Sering aku melihat, Gus Dur, di rumahnya, hanya mengenakan kaos dan celana sebatas bawah lutut sampai setengah betis. Kainnya dari bahan yang tak tampak berkualitas.
Seperti yang sudah aku ceritakan, ketika ia masih sakit, tahun 1997, aku dipanggilnya masuk kamarnya. Sastro Ng, mungkin mengabarinya saya ada di kamar atas di rumahnya.
Di kamar itu, ia mengenakan pakaian ini: celana dan kaos seperti tadi. Aku tak melihat logo “Polo” atau sejenisnya pada dada kaos itu. Ya seperti pakaian yang dikenakannya ketika ia berdiri di depan istana, sambil melambai-lambaikan tangan kepada ratusan umatnya yang menunggunya menjelang ia dilengserkan dengan paksa dan inkonstitusional dari kursi kepresidenan.
Tak ada bedanya, ketika ia di istana maupun di rumahnya. Gus Dur memang tak memikirkan atau tak lagi terpikirkan soal bahan apa dan warna apa yang patut dipakai, meski ia mampu merabanya. Ia juga tak peduli bikinan siapa untuk pakaiannya, bikinan dalam negeri atau luar negeri, buatan orang Islam atau orang kafir, orang komunis atau sekuler, baik saat menjadi Presiden atau menjadi orang biasa.
Ia menerima saja apa yang diberikan kepadanya. Tetapi tentu saja, ibu dan anak-anaknya memperhatikan untuk memilihkan apa yang pantas bagi suami, bapaknya. Merekalah yang memilihkan pakaian untuk suami/ayahnya pakaian apa dari dari bahan apa yang pantas baginya di suatu tempat dan untuk momen-momen yang dihadirinya. Meski begitu pilihan pakaian itu tetap saja sederhana. Aku kira semua orang bisa melihatnya.
Yang menarik, aku jarang sekali melihat Gus Dur memakai sarung, seperti kiai pada umumnya yang ke mana-mana pakai sarung, padahal ia adalah kiai besar, di lingkungan “kaum sarungan”. Diingat-ingat, aku hanya sekali saja melihat foto Gus Dur mengenakan sarung kotak-kotak, baju koko warna putih dan berpeci hitam. Padahal aku dulu, ketika masih mondok di pesantren, menganggap sarung adalah pakaian Islam. Sedang celana pantalon pakaian Londo. Tak sah rasanya jika salat atau menghadiri akad nikah atau hajatan yang lain tidak pakai sarung.
Jika aku masuk masjid untuk salat dengan pakai sarung bersama orang lain yang memakainya, maka aku dianggap kurang pantas menjadi imam salat. Tidak afdol, katanya. Budaya kita acap melihat “sarung” sebagai tanda kesalehan seseorang. Paling tidak lebih saleh dari orang yang memakai celana panjang.
Mungkin saja, ini akibat negeri ini pernah dijajah Belanda untuk waktu berabad. Para penjajah selalu memakai celana dan dasi. Maka celana cenderung memiliki makna identitas penjajah.
Konon, pernah ada fatwa haram memakai celana, karena alasan tersebut. Gus Dur, tentu juga paling paham soal budaya ini. Aku memperoleh cerita dari murid-muridnya ketika di pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Manakala Gus Dur mengajar di kelas, ia mengenakan celana panjang, dan tidak pernah sekalipun memakai sarung seperti kebanyakan guru yang lain.
Dan yang amat menarik dari itu, Gus Dur tak pernah sekalipun mengenakan pakaian khas Arab: semacam Gamis atau “Tob”. Aku juga tak pernah lihat beliau memakai sorban dengan gulungan besar maupun kecil berwarna putih maupun hijau. Atau memakai peci putih khas orang Indonesia usai Haji. Padahal kiai yang lain seperti Kiai Ahmad Siddiq misalnya sesekali memakainya.
Di dinding rumahnya aku tak melihat foto Gus Dur dengan performans orang Arab. Aku tak mengerti pikiran beliau. Gus Dur seperti ayahnya, K.H. Abdul Wahid Hasyim yang senang mengenakan celana pantalon, baju putih dan berdasi, kadang pakai peci kadang tidak. Kiai Wahid tampak ganteng dan perlente.
Begitulah pakaian Gus Dur sepanjang yang aku tahu.