Fase sejarah Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta (MJS) berarti memahami karakter perkembangan manusia-manusia yang ada di dalamnya. Masa yang telah silam berbicara mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zamannya: tumbuh, hilang, dan berganti.
Sebelum bangunan masjid berdiri seperti sekarang, mulanya telah lebih dulu berdiri mushala kecil yang digunakan oleh warga sekitar sebagai tempat ibadah lima waktu. Lahan tempat mushala berdiri mulanya kepemilikan pribadi. Setelah mulai ada rencana pembangunan masjid pada sekitar 1970, beberapa warga yang memiliki tanah di sekitar mushala mewakafkannya sebagai bagian dari kompleks masjid. Masjid dibangun pada 1394 H/1974 M. Beralamat di Jalan Rajawali No. 10, Kompleks Kolombo, Demangan Baru, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Bentuk bangunan masjid belum mengalami renovasi sama sekali sampai sekarang.
Pendirian MJS tidak bisa dilepaskan dari peran orang-orang yang beraktivitas dalam Yayasan Asrama dan Masjid (Yasma) Syuhada. Keberadaan MJS awalnya merupakan “cabang” atau “Syuhada II” dari Yasma Syuhada yang menaungi Masjid Syuhada Kotabaru. Sampai sekarang tagihan rekening listrik MJS masih tertera dengan nama Syuhada II.
Sebagian dari pendiri masjid merupakan anggota ketakmiran dan atau dari anggota Yasma Syuhada. Di antaranya adalah Halim Tuwasikal (wartawan Kedaulatan Rakyat), Zubair Qohari (pengusaha batik Karangkajen), Adi Winata (pegawai negeri Kompleks Kolombo) adalah beberapa tokoh awal yang menggawangi MJS. Lantas bersama membentuk kepengurusan Yasma Kompleks Kolombo.
Masuk fase sejarah MJS, setidaknya telah berlangsung tiga fase gerak aktivitas dalam upaya untuk memakmurkan masjid.
Fase pertama, gerak aktivitas masjid terpahami dalam kepentingan dakwah Islam yang berorientasi mengajak warga sekitar untuk berjamaah ke masjid, tempat pendidikan agama bagi anak-anak lingkungan kompleks kolombo dan daerah sekitarnya, serta sebagai perimbangan berhubungan adanya lembaga pendidikan formal yang berbeda latar belakang agama di sekitar wilayah Demangan. Beberapa tokoh Muhammadiyah, seperti AR Fahruddin, beberapa kali terjadwal sebagai khatib Jumat, pengisi acara kajian, maupun kultum pada bulan Ramadhan.
Pada perkembangannya, kondisi di luar masjid dan Yogyakarta sebagai tujuan menempuh pendidikan tinggi, memungkinkan terjalinnya para mahasiswa, aktivis bertukar pemikiran, wacana, hingga melakukan aktivitas pergerakan. Gerak aktivitas masjid pun menjadi terpengaruhi. Sebabnya juga, para takmir secara internal adalah kalangan terpelajar include sebagai aktivis muslim masjid.
Faktor eksternal yang mempengaruhi gerak aktivitas masjid yakni berkaitan dengan diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1978, praktis kreativitas mahasiswa dan kegiatan para aktivis mengambil tempat di luar kampus. Dari jalinan pertemanan dengan para aktivis mahasiswa maupun muslim, asrama MJS sebagai tempat tinggal para takmir sering menjadi tempat berkumpul. Silang saling hubungan yang berjalin pun akhirnya mempengaruhi kegiatan takmir memakmurkan masjid beririsan dengan haluan keislaman para aktivis muslim.
Sekurangnya ada dua masjid yang menjadi tempat berkumpulnya para aktivis muslim pada fase 1970-1980-an, yakni Masjid Kampus UGM dengan Jamaah Salahuddinnya dan MJS.
Faktor ekternal lainnya yang mempengaruhi hingga menjadi mengerasnya bentuk gerak aktivitas masjid berhubungan dengan aktualisasi gagasan berislaman dan orientasi gerakan keagamaan orang-orang yang mengambil tempat di asrama MJS. Keduanya dapat dilihat dalam buku Solahudin, NII Sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia (2011: h 146) dan TEMPO edisi 22 Oktober 1983.
Solahudin menulis, “Awal Mei 1978, Yusuf Latief dan kawan-kawan membentuk struktur DI Yogyakarta. Dalam rapat di Masjid Jendral Sudirman, Yogyakarta, Hasan Bauw terpilih sebagai pimpinan DI Yogya. Yusuf Latief bersama Mulyono terpilih menjadi wakil. Selepas pembentukan struktur DI Yogyakarta, Yusuf Latief dan kawan-kawan mulai aktif melakukan perekrutan anggota.” Darul Islam kita tahu merupakan kelompok Islam yang bertujuan untuk pembentukan negara Islam di Indonesia.
TEMPO edisi 22 Oktober 1983 tertulis, “Sudah setahun pihak intel Korem 072 Yogya mengincar Ar-Risalah. Buletin bulanan terbitan Badan Komunikasi Pemuda Masjid (BKPM) Yogya. … [yang] ‘Isinya mengkafirman pemerintah dan menyisipkan konsep revolusi dari luar negeri’… Maka buletin itu pun 4 Oktober dinihari lalu digerebek. Dari kompleks Masjid Sudirman di Jalan Rajawali itu petugas menyita 10 ribu eksemplar Ar-Risalah No. 21 yang siap diedarkan, 202 lembar Yaum al-Quds majalah terbitan kedubes Iran di Jakarta dan 50 buku Perjalanan Hukum di Indonesia, Sebuah Gugatan. Buku yang disunting Irfan Suryahardy, 22, pemimpin redaksi Ar-Risalah itu memuat pembelaan Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir yang diadili di Sukoharjo (Jawa Tengah) karena dituduh terlibat ‘komando jihad’, dengan kata pengantar Adnan Buyung Nasution.”
Tergambar dari dua tulisan gerak aktivitas masjid praksis meluber sampai di atas mimbar khutbah. Tetapi yang perlu digarisbawahi, nama-nama yang tersebut bukan yang tercacat sebagai internal takmir, hanya saja menjadikan asrama MJS sebagai tempatnya. Secara lokasi MJS sangat strategis dekat dengan kampus yang ada di Jl. Laksda Adisucipto, Karangmalang, dan Bulaksumur.
Pasca pengerebekan, MJS bersih dari macam aktivitas yang berhaluan demikian itu dan dari oknum yang membawa aktivitas gerakannya ke dalam MJS. Tersisa tinggal kenangan. Pada satu kesempatan bersilaturahim dengan Buya Ahmad Syafii Maarif, beliau pun masih mengenang “kerasnya” dulu MJS.
Sementara BKPM sebagai wadah komunikasi tujuh masjid di daerah Caturtunggal sampai kini masih berjalan, namun hanya sebatas pada dua bentuk pelaksanaan peribadahan bersama shalat Idul Fitri dan Idul Adha berlokasi di lapangan parkir sebelah barat GOR UNY. MJS kebagian mencari khatib dan mencetak naskah khutbah shalat Id.
Pada masa Reformasi 1998, dan Yogyakarta sebagai salah satu kantong gerakan aksi mahasiswa, MJS masih menjadi pilihan tempat beraktivitas para aktivis. Ghirah menuntut perubahan turut beralur, seperti diceritakan oleh mantan rektor UNY, Rochmat Wahab, pada satu perbincangan usai shalat Jumat, “Di sini [MJS] dulu masa itu [Reformasi] tempat berkumpul dan larinya aktivis, sampai ada yang terkangkap di sini”. Cerita lainnya berasal dari jamaah masjid, masa waktu mendekati tahun Reformasi, ceramah Amin Rais di MJS dihadiri banyak kalangan mahasiswa dan umum jamaah.
Fase kedua, gerak aktivitas masjid lebih ke format pendidikan yang berlangsung pada 1990-an sampai 2000-an. Ontran-ontran yang terjadi pada masa lalu masih berimbas pada masyarakat dan jamaah sekitar takut salah-salah malah akan berurusan dengan pihak berwajib. Sampai-sampai mencegah anak-anak untuk datang ke masjid. Masjid menjadikan masjid sepi dari aktivitas kegiatan. Untuk menggiatkan kembali kegiatan dilakukan lewat pendidikan pengajaran.
Bentuknya adalah Pengajian Anak-Anak Sudirman (PAS) sebagai model alternatif pengajian anak. PAS dicitakan oleh para penggagasnya—Pujo Warsono, Fadhilal Rusdi, Ghazin Asyururi, Muthoha Arkanuddin dkk—sebagai “Satu wadah yang bertanggung jawab terhadap pengawasan kegiatan anak secara keseluruhan”.
Model pengajian anak PAS merupakan satu bentuk miniatur masyarakat Islam dengan masjid sebagai basisnya. Dipilih masjid, karena masjid pada hakikatnya didirikan tidak lain untuk menjadi pusat aktivitas umat, untuk anak-anak konteksnya belajar dan bermain. PAS berdiri pada 1 Muharam 1411 H/1990 M.
Masjid sebagai tempat yang paling ideal dikarenakan di dalamnya terdapat tingkatan jamaah pada level semua umur. Orang tua sebagai tempat meminta nasihat dan bimbingan; kakak pembina sebagai pengasuh serta pengontrol aktivitas belajar dan bermain; dan teman sebaya sebagai teman bermain dan untuk belajar bersosialisasi secara wajar. Menariknya, panggilan untuk para pengajar tidak menggunakan ustad/ustadah, tetapi dengan panggilan kakak. Sampai sekarang panggilan kakak untuk para pembina dan pengajar masih dipertahankan. Sementara bentuk pengajian anak-anak berubah menjadi Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Sudirman.
PAS sebagai model alternatif pengajian anak terlihat dari penggunaan metode semacam sorogan ala pengajian kampung. Aktivitas PAS berlangsung seusai shalat Magrib s.d Isya setiap hari. Berbeda dengan waktu TPA hari ini yang hanya rata-rata tiga kali seminggu dan model pembelajaran enam jilid Iqro. Dengan mode sorogan, anak lebih mampu menuai hasil dari belajar ngaji Al-Qur’an, dan selang-seling materi bimbingan dasar akhlak, ibadah, ilmu pengetahuan umum dan sosial, bertadabur alam dan kesenian, serta ditunjang dengan adanya perpustakaan.
PAS sejak berdirinya terbilang menerapkan model baru sama sekali dalam pengajian anak yang ada di wilayah perkotaan. Terarsip 25 jilid berjejer sepanjang 70 cm laporan kegiatan PAS sejak berdiri sampai 2005. Role model PAS yang berbasis masjid pernah menjadi salah satu yang terbaik di Yogyakarta.
Fase ketiga, gerak aktivitas masjid yakni mulainya MJS menggarap kajian yang belum banyak digarap masjid lain. Setidaknya sejak 2013 MJS menaja serangkaian kegiatan dalam bingkai spiritual, mengasah keintelektualan, sembari menguri-uri kebudayaan. Ketiganya menjadi semacam core gerak memakmurkan masjid, bahwa sebuah masjid tak sekadar sebagai tempat sujud, tetapi juga menjadi tempat kaji dan ngaji.
Kini bertambah dengan adanya komunitas literasi masjid, penerbitan, serta lini media yang kami peruntukan sebagai media dakwah dan penyebaran informasi kajian dan ngaji yang telah diselenggerakan MJS. Beragam bentuk ngaji dan kajian masjid kini menjadi salah satu tujuan para pencari ilmu. Bertambah tersiar dan terhubung lewat media sosial semakin memudahkan santri online ikut serta mengikuti ngaji.