Manusia sangat terhubung dengan lingkungannya, dan berusaha untuk memeliharanya sebaik mungkin. Mereka bergantung dengan alam, dan karenanya mereka berusaha menata dan menjaga keindahannya. Kebudayaan modern memiliki makna dan penafsirannya sendiri, seakan mengingkari keterhubungan dan ketergantungan itu. Pengingkaran itu tentu saja mengandung risiko yang sudah kita rasakan bersama. Penggundulan hutan dan gurun, sehingga menimbulkan kepunahan banyak spesies. Pencemaran air sungai, laut dan udara, hingga menimbulkan beragam jenis penyakit seperti kanker, jantung, asma, diabetes, hingga Covid-19 dan beragam penyakit degeneratif lainnya.
Secara psikis, berbagai macam delusi yang mengakibatkan stres dan depresi, kriminalitas, narkoba, obsesi terhadap kesuksesan duniawi, pemujaan selebriti dan miliarder, patah hati dan bunuh diri, hingga ketakutan akan kematian. Semuanya ini berpangkal lantaran kebanyakan mereka tidak melek lingkungan (buta alam), gagal paham, terputus dari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi posisi dan kedudukan mereka dalam kehidupan dunia ini.
Ini bukan khotbah atau ceramah agama di masjid maupun gereja. Tulisan ini juga bukan panduan bagaimana cara merawat lingkungan yang baik dan sentosa. Namun, saya ingin mengutarakan gugatan perihal satu hal yang menjadi penyebab dari kegalauan dan kerusakan mental dan spiritual anak bangsa, yakni soal uang yang menjadi alat likuid yang dipaksakan oleh sistem ekonomi moneter kita.
Bukan berarti saya setuju dengan pendapat beberapa ahli yang secara revolusioner memilih jalan hidup mengembara tanpa berbekal uang sama sekali. Juga saya tak pernah berpendapat bahwa uang adalah pangkal kejahatan di muka bumi ini. Tapi, saya ingin menegaskan pentingnya masyarakat mengubah paradigma soal fungsi uang. Dan saya merasa wajib untuk menegaskan, bahwa obat-obat yang manjur dan mujarab untuk menyembuhkan delusi dan kerusakan moral dan mental anak bangsa saat ini, bukanlah dengan uang.
Uang merupakan ayam sekaligus telur sehubungan dengan pemaknaan dari kondisi yang delusif ini. Kesadaran manusia yang terus berevolusi memungkinkan pemahaman yang lebih progresif dari pemikiran Adam Smith yang memahami uang dalam kerangka rasional tulen. Jika kita menghayati manusia yang merupakan bagian dari alam semesta, maka kepentingan egoisme diri, serasional apapun, jelas harus mengalah pada kamaslahatan umat yang lebih luas dan universal.
Sebab bagaimanapun, kepentingan diri juga meliputi pengambilan keputusan di saat menjaga diri dan keluarga, yang berarti juga harus melindungi tanah, sungai, laut, atmosfer, berikut hutan yang menyediakan hidrogen, oksigen, serta mineral penyusun unsur-unsur fisik yang memungkinkan kita bisa hidup damai, lapang, dan bisa bernafas.
Dulu, tanah-tanah yang kita diami dikelola bersama-sama. Rakyat mencari nafkah dari lahan ini serta memeliharanya bagi kepentingan mereka dan semua orang. Keputusan untuk memagari lahan mengakibatkan perpindahan banyak penduduk desa serta pengalihan lahan pertanian menjadi padang penggembalaan. Manusia pun digantikan oleh domba-domba. Setelah beberapa lama, para pengungsi ini seakan dipaksa menjadi “domba baru”, harus angkat kaki ke kota-kota besar serta menyerahkan jiwa raga mereka bagi kemajuan revolusi industri.
Ada berbagai alasan di balik pemagaran lahan tanah, tergantung dari pakar sejarawan mana kita merujuk. Tetapi, tidak sedikit yang berpendapat bahwa langkah tersebut umumnya ditujukan untuk mendorong penduduk agar berhijrah ke kota besar, ke pabrik industri, dan ujung-ujungnya pada dominasi ekonomi moneter dan upah yang kita terima hingga saat ini.
Tentu saja ini merupakan langkah cerdas bagi kaum bangsawan dan industrialis yang memperoleh manfaat dari situasi kondisi ini, meskipun tidak banyak bermanfaat bagi kemajuan peradaban umat manusia.
Masyarakat ekonomi
Di Indonesia, terlebih sejak era Orde Baru dan gencarnya dukungan dari negeri-negeri imperialis, langkah ini dikompori oleh kelicinan para ekonom dan pengusaha pribumi, politikus, tak terkecuali kalangan jurnalis dan sastrawan yang mengadopsi pola bahasa yang berkenaan dengan keuangan dan ekonomi moneter.
Padahal, di zaman kejayaan Yunani, mereka tidak memakai istilah “ekonomi”. Karena, menurut rakyat Yunani, pengertian yang berkonotasi ekonomi hanyalah pengelolaan kebutuhan rumah-tangga, yang berarti memenuhi kebutuhan logistik yang diperlukan untuk lingkungan rumah-tangga. Sistem logistik ini tidak serta-merta diartikan sebagai kebutuhan finansial. Tetapi saat ini, ketika istilah yang dipakai adalah “ekonomi” maka yang terpikirkan dalam imajinasi publik hanyalah soal duit dan uang melulu. Padahal, hutan yang terawat, sungai, laut dan lingkungan yang bersih, serta kehidupan yang sehat, tak lepas dari urusan-urusan ekonomi juga. Tetapi, manusia modern seakan memisahkan urusan-urusan itu, seakan tak ada kaitannya dengan soal finansial.
Penggunaan bahasa oleh kaum ekonom dan pengusaha di era modern yang cenderung manipulatif, telah menghasilkan keuntungan bagi segelintir orang atau pihak-pihak tertentu. Mereka mengembangkan pandangan politisnya sendiri, serta menganggap suatu kelompok masyarakat yang tak berurusan dengan ekonomi moneter hanyalah “fantasi utopis” yang hanya dianut oleh orang-orang pedalaman seperti Baduy, Dayak maupun Irian Jaya. Padahal, perubahan dalam sistem kepemilikan lahan yang tidak semestinya, merupakan cikal-bakal terjadinya krisis lingkungan hidup hingga hari ini.
Masyarakat pedesaan tradisional menggunakan lahan bersama untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup, baik dalam bentuk makanan, bahan bakar, kain tenun, hingga obat-obatan. Untuk melangsungkan hidup mereka perlu mempertahankan keragaman habitat, seperti kayu, tanah penggembalaan, ladang, sungai, rawa, maupun semak-belukar. Dalam habitat ini mereka juga menjaga keluasan spesies, binatang gembala, padi dan tanaman, kebun dan sayur-mayur, buah-buahan, rempah-rempah, obat-obatan, hingga hunian dan tempat tinggal.
Filosofi kehidupan orang-orang Baduy maupun Dayak, sangat kental dengan nuansa pemikiran ini. Yang mereka miliki hanya lahan, sehingga mereka harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Namun, ketika lahan bersama itu diprivatiasasi, mereka menyerahkannya kepada orang-orang yang memiliki prioritas untuk menghasilkan pundi-pundi uang. Cara paling efisien untuk menghasilkan uang adalah dengan memilih produk yang paling menguntungkan, meskipun sangat identik dengan keinginan dan kesenangan sesaat, dan bukan merupakan kebutuhan primer yang dapat mengedukasi masyarakat.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai filosofi orang Baduy maupun Dayak, fakta yang kita hadapi saat ini, bahwa akses terhadap lahan, baik untuk bercocok tanam maupun membangun sarang burung, telah menjadi hambatan yang sangat serius bagi orang-orang pedalaman yang tidak mengikatkan diri pada urusan ekonomi moneter. (*)