Sejak tahun 972 M kini Al-Azhar sudah berumur 1046 tahun atau 10 abad lebih. Rentang waktu yang begitu panjang pastilah telah begitu berpengalaman bergumul dengan dunia. Dari lembut hingga kerasnya. Al-Azhar telah melahirkan para ilmuan dan ulama yang tidak terhitung jumlahnya.
Dulu di zaman Fatimiyah, pendiri al-Azhar, kita kenal Ibnu al-Haytham, seseorang yang berkat jasanya kita bisa merekam kenangan dalam bingkai foto dan video. Ya, ia Ibnu al-Haytham sang penemu kamera/optic.
Pada tahun 1171 M berganti penguasa, al-Azhar pindah tangan ke Sultan Salahuddin Ayub pendiri Dinasti Ayubiyah. Kendati ia belerang merah yang amat sulit dicari gantinya, namun sang Sultan tidak memiliki pilihan lain selain menutup Al-Azhar sebab ia menjadi corong raksasa selama dua abad oleh Dinasti Fatimiyah dalam menyebarkan mazhab resminya, Syiah Ismailiyah. Ia terpaksa harus menutupnya dan pusat keilmuan dipindahkan ke sekitar Al-Azhar.
Sultan Salahuddin lalu harus mendirikan madrasah-madrasah untuk kembali menghidupkan ruh Mesir yang asli: Sunni.
Tahun 1250 M, berganti penguasa lagi. Kali ini Mesir di bawah kendali Dinasti Mamalik. Pada tahun 665H/1266 M al-Azhar kembali dibuka oleh Sultan Zaher Baibars. Ia kembali menjadi kembang masjid dan madrasah di Mesir. Masih sangat berkharisma meski hampir satu abad “digembok” dengan penuh kebencian.
Masa Mamluk/Mamalik adalah masa keemasan Al-Azhar bagi kaum Ahlussunnah wal Jamaah. Nama-nama abadi yang begitu melekat dalam benak kita seperti Imam as-Subki (756 H), Imam Ibnu As-Subki (771 H), Ibnu Hajar-Asqalani (852 H), Imam Mahali (864 H), Zakaria al-Anshari (926 H), Imam Suyuti (911 H), Ibnu Hajar al-Haitami(973 H) , Shihabuddin ar-Ramli (957 H), Syamsuddin ar-Ramli (1004 H), Abdul Wahhab Sya’rani (973 H) Khatib Syarbini (977 H), dan banyak yang lain adalah sebagian dari putra terbaik Al-Azhar.
Sejak dibuka oleh sang sultan mantan jenderal penakluk Mongol itu, Al-Azhar tidak henti-hentinya melahirkan para ulama dan bijak bestari untuk merawat dan mengembangkan Islam agar tetap dalam rel moderasi dan menjaga bumi agar tetap seimbang.
Sepanjang zaman yang begitu padat dengan ulama, sejarah mencatat bahwa tidak ada satupun sistem yang mendorong untuk dibentuknya sebuah kedudukan syekhul masyayikh (gurunya para guru) atau syekhul azhar, atau grand syekh secara resmi.
Baru kemudian setelah Mesir diambil alih oleh Dinasti Utsmaniyah pada tahun 1517 M, al-Azhar baru tercatat memiliki pimpinan para masyayikh yang kemudian dikenal dengan nama “Syekhul Azhar”, yang kita kenal dengan “Grand Syekh”: salah satu jabatan keagamaan paling bergengsi seantero Utsmaniyah.
Mayoritas sejarawan mencatat bahwa grand syekh pertama diduduki oleh Imam Abdullah al-Kharasyi (1690 M/1101 H). Namun demikian banyak sumber yang mengatakan bahwa sebetulnya bukan Imam al-Kharasyi ulama pertama yang menjadi frand syekh, akan tetapi jauh sebelum itu, salah satu yang disinyalir pernah menjabat sebagai grand syekh al-Azhar adalah Imam Ahmad Abdulhaq as-Simbathi (999 H). Tapi, ala kulli hal, grand syekh baru ada di zaman Utsmaniyah masuk Mesir.
Grand Syekh Al-Azhar atau al-Imam al-Akbar (Imam Besari) adalah pimpinan para ulama dengan makna sebenarnya. Pimpinan dalam institusi maupun secara keilmuan. Posisinya begitu disegani bahkan ditakuti penguasa. Tidak sedikit penguasa Mesir yang zalim ditumbangkan dari serambi al-Azhar. Di antaranya adalah Gubernur Mesir Ali Basha Khazandar dan Khursyid Basha.
Waktu berlalu, al-Azhar semakin berkembang. Tahun 1911 M dibentuklah “haiah kibar ulama al-Azhar”, sebuah intansi milik al-Azhar yang terdiri dari tidak lebih dari 40 ulama dari lintas mazhab. Anggotanya adalah para ulama besar di masing-masing mazhab. Mereka diseleksi secara kriteria yang ketat.
Tahun 1961, instansi ini dibekukan oleh Gamal Abdul Naser diganti instansi lain dengan nama “majma’ul buhuts al-islamiyah” (instansi ini lama mati, dihidupkan kembali tahun 2012 oleh Prof. Dr. Ahmed at-Tayyeb saat menjabat sebagai grand syekh).
Kemudian pada sekitar tahun 1930 M dibentuklah universitas dengan terminologi modern yang pada mulanya hanya terdiri dari tiga fakultas; Ushuluddin, Syariah dan Lughah Arabiyah. Sekarang memiliki 72 fakultas, dari fakultas agama sampai umum.
Lalu pemerintah mengharuskan pembentukan “al-majelis al-a’la lil azhar” dengan beranggotakan:
1. Rektor Al-Azhar; 2. Para wakil rektor; 3. Dua anggota dari haiah kibar ulama; 4. Dua dari anggota majma’ul buhuts al-islamiyah; 5. Sekjen al-majlis al-a’la; 6. Pimpinan madrasah Al-Azhar (SD-SMA), dan para menteri atau wakil menteri negara yang terdiri dari: 7. Menteri Agama; 8. Menteri Keadilan; 9. Menteri Pendidikan; 10. Menteri Pendidikan Tinggi; 10. Menteri Keuangan; dan 11. Menteri Luar Negeri.
Bagaimana kedudukan Grand Syekh al-Azhar?
Grand Syekh al-Azhar mengepalai dan punya wewenang penuh atas instansi yang kami sebutkan di atas. Institusi yang dikepalain ada empat: Haiah Kibar al-Ulama, al-Majlis al-A’la, Majma’ul Buhuts, Universitas Al-Azhar, dan Sekolah Al-Azhar. Jadi, grand syekh bukan sekadar rektor Universitas Al-Azhar sebagaimana banyak diduga oleh masyarakat.
Dengan tanggung jawab yang berat itu, wibawa kedudukan grand syekh bukan hanya secara keilmuan dan dari sisi keagamaan, namun juga dari sisi pemerintahan ia ditempatkan satu level dengan perdana menteri dalam segi protokoler, keamanan, dan segala keistimewaan lainnya.
Tidak ada catatan sejarah yang pasti terkait pemilihan grand syekh Al-Azhar pada awal-awal pembentukan, tapi mayoritas sejarawan menebak bahwa pemilihannya dipilih di antara para ulama senior yang berpengaruh sebagaimana tradisi dalam pemilihan syikhul masjid dan syikhul madrasah yang lain.
Namun setelah pembentukan “Haiah Kibar al-Ulama” pada tahun 1911 M, grand syekh dipilih oleh anggota. Dengan masa jabatan seumur hidup.
Ada banyak grand syekh al-Azhar yang kita sudah akrab dengan nama dan kitab-kitab mereka namun kebanyakan dari kita tidak tahu kalau beliau pernah menjabat sebagai pimpinan pucuk al-Azhar. Sebut saja Imam al-Kharasyi (1690 M) yang memiliki dua syarah atas mukhtashor al-khall. Sebuah kitab pokok dalam mazhab Malikiyah.
Setelah Imam al-Kharasyi kalau kita membaca Hasyiah al-Baijuri atas fathul qarîb,Imam al-Baijuri kerap mengutip nama Imam al-Birmawi (1694 M). Ya, beliau grand syekh kedua.
Lalu ada Imam Hasan al-Athar (1835 M) yang punya hasyiah atas Jam’ul Jawami’ Imam at-Taj as-Subki. Juga Imam Abdullah Syarqawi (1812 M) yang punya hasyiah atas kitab at-Tahrar-nya Syekhul Islam Zakaria al-Anshari. Imam al-Baijuri (1860 M) yang kitabnya sangat fenomenal dan akrab sejak kelas ibtida (dasar) dengan Fathur Robbil Bariyah sebuah syarah atas nazam al-Jurumiyah, juga hasyiah al-baijuri yang melegenda. Dan lain sebagainya.
Grand Syekh Al-Azhar yang sekarang, al-Imam al-Akbar Prof. Dr. Ahmed at-Tayyeb al-Hasani adalah grand syekh yang ke-44. Semoga Allah menjaganya.
MESIR DIJULUKI ‘NEGERI SEJUTA ULAMA’?
SAYANGNYA BELUM PERNAH LAHIR ULAMA PEWARIS PARA NABI (QS. 6:165 DAN 38:26)
Amanat Al Quran terhadap umat Muslim dimana saja mereka berada (QS. 49:13) sederhana saja yakni harus mempunyai ‘pemimpin’ atau penguasa atau KHALIFAH (QS. 2:247, 5:51 dan 57, 6:165 dan 38:26) jadi bukan istilah KHILAFAH yang sering dihebohkan oleh para musuh umat Muslim.
Khalifah dalam Al Quran adalah dalam arti umum yakni penguasa bisa dijadikan nomenklaturnya jabatan dan bisa tidak karena itu posisi presiden, kanselir, sultan, raja, gubernur, bupati atau walikota adalah khalifah. Tapi ketika khalifah dikhususkannya maka tergambar dengan adanya istilah ULIL AMRI (QS. 4:59).
Karena khalifah adalah istilah umum maka tidak terkait pula dengan upaya adanya penguasa atau Orang Nomor Satu dan pendukung mau menerapkan syariat Islam atau tidak mau menerapkannya. Ya tergantung peran sang khalifah dan para pendukungnya mau sistem atau khilafah yang syatiat atau tidak akan tercermin di dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan yang rakyat dan umat sepakati itu sendiri.
Jika mereka meneladani Nabi Muhammad SAW maka telah dicontohkan dengan adanya perjanjian kesepkatan seperti tercermin pada PIAGAM MADINAH. Atau kalau di negeri kita terlihat di dalam PEMBUKAAN UUD 1945 yang di dalamnya ada pandangan hidup berbangsa yakni PANCASILA.
Apakah PEMBUKAAN UUD 1945 dan PANCASILA berlawanan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dibidang muamalat atau khususnya politik dan kekuasaan??? Jadi, sebenarnya umat Muslim tidak perlu ngotot untuk MENGKHILAFAHKAN atau MENSYARIATKAN NKRI seperti maunya si Imam Besar yang sedang mengungsi di NEGERI WAHABI ya kata orang yang benci dengan Wahabi?
Pemimpin di era kenabian ya sudah dimulai dan diteladani oleh Nabi Daud As. dan terakhir Nabi Muhammad SAW walau pun beliau tidak menggunakan istilah ‘khalifah’ tapi Rasul Allah dan penutup para nabi (QS. 33:40) karena itu beliau harus hijrah dari Mekah ke Madinah untuk menjadi penguasa. Karena Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah (QS. 33:40) maka otomatis jabatan sebagai khalifah (QS. 38:26) dan ULIL AMRI (QS. 4:59) maka cukup kedudukan itu dipegang oleh beliau sendiri.
Bagaimana kepemimpinan di era sahabat pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW? Ya kenyataan Nabi Muhammad SAW tidak ikut campur soal suksesi kepemimpim umat Muslim yang baru terbentuk dan berkembang itu, bukti ya tidak ada wasiat atau pesan siapa penggantinya karena soal ini adalah wilayah MUAMALAT urusan umat itu sendiri.
Dengan demikian para sahabat berijtihad sendiri bagaimana sistem suksesi kepemimpinan atas lahirnya umat Muslim selanjutnya? Ternyata, para sahabat Abu Bakar sudah sangat MODEREN mereka menerapkan sistem demokrasi tidak langsung alias ada lembaga perwakilan kelompok umat yang ikut andil dan memang sudah ada di dalam kehidupan umat dan rakyatnya. Kesimpulan lahirlah sistem suksesi penguasa bernama KHALIFAH AR RASYIDIN atau sang pemimpin yang arif. bijaksana.
Sayangnya, sistem khalifah ar rasyidin tidak berumur panjang hanya sampai pada khalifah ke-4, Ali bin Abiu Thalib karena setelah itu digusur atau diberangus oleh sistem kekuasaan dinasti kerajaan Muawiyah yaitu mencontoh sistem kerajaan di negeri-negeri luar umat Muslim atau barat dsb.
Kemudian nampaknya sistem ini pula yang jadi teladan para penguasa Muslim bukannya sistem sahabat Abu Bakar dkk. selanjutnya otomatis sampai sekarang umum digunakannya. Oleh karena itu, bisa jadi adanya peran ulil amri dipisahkan dari perannya sang raja atau ada yang masih menggunakan istilah jabatan ‘khalifah’ tapi murni sifatnya sistem kerajaan.
Peran adanya ulil amrilah dipisahkan dari penguasa ini pula yang menutup peran ulama untuk mampu menjadi pewaris para nabi (QS. 6:165 dan 38:26) alias jadi Orang Nomor Satu di negerinya masing-masing. Ya salah satunya, Mesir walau pun dijuluki Negeri Sejuta Ulama atau pun ya Kerajaan Arab Saudi dan negeri-negeri di kawasan Timur Tengah dll.
Simak artikel di bawah ini:
Sejak dibuka oleh sang sultan mantan jenderal penakluk Mongol itu, Al-Azhar tidak henti-hentinya melahirkan para ulama dan bijak bestari untuk merawat dan mengembangkan Islam agar tetap dalam rel moderasi dan menjaga bumi agar tetap seimbang.
Sepanjang zaman yang begitu padat dengan ulama, sejarah mencatat bahwa tidak ada satupun sistem yang mendorong untuk dibentuknya sebuah kedudukan syekhul masyayikh (gurunya para guru) atau syekhul azhar, atau grand syekh secara resmi.
Baru kemudian setelah Mesir diambil alih oleh Dinasti Utsmaniyah pada tahun 1517 M, al-Azhar baru tercatat memiliki pimpinan para masyayikh yang kemudian dikenal dengan nama “Syekhul Azhar”, yang kita kenal dengan “Grand Syekh”: salah satu jabatan keagamaan paling bergengsi seantero Utsmaniyah.
https://alif.id/read/alfan-khumaidi/asal-usul-kedudukan-grand-syekh-al-azhar-b208854p/