Untuk mengenang hari wafatnya Kusno Sosrodihardjo alias Sukarno tulisan ini akan mengulas sosok beliau melalui kaca mata Nahdliyin. Dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, Sukarno menulis mengenai latar keagamaan dan keyakinan keluarganya. Sukarno mengenang bapaknya sebagai penganut nilai-nilai leluhur Jawa atau kejawen tulen. Seperti contoh ayahnya pernah tidur di bawah dipan selama Sukarno kecil sakit-sakitan, hal itu diyakini sebagai ritual agar penyakit anaknya diangkat oleh Gusti Allah. Hal yang kemudian disayangkan olehnya semasa muda kala bersingunggan dengan paham Wahabi.
Sebenarnya pandangan Sukarno mengenai Islam mulai terbentuk semasa ngekost di rumah HOS. Cokroaminoto, seorang tokoh sentral Sarekat Islam yang banyak membentuk kepribadian Sukarno muda. Sukarno semakin mendalami Islam saat menjalani masa pembuanganya di Bengkulu dan Sukamiskin. Di Bengkulu Sukarno belajar pada Hasan Din, tokoh Muhammadiyah. Sedang di Sukamiskin Sukarno banyak mendalami wacana keislaman melalui Ahmad Hasan tokoh Persatuan Islam.
Dialektika Sukarno dan A Hasan terjadi melalui surat menyurat yang sebagian suratnya di cantumkan dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi dan Islam Sontoloyo. A Hasan banyak mempengaruhi pikiran keislaman Sukarno. Baik melalui isi surat-suratnya maupun literatur bacaan yang dikirim A. Hasan untuk Sukarno. Bahkan Sukarno pernah begitu kagum kepada ideologi Wahabi, bahkan menerjemahkan buku biografi Ibnu Saud setebal 400 halaman.
Pada fase inilah kita mengenal Sukarno sebagai kader Muhammadiyah dan pengagum ideologi Wahabi yang modernis anti tahayul, bid’ah dan khurafat. Persinggungan Sukarno dengan kalangan pesantren yang dianggapnya sebagai kelompok tradisional terbilang terlambat bila dibanding dengan kelompok modernis. Sukarno mulai intens menjalin hubungan dengan para kiai Nahdlatul Ulama dikarenakan adanya persamaan visi antaranya dengan para kiai NU.
Bahkan, selama perjuangan perebutan kemerdekaan Bung Karno selalu berkorespondensi dengan KH Hasyim Asyari dan meminta restu. Selain itu, Sukarno juga pernah bertanya dalam surat korespondensinya, “Apa hukumnya bagi kita semua untuk membela negara?” Yang dibalas oleh KH Hasyim Asyari dengan tegas bahwa hukumnya adalah fardu ain. Artinya, wajib bagi kita membela tanah air. Kewajiban bagi kelompok pesantren dalam merajut kemerdekaan, kebersamaan dan kebangsaan inilah yang menjadi saripati titik temu pemikiran yang menjadi salah satu pergerakan Indonesia. Yang akhirnya, mengantarkan bangsa ini pada kemerdekaan.
Kepercayaan Sukarno pada Nahdlatul Ulama semakin kuat. Kala KH. Wahid Hasyim berhasil meredam polemik penghapusan piagam jakarta yang disiasati dengan rumusan ke-Tuhan-an yang Maha Esa. Dalam sejarahnya NU berkomitmen mengawal perjalanan bangsa. Bahkan saat pandangan politik Sukarno mulai banyak ditentang oleh sahabatnya sendiri seperti terjadinya pemberontakan DI/TII dan Permesta yang memaksanya berhadapan dengan para sahabatnya. NU selalu setia menemani Sukarno menjaga konsepsi dan persatuan bangsa.
NU dan Bung Karno menjadi semakin dekat, karena kesamaan ideologi nasionalis dalam bernegara. Kedekatan tersebut tanpa menghilangkan sikap kritis NU pada Sukarno. Kiai Waahab misalnya pernah mengatakan dalam pidatonya bahwa, ”Sukarno tanpa NO (NU) akan menjadi Sukar (susah) menjalankan program politiknya. Demikian juga Bung Karno tanpa NO (NU) akan menjadi bongkar (didongkel orang).”
Ternyata pernyataan itu ada benarnya, ketika tuntutan NU pada Bung Karno untuk segera membubarkan PKI, karena partai tersebut selalu menimbulkan ketegangan serta konflik sosial. Hubungan NU Bung Karno menjadi renggang sebab Sukarno teguh pada pendirian Nasakom-nya. maka saat itu Bung Karno bergerak tanpa NU, akhirnya Bung Karno dijatuhkan oleh berbagai kekuatan termasuk kekuatan kolonialisme asing. Namun tidak memungkiri Sukarno mencintai para kiai, pesantren dan Nahdlatul Ulama.
Hal ini pernah diutarakanya secara langsung pada pidato pembukaan Muktamar NU ke-23. “Saya sangat cinta sekali kepada NU. Saya sangat gelisah jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke mukamar ini, agar orang idak meragukan kecintaan saya kepada NU!” tegas Sukarno kala itu. Saat Muktamar NU Tahun 1954 di Surabaya. Nahdlatul Ulama pernah memberikan gelar pada Bung Karno. Sebagai ‘Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah’ berarti pemimpin pemerintahan di masa darurat. Gelar itu sangat penting, membuat kebijakan-kebijakan Bung Karno sebagai pemimpin pemerintahan di masa darurat, mengikat secara sah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.
Sukarno dan NU mengingatkan saya pada pesan Hadratus syeikh Hasyim Asy’ari. Bahwa Agama dan Nasionalisme adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan dipertentangkan. Selamat ulang tahun Bung Karno. Beristirahatlah dengan tenang, bangsa ini akan baik-baik saja selama NU masih tetap ada. (RM)