Sedang Membaca
Mitos Pohon, Penanda Sejarah dan Beragama yang Sadar Ruang
Muhammad Aswar
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mukim di Yogyakarta.

Mitos Pohon, Penanda Sejarah dan Beragama yang Sadar Ruang

Tak ada pohon yang lebih buruk nasibnya ketimbang pohon yang terkena dampak pembangunan, juga pohon dengan mitos penunggu: kedua-duanya terancam ditebang.

Bagi pohon yang berada dalam radar pembangunan, tak ada alasan apa pun untuk tidak ditebang. Sedang pohon yang berpenghuni makhluk halus, jika tidak ditebang, kemungkinan besar akan dicarikan ustaz untuk merukyahnya, setelah itu ditebang; tetap akan ditebang.

Suatu kali saya menghabiskan sore mencari tahu tentang pohon mentaok, pohon langka di daerah Yogyakarta. Meski kota ini dikenal berasal dari hutan mentaok, namun justru tinggal satu atau dua pohon saja yang masih tersisa. Di Kotagede misalnya, sisa-sisanya masih bisa ditemukan di sekitar pasar tradisional Kotagede, Makam Raja-Raja, dan di pemakaman umum. 

Oleh seorang penjaga makam yang menemani saya sore itu, mengatakan bahwa pohon mentaok akan sangat susah untuk dibudidayakan. Pertama karena sejarah mentaok, hutan tempat pertama kali kerajaan Mataram berdiri. Jika menanamnya kembali, mengindikasikan akan membangun Mataram untuk kedua kalinya.

Selain itu, mentaok juga sering didiami Wewe Gombel yang mitosnya suka mencuri dan menyembunyikan anak kecil.

Kisah ini menambah daftar nama pohon-pohon yang dihuni makhluk halus dalam pikiran saya. Sejak masa kecil, di desa tempat saya tumbuh, berbagai pohon, terutama pohon-pohon yang berdaun lebat, selalu diidentikkan dengan makhluk halus. Pohon beringin, bahkan pohon mangga yang sudah sangat tua. 

Semakin tua dan lebat pohon itu, semakin terindikasi memiliki penunggu. Pohon-pohon itu ditebang, tanpa pikir panjang seberapa pentingnya pohon itu, atau bahkan berapa waktu yang dibutuhkan agar sebuah pohon bisa tumbuh subur dan lebat. 

Baca juga:  Maidah Rahman: Budaya Makan Gratis di Mesir

Pohon dan Penanda

Pohon bagi masyarakat Indonesia, tidak sekadar ditanam begitu saja. Pohon merupakan penanda yang sama pentingnya dengan bangunan-bangunan bersejarah dan tembok-tembok keraton.

Pohon beringin misalnya, adalah salah satu dari sedikit pohon yang berasal dari Jawa. Banyak jenis pohon yang tumbuh di Jawa, namun sebagian besar berasal dari luar Jawa atau Indonesia. Bagi masyarakat kerajaan Mataram dan Majapahit, beringin dijadikan penanda kekuasaan. Sehingga keraton Mataram di Yogyakarta, di depannya masih ada pohon beringin yang subur. 

Hal ini menandakan pula, semua keraton di Indonesia yang di depannya terdapat pohon beringin, pasti memiliki sejarah yang dekat dan berafiliasi dengan keraton Mataram. Untuk sekarang karena keraton telah banyak yang hilang, setiap kota yang di alun-alunnya masih ada pohon beringin menandakan kota itu pernah berafiliasi dengan keraton Mataram. Meski keratonnya telah tiada, namun pohon beringinlah yang menandakan sejarah.

Karena berasal dari sejarah yang sudah cukup jauh, pohon-pohon itu tentunya telah begitu tinggi dan lebat. Dan bagi orang kebanyakan, pohon semacam itu diindikasikan sebagai tempat yang paling disukai oleh makhluk halus. Hanya tinggal menunggu giliran untuk ditebang. 

Bagi kota yang masih memiliki peninggalan berupa bangunan-bangunan tua, penebangan pohon-pohon penting ini belum terlalu dikeluhkan. Namun bagi kota yang tidak lagi memiliki penanda sejarah, akan bagaimana anak-cucu mengetahui sejarah kota dan masyarakatnya sendiri. 

Baca juga:  Wali Santri Kota dan Filosofi Kiai Tamim Irsyad

Agama yang Sadar Ruang

Entah kenapa, masyarakat dengan tingkat agama yang lebih ketat malah semakin takut dan memusuhi makhluk halus. Di dalam kitab-kitab suci dijelaskan bahwa penghuni jagat raya ini bukan hanya makhluk-makhluk yang kasat mata. Sebaliknya, ajaran dalam setiap agama menganjurkan untuk mawas pada makhluk atau sesuatu yang bersifat gaib, tak kasat mata.

Makhluk halus berdiam di tempat-tempat yang mayoritas keseharian manusia tidak berada di tempat itu: rumah kosong, kamar mandi, wastafel, pohon yang rimbun. Sepertinya makhluk-makhluk halus memiliki kesadaran ruang yang tinggi, untuk tidak saling memperebutkan ruang dengan manusia. 

Kesadaran ruang juga sangat lekat dalam kosmologi Yogyakarta dan Jawa pada umumnya. Sedulur papat limo pancer, menunjukkan kosmologi Jawa, dan telah dibahas oleh Selo Soemardjan dalam bukunya Perubahan Sosial di Yogyakarta (1962). Falsafah ini pertama kali ditulis dalam Suluk Kidung Kawedar yang kadang disebut juga Kidung Sarira Ayu, bait ke 41-42. 

Menurut Selo, cara berpikir masyarakat Yogyakarta dipengaruhi penuh oleh falsafah ini, yang dapat diartikan empat saudara, kelima pusat. Pusat adalah diri sendiri. Di dalam penghitungan hari masyarakat Jawa,  dikenal lima nama hari: Pon, Pahing, Wage, Legi, dan Kliwon. Empat di antaranya adalah saudara, dan Kliwon merupakan pusat. Dalam arah mata angin juga demikian: timur, utara, barat, selatan; kelima berada di tengah, dalam diri sendiri.

Baca juga:  Merusak Bumi dari Meja Makan

Hal ini berimplikasi di dalam tata kota kerajaan Mataram yang terbagi ke dalam lima bagian, keraton sebagai pusatnya. Begitu pula dalam hubungannya dengan alam tak kasat mata sebagai salah satu dari empat alam di jagat raya. Falsafah ini menunjukkan betapa tingginya kesadaran ruang masyarakat Jawa. 

Kesadaran ini dengan sangat bijak dipraktikkan dalam keseharian. Orang Jawa menganggap makhluk tak kasat mata itu sama halnya dengan manusia pada umumnya, yang perlu berbagi privasi bahkan rejeki. Orang Jawa menaruh makanan di bawah pohon misalnya, bukan berarti muenyerahkan sesajen dan sesembahan. Mereka memandang, perlu juga bersedekah kepada makhluk tak kasat mata.

Sayangnya, dan entah kenapa, falsafah luhur ini semakin hari semakin ditinggal, terutama bagi orang-orang yang menganggap dirinya telah menjalankan agama secara ketat. Falsafah ini mulai ditinggal, seperti halnya masyarakat kini semakin takut dan menjadikan makhluk halus sebagai musuh, entah dituduh menakut-nakuti atau memberikan keburukan-keburukan lain. Maka setiap tempat yang diyakini sebagai hunian makhluk halus akan dijauhi, jika tidak dicarikan ustaz untuk membaca ayat-ayat rukyah.

Mereka kehilangan kesadaran, bahwa pohon-pohon rimbun itu tidak hanya dihuni oleh makhluk halus; tetapi sejarah panjang asal-muasal masyarakat. Menebangnya, bukan hanya membuat makhluk halus kehilangan tempat, tetapi masyarakat juga semakin kehilangan akar sejarah. (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top