Sedang Membaca
Menimbang Iman dengan Akhlak
Abad Badruzaman
Penulis Kolom

Wakil Rektor III UIN SATU Tulungagung. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Penulis Buku-buku Keislaman.

Menimbang Iman dengan Akhlak

Muhammad ’Abdullah Darâz berkata: Kehidupan bermasyarakat tidak akan tegak tanpa kerja sama antar anggotanya. Kerja sama ini hanya dapat terjadi jika ada undang-undang yang mengatur hubungan-hubungan antar anggota masyarakat serta membatasi hak-hak dan kewajibannya. Tapi undang-undang ini tetap memerlukan sebuah kekuatan yang memiliki kewibawaan dan supremasi dalam jiwa manusia serta menjamin terjaganya.

Kami tegaskan bahwa di muka bumi ini tidak ada kekuatan yang setara atau mendekati kekuatan agama dalam menjamin tegaknya hukum, keharmonisan antar anggota masyarakat, ketaatan pada aturan-aturannya, serta terciptanya ketenteraman dan kedamaian di dalamnya.

Jelas keliru kalau kita menyangka bahwa ilmu pengetahuan saja sanggup menjamin terciptanya kedamaian dan ketenangan. Tidak benar jika ilmu pengetahuan dapat menggantikan pendidikan serta tuntunan agama dan akhlak. Itu tak lain karena ilmu bagaikan pisau bermata dua; dapat merusak dan menghancurkan, seperti juga dapat membangun dan menyejahterakan. Agar kita dapat menggunakannya dengan baik maka harus ada pengawas moral yang mengarahkannya pada hal-hal yang melahirkan kebaikan bagi manusia dan kemakmuran bumi, bukan kepada keburukan dan kerusakan. Pengawas itu adalah akidah dan iman.

Akhlak merupakan pilar jiwa pribadi yang memiliki keutamaan, penyangga masyarakat yang bermartabat. Suatu masyarakat akan tegak selama ada akhlak di dalamnya dan akan hancur ketika akhlak tidak ada di dalamnya. Dalam pandangan agama umumnya dan Islam khususnya, akhlak memiliki tempat yang tinggi dan kedudukan yang terhormat. Pujian tertinggi al-Qur`an untuk Rasulullah Saw. adalah:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam/68: 4).

Nabi Saw. sendiri menyimpulkan risalah yang dibawanya dalam sabdanya:

Sesunggguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. al-Bukhârî).

Baca juga:  Mengenal Kembali Elemen Mushaf Alquran: Iluminasi

Mengacu kepada Hadits di atas, tidak heran jika kemudian kita mendapati ulama besar setaraf Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa agama adalah akhlak. Pernyataan ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw.: Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (HR. al-Tirmidzî).

Kebajikan itu adalah akhlak yang baik (HR. Muslim).

Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan amal seorang Mukmin pada hari kiamat dari akhlak yang baik (HR. al-Tirmidzî).

Demikianlah, bagi agama, akhlak merupakan pilar penopang, sedang bagi masyarakat, akhlak merupakan pondasi. Agama tidak sekadar mengajak dan memuji akhlak mulia. Lebih dari itu, agama membangun kaidah-kaidahnya, menentukan batas-batasnya, menetapkan tolok ukurnya, memberi sejumlah contoh bagi beberapa perilaku, mendorong manusia untuk konsisten memedomaninya, mewanti-wanti mereka agar tidak melakukan penyimpangan, serta menetapkan reward dan punishment; reward bagi perilaku terpuji, punishment bagi perilaku tercela.  Akhlak mulia menjadi tujuan dari misi besar agama. Apa yang diajarkan dalam agama akan dapat terlaksana dengan baik jika para umatnya memiliki landasan akhlak yang mulia.

Pernyataan Mahathma Ghandi berikut ini menarik untuk kita jadikan bahan refleksi bersama tentang hubungan yang erat antara agama dan akhlak mulia:

Sesungguhnya agama dan akhlak mulia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya tidak dapat berpisah satu sama lain. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi. Agama bagaikan ruh bagi akhlak dan akhlak seperti udara bagi ruh. Dengan ungkapan lain: Agama memupuk akhlak, menumbuhkan dan menyegarkannya. Seperti halnya air memberi makan dan menumbuhkan tanaman.

Pernyataan Ghandi ini semakin mengukuhkan hubungan antara agama dan akhlak mulia. Tanpa agama, tidak mungkin ada akhlak. Dan tanpa akhlak, tidak mungkin ada undang-undang. Agamalah sumber terpelihara yang darinya diketahui mana akhlak baik mana akhlak buruk. Agamalah yang menghubungkan manusia dengan Zat Maha Tinggi, kepada-Nya mereka menatap dan untuk-Nya mereka beramal. Agamalah yang membatasi egoisme seseorang, menahan tirani nalurinya, mengalahkan dominasi kebiasaannya, lalu menaklukkan dan menundukkannya kepada tujuan-tujuan dan nilai-nilai luhur. Agamalah yang mendidik nurani yang di atas pondasinya menara akhlak berdiri tegak.

Baca juga:  Penciptaan Alam dalam Manuskrip Sunan Kudus

Orang beriman hidup demi satu risalah yang agung, beramal demi satu tujuan yang mulia, dan hidup di bawah naungan nilai-nilai luhur. Ia hidup untuk dan di atas nilai-nilai luhur tersebut, yaitu merasa dekat dengan Allah, meneladani akhlak-Nya, dan berusaha meraih ridha-Nya. Di jalan nilai-nilai ini ia berjuang mengalahkan nafsunya serta meredam tirani naluri hewani dan syahwatnya, demi ridha-Nya, guna meraih apa yang ada di sisi-Nya, karena percaya akan pahala-Nya. Ia letakkan tepat di depan matanya firman Tuhannya:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (14) قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (15) الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا ءَامَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (16) الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah Aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur (QS. Âli ‘Imrân/3: 14-17).

Baca juga:  Hikayat Abdullah: Alquran, Kertas, dan Pengajaran

Upaya meneladani akhlak Allah artinya adalah upaya sungguh-sungguh dan lestari menuju keluhuran dan kesempurnaan; usaha berkelanjutan untuk meneladani kesempurnaan Tuhan sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Sebagai contoh: Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Maka usaha manusia untuk meneladani-Nya adalah dengan berusaha menghiasi diri dengan ilmu dan hikmah sesuai dengan kemampuan kemanusiaan. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,  maka usaha untuk meneladani-Nya adalah dengan berupaya menjadikan diri penuh kasih sayang sesuai dengan kadar kemanusian.

Allah itu Maha Kaya lagi Maha Pemurah. Maka, dalam usaha meneladani-Nya, kita harus berupaya menjadikan diri kita kaya lagi murah hati sesuai dengan kadar kemanusiaan. Allah Maha Perkasa lagi kuasa mengadakan pembalasan, maka dalam kerangka mengikuti akhlak Allah, manusia harus berusaha menjadi orang yang disegani oleh orang-orang kafir dan ditakuti oleh para pelaku kezaliman. Dan begitu seterusnya. (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top