Sedang Membaca
Ibnu Khaldun sebagai Intelektual
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Ibnu Khaldun sebagai Intelektual

Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M) hidup pada masa ketika kekaisaran Islam di Barat sedang mengalami kehancuran. Mula-mula gerakan Murabithun, dan kemudian gerakan Muwahidun berhasil menghimpun umat di bawah satu panji.

Namun kurangnya kepemimpinan sekali lagi melemahkan otoritas pusat dan memecah kembali kekaisaran menjadi kerajaan kecil yang saling bersaing dan berkomplot. Banu Hafsh di Tunis, Marini di Moroko, Mahdi di Bijjayah, Banu Nashr di Granada, serta dinasti dan negara kecil lain yang kadang-kadang tak lebih besar daripada ibu kota mereka, mencapai titik terendah perpecahan dan perlawanan satu sama lain.

Sementara itu, Spaniard sedang mempersatukan kerajaan-kerajaan mereka, mengkonsolidasi pelbagai keuntungan mereka, menyaring lebih banyak konsesi dari kaum muslim, dan melanggar wilayah-wilayah yang dikendalikan kaum muslim.

Selama dua abad, provinsi demi provinsi Spanyol muslim jatuh ke tangan penyerbu Kristen dari Utara–Toledo pada 1085, Cordoba pada 1236, dan Seville pada 1248.

Inilah zaman intrik politik. Suksesi kekuasaan yang cepat dan keras di kalangan negara muslim yang kondisi umumnya merosot dan hancur. Kaum muslim saling berkomplot, beralih kesetiaan dari satu pemerintah dan kerajaan, demi kepentingan sendiri. Ibnu Khaldun tepat sekali masuk ke dalam lingkungan ini, seakan-akan dia tidak hanya dilahirkan dalam lingkungan ini, namun juga untuk lingkungan ini.

Ibnu Khaldun lahir di Tunis, belajar hukum dan sastra di sini. Dia bekerja di istana Tunis untuk beberapa lama, menunggu peluang untuk pengembangan diri. Tak jadi masalah kalau peluang yang ada menimbulkan pengkhianatan pada majikannya. Orang Maroko sedang mempersiapkan alasan untuk menyerang Tunis. Dan bagi Ibnu Khaldun, kemajuan merupakan alasan yang memadai untuk memberikan mereka informasi yang dibutuhkan.

Ketika kampanye Maroko gagal, Ibnu Khaldun lari menyelamatkan diri. Dia tiba di Fas di mana pelindungnya, Abu ‘Inan al-Marini, membawanya ke istana dan mengangkatnya menjadi sekretaris umum pemerintah.

Baca juga:  Perang Uhud dan Cinta yang Tak Sederhana

Ibnu Khaldun segera melihat bahwa peluang untuk maju lebih besar di tempat lain. Dia berkomplot melawan majikan barunya, demi keuntungan penguasa Bijjayah. Dan dia menuntut jabatan sebagai wazir (menteri) di Bijjayah sebagai imbalan pengkhianatannya. Penguasa Marini di Fas membongkar komplotan ini, dan Ibnu Khaldun dipenjarakan selama dua tahun.

Dari penjara dia berkorespondensi dengan Sultan Qassantinah. Pemimpin ini juga dikhianati oleh Ibnu Khaldun, kali ini demi keuntungan Sultan Tilimsan. Sultan Tilimsan pun menemui nasib serupa, ketika Ibnu Khaldun mencoba menarik hati Sultan Marrakisy.

Skenario serupa berulang di Marrakisy dan Granada sampai reputasi buruk Ibnu Khaldun tak memungkinkannya tinggal di mana pun di wilayah Maghrib, dari Tunis sampai Atlantik. Dia kemudian memutuskan mengadu nasib di Timur.

Dia pergi ke Mesir, dan bekerja pada penguasa Mesir. Penguasa Mesir menugaskannya ke Timurlank (Tamerlane) dalam misi berbahaya. Pada saat itu, Timurlank menduduki Damaskus. Misi ini berhasil, dan Ibnu Khaldun dianugerahi banyak penghargaan.

Bukan pertama kali ini Ibnu Khaldun berhasil dalam misi diplomatik. Dia berhasil dengan cergas dalam setiap misi yang dipercayakan kepadanya oleh banyak tuannya. Inilah suatu fakta yang membuktikan kecemerlangan dan penilaiannya yang jitu atas pelbagai konflik yang harus diselesaikannya. Begitu pun, dia ingin kembali ke Maghrib.

Pada 774/1375, Ibnu Khaldun dipenjarakan di benteng Ibnu Salamah. Menurut Ibn Khaldun, inilah saatnya untuk menulis apa yang telah diketahui ihwal nasib bangsa-bangsa selama hidupnya dan pengalaman jatuh bangunnya bangsa itu.

Menulis

Untuk metodenya, Ibnu Khaldun mengikuti jejak filosof Hellenistik Muslim–al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd–yang membagi pengetahuan jadi dua bidang. Pertama; bidang kebenaran rasional, yang kriteria dan hakimnya adalah nalar, dan kedua; bidang kebenaran spiritual di mana yang tertinggi adalah wahyu dan kenabian. Sesungguhnya dia menyalahkan filosof karena mencoba merekonstruksi syariat dan wahyu dengan nalar dan filsafat.

Baca juga:  Guru Majid dan Tukang Cukur

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa keduanya akan selalu berbeda, dalam kemampuan maupun metode yang berlaku. Filosof mencoba merujukkan apa yang tidak dirujukkan.

Akal tak akan pernah mencapai kebenaran spiritual, karena kebenaran spiritual bukan tujuan akal seperti musykilnya bagi mata melihat suara atau telinga mendengar cahaya. Seluruh kebenaran transenden berada di luar batas kekuatan akal. Kebenaran transenden harus dicari dalam kenabian, bukan dalam akal.

Bisa jadi klasifikasinya pada semua pengetahuan religius di luar bidang akal mendorong Ibnu Khaldun untuk mengisi kekosongan dengan ilmu manusia. Tidak satu filosof pun membatasi batas kekuasaan akal dengan sangat radikal. Semua filosof menghendaki, dan mengisyaratkan bahwa cukup luas kekuasaan untuk menilai seluruh masalah, termasuk masalah spiritual.

Dalam klasifikasi Ibnu Khaldun, pembagiannya bersifat kategoris. Dua bidang tak dapat dan tak mungkin bertemu di bawah akal dan harus tetap terpisah. Karena itu, akal dinilai berkenan dengan alam semesta. Perspektif baru tentang masyarakat manusia ini bertanggung jawab atas upaya Ibnu Khaldun mencari dan menemukan hukum yang mengatur masyarakat, sebagaimana dia berupaya mencari hukum yang mengatur gejala alam.

Auguste Comte, bapak ilmu sosial modern, menempatkan hubungan sosial di bawah kendali akal empiris. Dia terpesona pada kebesaran dan janji ilmu pengetahuan, menyusul prestasi dan kemenangan sains atas Dewan Gereja.

Ibnu Khaldun telah mendahului Comte lebih dari setengah abad. Ibnu Khaldun menempatkan hubungan sosial di bawah kendali visi alamiahnya perihal upaya ilmiah dan realitas manusia yang lebih jelas.

Visi alamiah realitas manusia tampaknya menentang ilmu pengetahuan dan berada di luar ilmu pengetahuan. Ini mendorong Ibnu Khaldun untuk mengkaji problemnya lebih dekat lagi.

Setelah menemukan pergolakan dalam wilayah reliigius, Ibnu Khaldun memisahkan wilayah itu dari bidang urusan manusia. Dia menyangkal yurisdiksi akal untuk menilai dalam wilayah itu, dan memberikan tempat permanen dan pasti bagi yang tersisa–yaitu hubungan sosial–di bawah kekuatan nalar.

Baca juga:  Obituari: Menapaktilasi Kehidupan Kiai Fu'ad Mun'im Djazuli

Hubungan sosial memiliki sebab dan akibatnya seperti gejala alam. Sejarawan harus menentukan sebab dan akibatnya dengan argumentasi dan bukti, seperti ilmuwan yang meneliti peristiwa alam.

Untuk penelitian seperti itu, sejarah merupakan laboratorium, sedangkan sosiologi–ilmu tentang masyarakat manusia–adalah produknya. Dia yakin bahwa penelitian seperti itu adalah ilmu, yang otonom dan baru, dengan materi subjek, tujuan, dan metode yang terdefenisikan dengan jelas seperti lainnya.

Sebelum Ibnu Khaldun, banyak buku ditulis yang menceritakan ihwal raja dan penguasa dan menunjukkan kesuksesan dan kegagalan di antara mereka. Banyak buku lainnya membahas bagaimana memantapkan dan memelihara tatanan sosial, atau melukiskan masyarakat ideal yang menjadi tujuan manusia. Karya-karya Yunani tak pernah ke luar dari tema-tema ini. Ibnu Khaldun melakukannya.

Dia meneliti hukum-hukum yang dapat mengatur perkembangan, kemajuan dan kehancuran semua masyarakat. Dia berupaya untuk menetapkannya sebagai petunjuk untuk ramalan masa depan masyarakat.

Pandangan-pandangan Ibnu Khaldun membawanya pada teori siklis sejarah: Masyarakat lahir dan tumbuh lalu mati, dan digantikan masyarakat lain, yang juga tumbuh dan mati, seperti pendahulunya.

Jelas, perspektif Ibn Khaldun tentang sejarah manusia bertentangan dengan filsafat Alquran yang mengatakan bahwa bangun dan jatuhnya bangsa bergantung pada pelaksanaan atau pelanggaran atas ketentuan Ilahi, yang salah satunya selalu mungkin terjadi.

Menurut istilah Ibn Khaldun, bangun dan jatuhnya bangsa diatur oleh hukum alam yang pasti; aktualisasinya dapat tertunda selama satu, dua atau tiga generasi, yang pasti tak terelakkan.

Dia memandang hukum moral sebagai tak relevan dengan pembentangan sejarah. Satu-satunya faktor yang relevan adalah pengembangan ‘ashabiyyah (ikatan antara anggota-anggota dari suku yang sama) atau kehendak untuk memanfaatkannya. Karena filsafat ini teraktualisasi dalam kehidupan pribadi Ibnu Khaldun, maka akan tetap menjadi pertanyaan apakah kehidupannya hancur karena pikirannya, atau pikirannya disesatkan oleh kehidupannya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top