“Pesatnya perkembangan sains dan teknologi, semakin memudahkan kita untuk membedakan orang-orang yang berjalan di atas kebenaran, ketimbang mereka yang merasa dirinya berjalan di atas kebenaran.” (Hafis Azhari, penulis buku Pikiran Orang Indonesia)
Kisah menarik mengenai “Syekh Barsisha” telah dimodifikasi dalam puluhan dan ratusan versi di seluruh dunia. Di Indonesia, baik cendekiawan maupun sejarawan muslim memanggilnya dengan sebutan “Kiai Barseso”. Ia dikenal sebagai tokoh sentral yang memberi inspirasi kepada banyak agamawan, serta menjadi cermin agar para pembaca tidak meniru dan mencontoh perilaku yang menjadi tabiat yang dilakukan dalam kesehariannya.
Di sini akan dipaparkan kisah unik mengenai Kiai Barsisha tersebut, dalam versi tersendiri. Tentu akan disesuaikan dengan konteks saat ini, meski tetap berpijak pada substansi yang dimaksudkan. Semula, kiai zuhud itu dikenal dengan sebutan Barsisha Al-Abid, karena ia memang seorang ulama terkenal di masa kekuasaan Bani Umayah.
Jangankan orang-orang awam yang melihat secara wadak dan kasatmata, bahkan tidak sedikit malaikat yang terkecoh oleh kegigihan dan ketekunan Kiai Barsisha sebagai ahli ibadah.
Ia dikenal juga sebagai pengajar dan guru spiritual yang ulung. Tidak kurang dari 60.000 murid, dan sebagian bahkan memiliki karomah dan kesaktian. Ada yang terbang di atas awan, menyembuhkan berbagai penyakit, juga berjalan di atas air. Tetapi, di balik kesaktian dan kemuliaan seorang Barsisha yang dikagumi para malaikat, Tuhan justru menegur mereka: “Apa yang membuat kalian terpesona melihat si Barsisha itu. Dalam pandangan-Ku, kedudukan dia tak beda jauh dengan sosok setan yang terkutuk.”
Seketika para malaikat tersentak dan terbengong-bengong, sambil menerka-nerka gerangan apakah yang membuat Kiai Barsisha terperosok ke dalam kesesatan yang nyata, sampai-sampai Tuhan mengutuknya. Bukankah ia memiliki banyak murid, serta karomah yang amat terkenal kesaktiannya?
Suatu hari, ada seorang laki-laki yang khusuk melakukan salat di belakang Kiai Barsisha. Ia mengenakan jubah dan sorban yang mewah, tampak begitu khidmat melebihi kekhusyukan Kiai Barsisha. Dengan rendah-hati, laki-laki itu memohon pada Kiai Barsisha agar sudi mengajarkan cara-cara beribadah, serta minta didoakan agar memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat.
“Kalau Anda seorang yang beriman, maka Anda sudah mendapat jaminan masuk surga,” ujar Kiai Barsisha dengan penuh percaya diri.
“Bagaimana Anda bisa menjamin itu?” pancing lelaki itu.
“Karena Anda dan semua orang beriman sudah termasuk dalam golongan mereka yang telah didoakan dalam salat-salat saya.”
Lelaki berpakaian mewah itu mengajak Kiai Barsisha agar mengunjungi pesantrennya, serta melaksanakan salat bersama-sama dengannya.
Melihat ketekunannya beribadah, ditambah dengan kemegahan pesantrennya, Kiai Barsisha diajak untuk bersenang-senang dengan mencoba minum anggur dan khamr. Lelaki saleh itu beralasan, bahwa adakalanya seorang hamba perlu rehat dari kekhusyukan beribadah, serta menikmati makanan dan minuman lezat sepuasnya, sebagai anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Kiai Barsisha terpesona pada lelaki yang baru dikenalnya tersebut, namun kemudian ahli ibadah itu pamit hendak keluar kota, hingga menimbulkan kekecewaan pada diri Barsisha yang sedang asyik bersahabat dan bersenda gurau bersamanya. Sebelum mereka berpisah, Kiai Barsisha meminta sebentuk amalan yang dapat membuatnya bisa meraih kesuksesan duniawi seperti dirinya. Sampai kemudian, lelaki asing itu memberi amalan agar ia mampu menyembuhkan orang kesurupan atau orang yang terserang penyakit jiwa.
Maka, dalam tempo singkat, kedudukan Kiai Barsisha semakin masyhur dan dikenal banyak kalangan selaku tokoh agama yang menguasai banyak keahlian sekaligus kesaktian mandraguna yang dipuja-puji oleh puluhan ribu pengikutnya.
Tibalah pada suatu hari, seorang gadis cantik, anak seorang raja di zaman Bani Umayah, jatuh sakit dan mengalami kesurupan. Atas perintah keluarganya, diutuslah beberapa orang untuk mengantarkan gadis tersebut ke pesantren Kiai Barsisha. Setelah para pengantar mengutarakan maksud dan tujuannya, si gadis ditinggalkan di pesantren yang letaknya di pedalaman itu, agar mendapat pengobatan yang semestinya. Para utusan undur-diri dan pamit hendak kembali ke istana, seraya mempercayakan gadis cantik itu dalam bimbingan dan perawatan Kiai Barsisha.
Tokoh agama itu merasa senang dengan kehadiran sang gadis, terlebih setelah sang raja memberikan balas-jasa dengan memberi bantuan menggiurkan bagi perluasan pesantrennya. Maka, dirawatlah gadis cantik itu dalam ruangan khusus, yang digunakan sebagai tempat rehabilitasi dan pengobatan.
Keesokan harinya, melalui kecerdasan siasat dan rekayasa Iblis (ilmu hilah), ia membisikkan sesuatu dalam kalbu Kiai Barsisha: “Wahai Barsisha, pandanglah kemolekan tubuh gadis itu. Tubuhnya yang sintal dan buah dadanya yang ranum. Di kamar ini tak ada orang lain selain Anda dan gadis itu. Apa salahnya jika Anda bersenang-senang dengan gadis yang tak berdaya itu, sementara dia dalam keadaan gila dan tak sadarkan diri. Kalaupun dia sembuh nanti, tak mungkin bicara macam-macam, karena selama ini dia telah kehilangan ingatan. Ayolah Barsisha, saat ini tak ada siapapun kecuali Anda dan gadis cantik dan molek itu. Mau kapan lagi Anda menikmati kemolekan tubuh gadis yang seperti bidadari surga itu?”
Tergoda oleh suara hatinya sendiri, Kiai Barsisha kemudian menggauli dan menyetubuhi gadis malang itu. Setelah ia melampiaskan nafsu birahinya, seketika ia dirundung gelisah dan takut setengah mati, lantaran wanita itu kemudian mengelus-elus perutnya yang membuncit, dan nampaknya dia hamil. Hari demi hari, minggu demi minggu, Kiai Barsisha dihantui oleh berbagai kecamuk pikiran, bahwa gadis itu pasti akan bicara dan membeberkan perlakuan dirinya. Terus-menerus ia dihantui perasaan, bahwa cepat atau lambat, perbuatan kejinya itu bakal terbongkar.
Para utusan raja pasti tak menerima apa-apa yang menjadi alasan sang kiai. Terlebih, reputasinya sebagai ahli ibadah dan memiliki ribuan murid yang juga memiliki banyak kesaktian. Berhari-hari Kiai Barsisha diselimuti kecamuk pikiran, jangan-jangan gadis itu akan menceritakan perlakuannya. Ia takut nama baiknya tercemar, dan kelak semua orang akan menghempaskan kemuliaan dan kemasyhurannya.
Sang Iblis terus membisiki ahli ibadah tersebut: “Tenang saja Barsisha, agar kemuliaanmu tak terganggu dan reputasimu tetap hebat, hilangkan saja perempuan itu. Bunuh dan kuburkan dia di tempat yang jauh dari pesantren ini.”
“Tapi, bagaimana jika utusan raja datang dan mencari-cari perempuan itu?” tanyanya sangsi.
“Sampaikan saja bahwa dia sudah sembuh, dan beberapa waktu lalu dia pamit dan meninggalkan pesantren ini. Beres, kan?”
Tak lama kemudian, dibunuhlah perempuan gila itu, lalu dikebumikan di tempat tersembunyi yang jauh dari lingkungan pesantren. Meski kemudian, Kiai Barsisha tak menyadari adanya sepotong kain dari baju yang dikenakannya, tampak menyembul di permukaan tanah. Beberapa hari berikutnya, ketika sepotong kain itu terlacak oleh seorang utusan raja, maka kuburan itu pun terkuak.
Sampai kemudian, terbuktilah bahwa Kiai Barsisha adalah pelaku tunggal yang menyebabkan kematian perempuan naas itu. Kini, ia tak mungkin mengelak dari segala bukti yang telah dihimpun para utusan raja.
Kiai Barsisha akhirnya ditangkap dan dihukum salib. Di akhir hayatnya, sang Iblis yang menyerupai lelaki yang pernah dikenalnya, tiba-tiba muncul lagi di hadapan Kiai Barsisha. Kini, ia menawarkan keselamatan baginya, jika saja Barsisha mau meminta pertolongan, serta memohon doa kepadanya.
“Bagaimana saya akan menadahkan tangan dan bersujud di hadapanmu, sementara tangan dan tubuhku dalam keadaan tersalib seperti ini?”
Dalam keadaan lemah dan tak berdaya, Barsisha mau menuruti kehendak Iblis temannya itu, dengan memberi isyarat doa kepadanya. Akhirnya, ia pun wafat dalam keadaan percaya pada bujuk-rayu Iblis, dan ingkar pada keagungan dan kekuasaan Allah yang tak mungkin diserupakan dengan suatu apapun. *)