Jalan hidup Gus Dur yang sederhana sudah banyak diceritakan oleh orang-orang dekatnya, baik keluarga atau pun teman-temannya. Rumah ngontrak, sandal dan kemeja seadanya, tidak punya tabungan, istrinya, Ibu Nuriyah jualan kacang, kendaraan tidak neko-neko.
Bahkan untuk menggambarkan ketidaktergantungannya dengan makhluk ciptaan manusia bernama duit, ada cerita bahwa Gus Dur tidak punya dompet. Jadi, jangankan kartu kredit atau ATM yang sudah marak di akhir 1980an, dompet saja Gus Dur ndak punya. KTP ditaruh di mana?
Ya, dompet Gus Dur insya Allah punya. Tetapi isinya hanya KTP, mungkin ditambah foto Bu Nuriyah atau rajah dari kulit kijang (biar kalau hilang dikirimkan ke alamat..haha..).
Kisah-kisah kesederhanaan Gus Dur begitu“mutawatir”, banyak orang menjadi saksinya. Gus Dur tidak memiliki benda-benda mewah. Tetapi bukannya Gus Dur tidak punya kesenangan dan barang kebanggaan. Punya. Gus Dur mengoleksi benda-benda yang, ya lumayanlah, dibawa ke sana ke mari dan selalu “dipamerkan” kepada teman-temannya. Barang apakah itu?
Buku, kaset, dan alat pemutarnya yang disebut walkman.
Satu hal lagi yang menjadi kesukaan Gus Dur, yaitu makan soto. Soto bukan makanan mahal. Ia bisa didapat di pinggir jalan. Soto waktu itu, belum naik kelas seperti sekarang, yang diburu orang kota dan diposting di berbagai media sosial. Dan sekarang pun, masih banyak soto nikmat tetapi harganya miring.
Tetapi soal soto ini, Gus Dur agak nekat. Seorang kiai di Jawa Tengah menceritakan hobi Gus Dur makan soto di Semarang. Cerita ini didapat Savic Ali dan diceritakan ke saya. Gus Dur rela ketinggalan jadwal pesawat terbang, demi menunaikan hobinya: nyoto.
“Gus, sekarang saya antar ke bandara. Sejam lagi Gus Dur harus check ini..”
“Nanti aja, Kiai.. sudah 2 hari di Semarang masa tidak makan soto?”
“Tapi Gus…?”
“Tetapi soto di sini lebih penting. Karena tidak ada di Jakarta…”
“Tiket pesawat hangus dong, Gus..?”
“Beli lagi. Tenang, Kiai, amplop saya ceramah tadi malam tebal. Kalau kurang naik bus juga tidak masalah. Yang penting bisa nyoto..”