Peristiwa ditemukannya paus mati dengan perut penuh sampah plastik makin marak terjadi. Setelah dulu di Wakatobi, lalu menyusul di Filipina, kini yang terbaru pada (03/04/19), di Sardinia, Italia. Kabar dari laut yang susul menyusul terjadi ini menjadi semacam berita bahwa laut darurat sampah plastik.
Buruknya pengelolaan sampah plastik menjadi bukti betapa sampah merupakan kasus yang sulit terpecahkan hingga kini. Masyarakat masih memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai yang alirannya bermuara ke laut. Maka tak heran, pada akhirnya terjadilah fenomena The Great Pacific Garbage Patch di Samudra Pasifik, yaitu kumpulan sampah yang hampir menyamai luas daratan Indonesia.
Beberapa penelitian juga menyebutkan jika produksi sampah plastik tidak bisa ditekan, diperkirakan tahun 2050 sampah plastik di laut akan lebih banyak dari pada ikan.
Sebagaiantisipasi, maka pendidikan berbasis ekologi menjadi penting diterapkan di sekolah. Siswa harus disuguhi pembelajaran tentang sampah, pengelolaan dan ancaman bahaya sampah. Mereka perlu dididik dari mana dan akan ke mana sampah yang dihasilkan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan.
Belakangan, kegiatan pengurangan sampah plastik lebih populer dikenal dengan “diet sampah plastik”. Diet sampah plastik ini memang tidak semudah yang dibayangkan. Namun terbukti, ada beberapa sekolah di Indonesia yang berhasil menerapkan sekolah nol sampah plastik. Salah satu sekolah yang terus berjuang adalah SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.
Sekolah tersebut mulai menggagas sistem KTS/P (Kegiatan sekolah Tanpa Sampah/Plastik). Setiap kali ada acara di sekolah, sebisa mungkin menghindari pemakaian sampah plastik. Misalnya dengan menyajikan makanan tradisional berbungkus daun pisang, dan mengganti air kemasan dengan gelas tumblr.
Sekolah tersebut juga mempunyai komunitas Pemulung Sampah Gaul (PSG) yang secara khusus bergerak dalam mensosialisasikan bahaya sampah plastik. PSG terbentuk dengan latar keprihatinan akan minimnya kesadaran tentang keterkaitan manusia dengan lingkungannya sehingga manusia tak memiliki kepekaan dan miskin informasi akan bahaya sampah terhadap masa depan bumi.
Komunitas tersebut terbentuk sejak 22 April 2008 dan terus eksis hingga kini. Di antara kegiatannya, selain memulung sampah plastik untuk dijadikan kerajinan, PSG juga secara konsisten mensosialisakisan bahaya sampah plastik terhadap lembaga-lembaga pendidikan di kabupaten Sumenep, terus mengadakan acara peguatan kapasitas tentang wawasan lingkungan untuk anggotanya, memiliki bank sampah yang penyetornya akan mendapat imbalan berupa hadiah atau bisa diuangkan, menyediakan galon di sudut-sudut sekolah yang diisi ulang dengan air sumber mata air dekat sekolah untuk mengantisipasi penggunaan minuman dalam kemasan sekali pakai, dan program terbarunya, PSG meluncurkan srikandi lingkungan yang bertugas sebagai detektif sekolah menuju nol sampah plastik.
Mereka mengaku, program srikandi lingkungan adalah yang terberat, karena harus berhadapan dengan pengelola kantin sekolah. Hal ini masih menjadi tantangan bagi pihak sekolah agar lebih tegas pada pihak kantin untuk mengurangi jumlah sampah plastik di sekolah.
Misalnya dengan menyiasati penggunaan daun sebagai bungkus makanan atau mewajibkan seluruh siswa membawa wadah bekal sendiri. Kerjasama antara ketiganya (guru, siswa, dan pengelola kantin) bukan tidak mungkin akan mewujudkan mimpi tentang sekolah nol sampah plastik.
Tanggung jawab terhadap lingkungan sebenarnya bukan sepenuhnya berada di pundak siswa. Siswa hanya target awal dalam penanaman karakter dan pembiasaan. Artinya, tidak harus menjadi aktivis lingkungan terlebih dahulu untuk peduli terhadap masalah lingkungan.
Aksi nyata sebagai bentuk kepedulian pada kasus matinya paus-paus berisi puluhan kilogram sampah plastik bisa dimulai dari diri kita sendiri. Mulailah mengurangi penggunaan sampah plastik yang akhirnya akan berakhir menjadi makanan ikan-ikan!