “well, I beg to differ/yah, nggak juga sih” –soalnya, dibanding Radhar, saya pikir Sitok malah payah lah puisi dan keteaterannya. Tapi, yo wis, saya harus menyelamatkan jadwal syuting yang dua hari lagi. Soalnya, Sitok ngancem, “kalau Radhar datang, saya gak mau datang!” Radhar saya kasih tahu soal ini, ia cuma senyum-senyum maklum. Sudah biasa dia, dimusuhi begitu, barangkali, ya.
Tapi kekerasan Radhar itu adalah wataknya yang membuatnya mampu berkelit menampik maut sekian lama. Watak yang membuatnya mampu membayangkan yang seakan mustahil. Termasuk dalam membangun Mufakat Budaya. Saat Mufakat Budaya pertama, saya diajak Radhar dengan semangat untuk membantunya. Saya menemani hingga hari terakhir mufakat, pas Zuhur dalam konperensi pers, Radhar memapar kesimpulan dan manifesto Mufakat Budaya secara lisan. Lalu, ia harus ke RSCM untuk mencuci darah, dan ia meminta saya menuliskan draft kesimpulan itu berdasarkan yang ia ucapkan. Mentranskrip, lah. Saya mengantar draft itu (apa waktu itu bersama Krisnadi, ya?) ke kamar cuci darahnya, untuk ia edit jadi naskah final, untuk dibacakan malamnya, dalam pertunjukan Mufakat Budaya di GKJ yang disutradarai Sys NS, untuk memberi penghormatan pada Rendra.
Dari pengalaman itu, saya belajar tentang apa arti daya hidup dari Radhar. Ia tetap bekerja sebelum, selama, dan sesudah cuci darah.
Setelah saat mengantar jenazah Danarto pada 2018, saya tak pernah lagi berjumpa Radhar. Agaknya, perasaan bahwa Radhar itu immortal diam-diam bersemayam di belakang kepala, walau saya tahu itu tak masuk akal. Saya tak merasa urgen menjumpai Radhar, karena merasa, Ah, ia kan masih akan selalu ada.
Sampai kami berpolemik tentang kebudayaan di harian Kompas. Hanya via esai. Saya berseberangan dengan pemikiran Radhar tentang kebudayaan Indonesia dan isu-isu spesifik tentang Dirjenbud dan TIM. Sebetulnya, sejak usai Mufakat Budaya pada 2010 itu, saya sudah memahami bahwa saya berbeda jalan dari Radhar, dalam memahami masalah kebudayaan dan kesenian Indonesia. Radhar meyakini posisi “helicopter view” dalam memahami kebudayaan Indonesia. Saya meyakini lakon Gunther bersepeda keliling Jakarta untuk menyusun peta Jakarta. Setelah tulisan saya dimuat, Radhar mengirim teks WA, menyatakan kekecewaannya pada saya yang ia pandang menuduh yang bukan-bukan dirinya. Saya menampik tuduhan bahwa saya menuduh macam-macam ke Radhar. Kami menutup percakapan dengan saling mendoakan.
Sudah tujuh hari lewat Radhar wafat. Gagal jantung, katanya. Radhar ternyata tak hidup selamanya di dunia ini. Tapi, dalam kenangan, dan dalam khasanah pemikiran budaya, saya pikir Radhar akan hidup selamanya.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun.
Selamat jalan, Radhar.