Pernah ada seorang dosen di pascasarjana dulu. Beliau pengamal poligami, beliau juga sangat alim. Kalau mengajar pasti bawa sopir dan baju ganti. Jadi waktu mengajar beliau selalu pakai jas, dasi, dan celana. Tapi ketika masuk waktu salat, biasanya beliau berganti jubah lengkap dengan imamah.
Orangnya disiplin, banget malah. Beliau pernah mengatakan bahwa beliau pernah mengajar simbah KH. Maimoen Zubair ketika masih muda. Beliau memang pernah mondok di Sarang, di bawah asuhan KH. Zubair, ayahanda simbah Maimoen. Selain itu pernah di pondok Al-Hidayah Lasem, pondok Kaliwungu, pondok pesantren Tamrinul Huda Kajen Pati dan beberapa pesantren ternama lain. Beliau juga Mursyid Tarekat Naqsabandiyah, sekaligus pendiri Jam’iyyah Qur’an wal Huffadz.
Nah, lucunya suatu saat ada teman yang presentasi makalah soal poligami. Dia berapi-api mengkritik praktik poligami. Walhasil, makalah itu direvisi dari awal sampai akhir. Ndilalah kok yah nulis nama dosennya juga salah. Lengkaplah penderitaan dia. Setelah presentasi, dia bisik-bisik ke saya.
“Mas, lapo prof kok sengit karo aku. Gak tahu lho ngamuk sampe koyok ngunu?. Kok pas aku ngamuk ngunu?.” (Mas, kenapa prof marah besar sama aku, padahal tidak pernah lho beliau itu marah sampe gitu, pas sama aku kok gitu, ya?-red)
Sembari ketawa sinis agak jahat, saya katakan kepadanya pelan-pelan. “Mas, prof ini istrinya 4. Anak ke 1-4 sudah doktor. Lha, sampean dengan seenaknya bilang kalau poligami bikin generasi kita bodoh-bodoh.” “Lha, tapi itu kan hasil diskusi kita di warung kopi kemarin mas?,” sanggah dia.
“Benar, tapi orang pintar harus tahu di depan siapa dia ngomong,” kata saya nahan ketawa.
“Assseeeem, sampean kok gak bilang,”kata dia kecut.
“Aku lupa mas, soalnya waktu itu ada istrimu. Aku takut sama istrimu, mas.” Kami ketawa kecil. Dia dengan pasrah terima nilai “C”.
Hahaha..