Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Kala Orde Baru Meringkus Hilal Ramadan

Pagi itu, Slamet dipanggil pimpinannya. Ia diintograsi selayaknya pesakitan yang sedang di-BAP oleh aparat.

“Kapan kamu mulai berpuasa?” tanya sang pimpinan dengan nada ketus.

Jantung pegawai Kantor Urusan Agama di Banyuwangi itu, berdegub kencang. Ia mulai menyadari akan bahaya yang mengintai.

Saat itu, sekitar 1980-an, penentuan awal Ramadan terjadi perbedaan. Pemerintah menetapkan sehari sebelum Nahdlatul Ulama (NU). Slamet yang note bene warga NU itu, lebih memilih ikut hasil penetapan NU yang menggunakan rukyat. Sementara pemerintah berpatokan pada hasil hisab.

Berbeda dengan keputusan pemerintah pada masa Orde Baru, tak ubahnya telah melakukan tindakan subversif. Jangankan pada hal-hal yang menyangkut urusan umum, hal yang privat seperti agamamu pun tak luput dari intervensi negara, lengkap dengan tindakan represifnya.

Jika yang melanggar Pegawai Negeri Sipil (PNS), besar kemungkinan dipecat, dimutasi atau tak pernah dapat promosi. Jika bukan PNS, maka bersiaplah menghadapi aparat. Bisa Babinsa, bisa juga Koramil, bahkan Kodim.

“Pada satu Ramadan,” jawab Slamet diplomatis.

“Saya tahu, puasanya pasti satu Ramadan. Tapi, hari apa?” pimpinannya mulai geram.

“Selasa, Pak. Berdasarkan hasil rukyah sebagaimana yang saya yakini, saya puasa hari itu,” jawabnya lagi dengan tegas.

“Kok berbeda dengan pemerintah? Kamu tahu apa akibatnya jika melawan?”

Dua pertanyaan terakhir tentu tak perlu diberikan jawaban. Karir Slamet pun sempat tersendat. Hingga akhirnya reformasi bergulir. Orba pun tumbang. Kini, Slamet bisa promosi jabatan dengan kompetitif. Sekarang ia menjabat sebagai Kepala Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi.

“Sekarang, meski ada anak buah saya yang berpuasa beda dengan hasil keputusan pemerintah, tidak saya tegur. Apalagi sampai di-BAP seperti saya dulu,” ungkapnya sembari tersenyum.

Pada masa itu, Slamet bukanlah seorang diri. Banyak orang yang menjadi korban represif Orba hanya karena perbedaan penentuan awal Ramadan. Begitu juga saat menentukan akhir Ramadan atau awal Syawal. Lebih genting lagi. Salat id menjadi penanda penting, seseorang itu loyal ataukah tidak pada pemerintah.

Baca juga:  Kiai dalam Logika Kepemimpinan Lokal

Seperti halnya yang dialami oleh H. Khoirul Masykur. Aktivis NU dari Desa Kabat, Banyuwangi itu, mengalami bagaimana pahitnya tekanan Orde Baru hanya karena perbedaan. Hal tersebut terjadi pada penentuan 1 Syawal 1418 H. Dengan mengacu pada visibilitas hilal yang menggunakan metode hisab, hari raya jatuh pada 30 Januari 1998.

“Menteri agama, di televisi sudah berbicara. Lebaran bisa mengikuti pemerintah, bisa juga tidak,” kata Haji Masykur mengenang perkataan Tarmizi Taher yang saat itu jadi Menteri Agama Indonesia.

Merasa mendapat restu tak langsung dari pemerintah, Haji Masykur memilih untuk berlebaran sebagaimana yang ditetapkan oleh NU. Saat itu, NU memutuskan berlebaran lebih dahulu. Keputusan tersebut berdasarkan metode imkanur rukyah dengan standar dua derajat. Pemerintah sendiri, menggunakan standarisasi tiga derajat.

Namun, saat ada yang memutuskan lebaran berbeda dengan pemerintah, aparat di bawah pun segera menindak. Mereka tak mau tahu. Berbeda dengan pemerintah berarti harus ditindak!

Haji Masykur yang kala itu menjadi Ketua Takmir Masjid Baiturrahmah di desanya segera bersiap untuk mengumandangkan takbir. Namun, mendapat penolakan dari pengurus takmir yang lain. Mereka memilih untuk mengikuti keputusan pemerintah karena tak mau mengambil resiko.

Menghadapi penolakan dari sejawatnya di ketakmiran tak membuatnya kendur. Justru ia makin nekat. Ia bujuk temannya yang bernama Haji Asy’ari untuk jadi panitia pengumpulan zakat fitrah. Sementara para santrinya diperintahkan untuk bertakbir di Musalah Baitudz Dzakirin, di depan rumah Haji Masykur.

Baca juga:  Mihrab KH. Ali Mustafa Ya’qub saat Nyantri

Polemik pun tak bisa dihindarkan. Keputusan nekat Masykur mendapat penolakan dari beberapa tokoh setempat. Bahkan, Koramil Kabat dan Sekwilcam ( Sekretaris Camat) Kabat, ikut nimbrung dalam perdebatan tersebut. Perdebatan berlangsung hingga larut malam.

Sementara itu, sebagian besar masyarakat yang ikut Haji Masykur tetap bertakbir dan membayar zakat. Saat menjelang fajar, Haji Masykur akhirnya memenangkan polemik tersebut. Bahkan, ia diberi izin untuk meminjam kendaraan Koramil Kabat yang beragama Kristen itu berkeliling kampung mengangkut beras zakat.

“Jika sampai Subuh tidak sah, kan. Akhirnya, biar cepat, jadi pinjamlah kendaraan Koramil,” ceritanya.

Paginya, saat Salat Id, masjid tetap terkunci. Tak ada aktivitas. Namun, di Musalah Baitudz Dzakirin, penuh sesak dengan warga yang hendak menunaikan Salat Id. Takbir terus bergema sedari malam.

Menariknya, cerita lelaki sepuh yang pernah menjadi Bendahara MWC NU Kabat itu, Salat Id langsung dijaga oleh Babinsa kala itu. Banyak orang yang tak setuju mencibir; salat kok dijaga Babinsa?

“Sebenarnya, saya sengaja mengundang Babinsa untuk berjaga-jaga. Takutnya ada yang usil dan melempari orang yang sedang salat,” aku Masykur.

Akhirnya, mayoritas masyarakat Mantren merayakan lebaran saat itu juga. Sehari sebelum penetapan pemerintah. Keesokan harinya, masjid pun tetap tak melaksanakan salat Id. Entah kemana salatnya para penolaknya kala itu.

***

Perbedaan tersebut, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai dari yang teoritis, hingga yang sifatnya tuduhan-tuduhan sepihak. Pemerintah secara teoritis tak melulu menggunakan hisab, tapi kadang juga imkanu-r-rukyah.

Akan tetapi, patokan untuk menentukan visibilitas hilang yang berbeda. Pemerintah mengharuskan tinggi hilal harus di atas 3 derajat, sementara ada yang berpatokan hanya 2 derajat. Seperti halnya NU yang mengacu pada 2 derajat. Patokan ini, konon diubah pada masa Presiden KH. Abdurrahman Wahid, sehingga pemerintah menggunakan visibilitas hilal yang 2 derajat.

Baca juga:  Polemik Negara Islam, dari Mulai Kartosoewiryo hingga Aidit

Selain itu, ada pula tuduhan-tuduhan lain yang bersifat konspiratif. Misalnya, tuduhan yang dilontarkan oleh Anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur KH. Sya’rani Abdul Hamid saat mengomentari perbedaan penentuan lebaran 1 Syawal 1414 (1994). Sebagaimana yang dimuat di tabloid Warta edisi April 1994.

“Sebenarnya beda lebaran kali ini terjadi bukan antara hisab dan rukyat. Tetapi perbedaan itu terjadi antara hisab modern dengan hisab kuno. Rupanya hasil rukyat telah dipolitisir demi gengsi,” tuduhnya.

Tuduhan tersebut, bukan tanpa dasar. Meski organisasinya memutuskan ikut Pemerintah yang menetapkan 1 Syawal 1414 pada 14 Maret 1994, ia berlainan. Hal tersebut didasarkan atas teori hisabnya yang telah teruji keakuratannya selama 40 tahun. Hampir dipastikan selalu cocok dengan hasil rukyat. Seperti kala itu, ia menghitung posisi hilal telah ijtima’ (konjungsi) pada Sabtu, pukul 15.09 lebih 25 detik 12 Maret 1994. Tinggi hilal 02:05:18 derajat dengan lama tampak 8 menit, 21 detik. Posisinya miring ke utara. Hasil hisab tersebut terbukti dengan penampakan hilal dengan posisi demikian saat dilakukan rakyat di Nambangan, Surabaya.

“[Hisab dan rukyat itu] identik. Artinya, jika hisab menyebut besok 1 Syawal, rukyat pasti berhasil melihat hilal. Kalau tidak, itu karena mendung saja. Tapi, hisabnya harus yang bisa diuji dengan fakta di lapangan. Satu lagi, Ulubeik itu ada, berasal dari rukyat,” tegasnya.

Meski demikian, perbedaan penentuan awal ataupun akhir Ramadan, bagi Kiai Sya’roni bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan. Apalagi sampai ada represi pada yang berbeda. Cukup satu, menurutnya, yang harus dikedepankan.

“Yang penting, hasil ilmiah harus dibuktikan dengan fakta ilmiah,” pungkasnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top