Sedang Membaca
Teologi Antroposentris Hassan Hanafi
Raha Bistara
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Teologi Antroposentris Hassan Hanafi

Hasan Hanafi

Hassan Hanafi lahir di Kairo, pada 13 Februari 1935 M dari bani Suwayf sebuah propinsi di Mesir, tepatnya di lokasi sekitar tembok benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan al-Azhar. Nama lengkapnya adalah Hassan Hanafi Hassanain. Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun sudah berusia tiga belas tahun ia telah mendaftar diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948 M.

Pada tahun 1951, ketika Hassan Hanafi masih duduk di bangku SMA, terlibat dalam perang urat syaraf dengan Inggris di terusan Suez, dan di sana ia menyaksikan para syuhada. Bersama-sama dengan mahasiswa, Hanafi mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 40-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952 M. Atas saran anggota-anggota pemuda muslimin, pada tahun ini pula ia tertarik untuk mengikuti gerakan Ikhwan al-Muslimin, akan tetapi, di tubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di pemuda muslimin.

Karena tubuh Ikhwan sedang ada kemelut, maka Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwan untuk bergabung dalam organisasi Mesir muda. Ternyata, di dalam keadaan Mesir muda sama dengan kedua organisasi tersebut sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hassan Hanafi atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi dan perubahan sosial. Hal ini juga yang menyebabkan Hassan Hanafi tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb, seperti halnya tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam (E.Kusdaningrat, 1999:49).

Dalam keprihatinan seperti itu, Hanafi beruntung memperoleh kesempatan untuk belajar di Universitas Sorbonne Perancis pada tahun 1956­-1966 M. Menurut Hanafi, selama di Perancis ia dilatih berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atas karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang pemikir reformis katolik Jean Gaton tentang metodologi berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricceur dan analisa kesadaran dari Husserl serta bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul fiqh dari profesor Masnion.

Baca juga:  1945, Merdeka, Seni

Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi, sejak Hanafi pulang dari Perancis pada tahun 1966 M. Di sini terlihat Hanafi ingin menggabungkan antara semangat akademik dengan semangat kerakyatan. Artinya, sebagai seseorang pemikir dan cendekiawan, Hanafi sangat peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.

Di tempat inilah Hanafi menggunakan waktunya untuk menulis tentang dialog agama-agama dan revolusi. Sepulangnya dari Amerika Hanafi memulai berusaha memulai tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam yang telah lama tertunda. Pertama, Hanafi merintis penulisan buku al-Turats wa al-Tajdid, (memulai pendahuluan atas pembaharuan yang Hanafi canangkan), namun akhirnya belum terwujud pula karena ia dihadapkan pada pergerakan anti-pemerintah Sadat yang pro-Barat dan melindungi Israel. Antara 1976-1981 M, terpaksa Hanafi membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya yang kemudian menjadi al-Din wa al-Tsawrah (8 Jilid) tahun 1980-1983 M.

Tauhid/kalam yang antroposentris, merupakan hal mendasar yang perlu dikedepankan dalam konteks pemikiran kalam kekinian. Sebuah pemikiran kalam yang memiliki keterkaitan erat dengan problematika yang dihadapi masyarakat Islam dalam konteks kekinian. Kalam harus berorientasi untuk memberikan solusi atas problem yang dihadapi masyarakat, seperti penindasan, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dan aquality antara laki-laki dan perempuan.

Tuntutan sosiologis dan praksis kalam adalah menciptakan suatu struktur masyarakat yang berusaha menciptakan masyarakat yang terbatas dari segi kesenjangan, keterbelakangan, diskriminasi dan ketidak adilan, serta mengedepankan etos egalitarianisme dan saling menghargai di antara sesama makhluk Tuhan.

Baca juga:  Ketika Santri Memperbincangkan Dikotomi Islam vs Barat

Dalam tradisi keagamaan, teologi (Islam, aqidah) dipandang sebagai unsur penting yang mendasari adanya sebuah agama, tanpa teologi yang menjadi dasar keimanan seseorang, maka tidak ada yang namanya agama. Oleh karena itu jika teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi dalam semua agama. Bahkan sejarah-sejarah agama pada dasarnya adalah sejarah teologi. Ratusan bahkan ribuan buku telah ditulis orang untuk memperbincangkan masalah teologi ini, yang semuanya bertujuan untuk menyucikan (Tanzih) Tuhan (Rumadi, 2002:23)

Teologi (ilmu kalam) demikian dijelaskan Nurcholis Madjid, merupakan bidang strategis sebagai landasan upaya pembaharuan pemahaman dan pembinaan umat Islam, karena sifatnya metodologis (Nurkholis Madjid, 1989:61) Tuhan atau Ilmu tentangnya (teologi/kalam), dalam diskursus keislaman sesungguhnya mengalami pembakuan tetapi “demanding” (banyak permintaan). Sayangnya ketika permintaan itu dicari jawabannya, maka kita menemukan dogma: janganlah engkau berpikir tentang Tuhan, tetapi pikirkanlah tentang ciptaan Tuhan. Sebab, siapa mengetahui Tuhan, dia mengetahui dirinya. Dan siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhan karenanya.

Counter terhadap pemikiran yang menganggap agama sebagai cara orang ber-Tuhan saja (teosentris), melahirkan tafsir dan cara pandang sebaliknya, yaitu agama adalah cara orang untuk bermanusia. Dalam cara pemahaman agama seperti ini, melahirkan teologi antroposentris. Suatu teologi yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Tuhan telah menciptakan alam semesta. Karena itu manusia bebas (Free-Sekuler) untuk menentukan dirinya sebagai pusat segalanya. Sebab inti agama adalah cara memanusiakan dan mensejahterakan manusia.

Bagi Hanafi teologi antroposentris harus tetap tidak lepas dari teologi teosentris. Hassan Hanafi, dalam bukunya Min al-aqidah Ila al-Tsawrah; Muhawalatun Li I’adat Bina’ Ilm Ushul al-Din (dari aqidah ke revolusi; upaya untuk membangun kembali ilmu Ushuluddin) memberikan kritiknya terhadap karya pemikiran kalam (teologi) terdahulu sebagai sesuatu hal yang telah jauh dari etos progresivitas kemanusiaan yang selalu mensuboordinasikan manusia.

Baca juga:  Untuk Apa Belajar Teologi di Era Modern?

Dalam kitab-kitab tersebut, pertama-pertama selalu diungkapkan puji-pujian kepada Allah dan pernyataan kelemahan manusia di hadapan Kemahabesaran-Nya yang telah memberikan pengaruh penanaman nilai pasivitas kedalam diri manusia dan menciptakan suatu kondisi psikologis yang tidak mampu mengubah keadaan. Jiwa orang Islam diperkedilkan dan diperlemah dengan selalu menjejalkan dalam kesadaran manusia, ingatan bahwa Dia yang Maha Besar, sementara diri sendiri serba lemah dan membutuhkan pertolongan.

Sikap seperti ini, sedemikian terpatri dalam jiwa, membuat orang tak percaya diri dan tidak berkuasa ketika berhadapan dengan penguasa-penguasa temporal, baik itu penguasa politik, penguasa budaya maupun penguasa keagamaan. Kehilangan era progresifitasnya dalam melakukan perubahan inilah akar metodologis teologi (kalam) klasik yang harus dirombak secara radikal. Mestinya, kata Hassan Hanafi, risalah kalam harus diawali dengan pernyataan demi bumi kaum muslimin yang terjajah, demi kebebasan kaum muslimin dalam menghadapi serangan lawan, demi keadilan sosial dan persamaan dan seterusnya(Hassan Hanafi, 1989:05).

Lontaran kritik Hanafi atas tradisi pemikiran teologi (kalam) klasik tersebut di dasarkan pada realitas di mana memandang pentingnya upaya revitalisasi dan reaktualisasi tradisi keilmuan kalam dalam konteks kekinian. Keilmuan teologi (kalam) yang selama ini telah diklaim mandul mesti disegarkan kembali sehingga akan mampu berdialektika dengan realitas kekinian sehingga melahirkan paradigma-paradigma baru sesuai dengan tuntutan zaman. Keilmuan teologi (kalam) yang berkembang selama ini hanya bersifat teosentris, teologi (ilmu Kalam) yang pembahasannya senantiasa lekat dengan masalah-masalah al-ilahiyat, al-manthiqiyat dan at-tabi’iyat merupakan teologi (ilmu kalam) dalam realitasnya old fashion (Hassan Hanafi, 1991:394).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top