Violet Magde menghimpun reaksi spontan anak-anak demi tuntaskan disertasi. Sayang jika naskah sekadar melapuk di rak perpustakan, disertasi lantas dicetak dan disebarluaskan. Di Indonesia, buku diterjemahkan Frans Balla berjudul Anak-Anak Mencari Arti Diri (1991).
Buku mestinya memuat peringatan. Bocah bukan orang dewasa yang selalu manut. Setiap kali mendapat pengetahuan baru, mereka lekas bertanya dan menuntut. Pertanyaan tak jarang terdengar subversif. Menggoda orang gampang dongkol menghujat “penista agama”.
Misalnya, ketika anak bernama Ben bertanya pada ibunya mengapa es krim tidak dapat disimpan sampai besok. Si ibu bilang, es krim cepat rusak. “Banyak hal seperti itu. Kalau tidak cepat dimakan, tidak akan dapat dimakan lagi.”
Ben enggan berhenti pada es krim. Ia teringat pelajaran mengenai hari pembalasan, “Menurut ibu, kalau kita mati nanti, kita akan pergi ke toko di Surga, lalu Tuhan akan membeli dan menyantap kita?”
Orang dewasa mengajari anak bahwa Tuhan Mahabesar. Anak-anak lantas membayangkan Tuhan sebesar godzilla. Yang juga memiliki kuasa penuh atas Surga dan Neraka. Orang baik dimasukkan ke Surga, orang jahat dicemplungkan ke Neraka.
Pendikotomian Surga dan Neraka memang mudah membuat anak-anak patuh, meski belum tentu tepat. Anak-anak sering bergelut dengan pikiran baru sampai peroleh pertanyaan runyam, jika Tuhan Maha Kasih, mengapa Dia membuat Neraka dan membakar orang di dalamnya selamanya?
Orang dewasa itu “nabi” para anak. Bayangan Tuhan bergantung bagaimana orang dewasa memberi cahaya. Namun orang dewasa, baik dalam dunia rekaan maupun kenyataan, sering kali menjadi “nabi” ruah kepayahan. Sepah Sahaja (2018) garapan Bandung Mawardi mengajukan tiga kisah patut menjadi refleksi orang dewasa “menyampaikan wahyu”. Kisah-kisah tentang pengembaraan anak-anak mencari arti diri.
Cerita pertama berkisah Laptev, dinukil dari novel 3 Tahun gubahan Anton Chekov. Laptev menghabiskan masa kecil di kota besar. Usia kanak tak berurusan dengan kelakar dan altar. Masa kecil Laptev kenyang jotos orang dewasa ketika dinilai tak becus tuntaskan pekerjaan.
Di kota Laptev bertumbuh, Gereja-gereja menjulang tinggi. Orang-orang merumahkan Tuhan pada hunian mewah. Tapi Laptev tak secuil pun peroleh gembira. Ia terus disiksa sepanjang bekerja.
Orang dewasa membangun tempat ibadah kelewat megah. Mengurung Tuhan sebatas ritual. Mungkin Tuhan Laptev anggap terlalu nyaman bersemayam di gereja hingga lupa akan dirinya yang cuma pesuruh. Kenangan ampas masa kecil membuat Laptev ogah berdoa memuja-muji Tuhan.
Hal sebaliknya terjadi pada penyair India, Rabindranath Tagore. Masa Kecilku (2003) mengisahkan cerita pertemuan Tagore dengan Tuhan.
Di India, Tagore tak berjumpa Tuhan berumah pada bangunan megah. Tagore kecil berjumpa Tuhan di ruangan para pembantu. Ruang bernama “tosha-khana”. Tagore mengingat, “Lampu minyak jarak menyala redup pada dudukan dari kaca dalam ruang, di dinding terdapat gampar Ganesha dan lukisan berselera desa menggambarkan Dewi Kali, di sekeliling gambar itu cicak-cicak mengejar serangga”.
Perjumpaan Tagore dengan Tuhan mengingatkan kita pada keheningan Budha di bawah sebatang pohon, Musa di puncak Sinai, Muhammad di Gua Hira. Tuhan datang kala sunyi merengkuh. Tuhan tak mewujud struktur tegas dan kata-kata baku.
Perjumpaan serupa dialami Anne dalam novel gubahan Lucy Maud Montgomery, Anne of Green Gables (1908). Anne belajar di sekolah, menekuni ilmu, membaca buku, bermain, dan beragama. Suatu ketika Anne berdebat dengan ibu (asuh). Anne diperintahkan rajin berdoa. Anne emoh, “Mengapa orang-orang harus berlutut untuk berdoa? Jika aku benar-benar ingin berdoa, aku akan mengatakan padamu yang akan kulakukan. Aku akan pergi ke sebuah padang rumput sangat luas, hanya seorang diri, atau masuk ke dalam hutan, kemudian aku akan menatap jauh ke atas, ke arah langit yang biru indah, yang warna birunya bagai tidak berbatas. Kemudian, aku hanya akan merasakan—bahkan tak perlu mengucapkan—doaku dalam hati”.
Bagi bocah, agama bukan senarai panjang keruwetan. Tuhan dicintai dengan sederhana. Tuhan tak perlu digoda kelewat lewah. Dia tahu apa yang ada di dalam hati tiap makhluk.
Kita ingat kisah kegemaran Jalaluddin Rumi. Ketika Nabi saw memimpin salat dan mendaras ayat yang menyatakan perkataan Firaun, “Aku ini dewa yang benar”. Spontan, dari tengah jamaah, sebuah makian meretakkan hening, “Pembual busuk, bangsat dia!”
Nabi berdiam diri. Usai sembahyang, orang-orang mencela si pengumpat. Ia diancam tak diterima salatnya dan berdosa besar karena berkata kasar di hadapan Nabi. Si pengumpat ketakutan. Lunglai. Sampai Nabi memberinya kabar gembira.
Jibril datang. Pada Nabi, Jibril menyampaikan, “Allah berfirman agar engkau menyuruh orang banyak berhenti mencaci-maki pemuda yang sederhana ini. Sunguh, sumpah serapahnya yang jujur berkenan di hati-Ku, melebihi doa orang-orang saleh”. (De Mello, diterjemahkan, A. Soenarja S.J, cetakan XII, 2006).
Kesadaran Anne bak kesadaran seorang pemuda lugu yang dikagumi Nabi. Tuhan melampaui segala produk kebudayaan manusia. Tuhan sanggup melihat helai cahaya dalam diri tiap hamba.
Tapi anak-anak akan kena semprot jika beragumen menggunakan jawaban Anne atau bahkan kalimat Jibril. “Di Indonesia, kaum dewasa terlalu memerintah dan gampang memberi salah-marah ke bocah saat memiliki tata cara berbeda menjumpai dan bermesraan dengan Tuhan.” (h.28).
Padahal, anak-anak memiliki cara tersendiri mencumbu Tuhan. Anak-anak tak perlu menjadi sok dewasa. Kata Sapardi Djoko Damono (1981): di mulut anak-anak, kata menjelma kitab suci. Anak-anak punya kemampuan tak dimiliki orang dewasa untuk menjumpai Tuhan. Mulut mereka merdu menyanyikan kitab penerang, alih-alih penuh berang.
Kita tentu enggan melanjutkan daftar panjang “nabi” payah bagi anak-anak. Hanya bisa menuding salah dan kafir dan membersitkan bayangan tentang Tuhan Yang Maha Pemarah: yang jahat seperti godzilla, suka memangsa dalam taring dan cakar-Nya.