Sebenarnya ada 2 orang murid Imam Syafi’i yang bernama Rabi’ bin Sulaiman. Pertama adalah Rabi’ bin Sulaiman al-Murodi al-Muadzin, muazin sekaligus khodim Imam Syafi’i. Kedua adalah Rabi’ bin Sulaiman al-Jizi al-A’raj, murid Imam Syafi’i yang pincang, makanya dijuluki al-A’raj. Sosok pertamalah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
Nama lengkapnya adalah Rabi’ bin Sulaiman bin Abd al-Jabar bin Kamil al-Murodi al-Muadzin. Ia lahir pada tahun 174 Hijriyyah. Rabi’ ngangsu kaweruh (belajar) kepada Imam Syafi’i sejak berumur 10 tahun. Ia juga termasuk santri kawakan Imam Syafi’i di Mesir beserta beberapa rekannya, seperti al-Muzanni dan al-Buwaithi. Selain belajar, Rabi’ juga merupakan petugas azan (muazin) di Masjid Amr bin Ash, Fustat, Mesir (Alhamdulillah, penulis sempat mengunjungi masjid ini untuk sholat ied beberapa hari yang lalu…hehe).
Rabi’ belajar kepada banyak ulama kenamaan, seperti Ibnu Wahab, Syuaib bin Laits, Asad bin Musa, dan tentunya guru utamanya, Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Termasuk anak didiknya yang populer antara lain: Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Abu Zur’ah ar-Rozi, dan at-Tirmidzi (walapun hanya lewat ijazah).
Dalam kitab an-Nujum az-Zahiroh, Abu al-Mahasin at-Tabiki mendeskripsikan Rabi’ sebagai seorang fakih, mempunyai banyak keutamaan, terpercaya, dan beragama dengan baik. Ia adalah khadim (biasanya digunakan untuk sebutan santri yang menajadi pelayan kebutuhan gurunya sehari-hari) kepercayaan Imam Syafi’i kapan pun dan di mana pun sang guru berada. Saking berbaktinya dalam mengerahkan seluruh jiwa dan raganya untuk melayani sang guru, Imam Syafi’i memuji Rabi’ dengan mengatakan: “Tidak ada muridku yang melayaniku sebaik dan seihlas Rabi’ al-Murodi.”
Ketika mondok, Rabi’ termasuk murid yang bati’ al-fahm (mempunyai kecerdasan di bawah rata-rata). Konon, Imam Syafi’i harus mengulang satu persoalan sebanyak 40 kali, tapi Robi’ tetap belum paham. Lalu ia meninggalkan majelis karena malu dengan teman-temannya. Setelah selesai mengajar, biasanya Imam Syafi’i akan memanggil Rabi’ ke tempat sepi dan mengulangi persoalan tadi sampai murid kesayangannya itu paham.
Sejatinya, Imam Syafi’i sangat menginginkan agar Rabi’ bisa memahami ilmu darinya, hingga sang Imam pernah berkata: “Seandainya aku bisa memberi ilmu lewat perantara makanan, niscaya aku akan melakukannya.” Walapun demikian, ia adalah pembelajar hebat dan pantang menyerah sehingga ia mendapatkan futuh (dibuka hatinya oleh Allah) dan akhirnya menjadi salah satu ulama yang berperan besar akan perkembangan Mazhab Syafi’i, terutama apabila menyangkut masalah periwayatan kitab-kitab karya Imam Syafi’i.
Untuk memuji kesabaran dan keuletan sosok Rabi’ dalam mencari ilmu, Ibnu Khalikhan menulisakan beberapa bait syair dalam kitab Waffiyatu al-A’yan, sebagai berikut:
صـبراً جميلاً، ما أسرع الفرجا من صدق الله في الأمـور نجا
من خشي الله لم ينلـه أذى ومـن رجـا الله كان حيث رجا
“Ia (Rabi’) adalah sosok yang sangat sabar dan tidak mudah menyerah (dalam mencari ilmu).
Barang siapa mempercayakan urusannya pada Allah (seperti Rabi’), niscaya ia akan selamat.
Barang siapa takut pada allah (sebagaimana Rabi’), maka ia tidak akan mendapat kekecewaan.
Barang siapa mengharap kepada Allah (seperti Rabi’), Niscaya akan ia dapatkan apa yang diharapkan.”
Kalau al-Muzanni adalah nashir (pembela) Mazhab, maka Rabi’ bisa dikatakan sebagai riwayat Mazhab Syafi’i. Gelar ini disematkan padanya karena ia adalah murid Imam Syafi’i yang paling menguasai periwayatan dan isi kitab-kitab sang guru. Sahabatnya, al-Buwaithi mengakui bahwa soal hafalan dan periwayatan kitab-kitab Imam Syafi’i, Rabi’ lebih unggul daripada dirinya. Hal ini juga didukung pernyataan Imam Syafi’i yang menuturkan: “Rabi adalah riwayat mazhabku.”
Tak heran, sepeninggalan Imam Syafi’i, terhitung sebanyak 200 orang dari berbagai daerah berbondong-bondong datang belajar kepada Rabi’ untuk mendengarkan kitab-kitab karangan Imam Syafi’i melalui mulutnya secara langsung.
Rabi’ menutup usia pada hari Senin, 20 Syawal 270 Hijriyyah dan dikebumikan esok harinya. Jenazahnya disholati oleh Raja Khumarowaih bin Ahmad bin Thulun (penguasa Mesir saat itu). Ia adalah sosok ulama yang memberi teladan bahwa kewajiban kita hanyalah belajar, bukan menjadi pintar dan kecerdasan hanyalah bonus.
Rabi’ al-Murodi juga menjadi bukti kebenaran sebuah adagium yang populer di kalangan santri, min asbab al-futuh al-khidmah, bahwa termasuk salah satu penyebab futuh (dibuka pemahaman oleh Allah) adalah melayani guru dengan sepenuh hati.
Referensi:
- As-Subki, Tajuddin. 2019. Thobaqot as-Syafi’iyyah al-Kubro. Kairo: Dar al-Faruq.
- Khallikan, Ahmad Ibnu. 2012. Waffiyatu al-A’yan. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
- Ad-Dimasyqi, Abu al-Falah. 1988. Syadzarat adz-Dzahab. Beirut: Dar Ibnu Katsir.
- Al-Asqolani, al-Hafidz Ibnu Hajar. Tt. Tahdzib at-Tahdzib. Kairo: Dar al-Kitab al-Islami.
- As-Syairozi, Abu Ishaq. 1981. Thobaqot al-Fuqoha’. Beirut: Dar ar-Roid al-Arabi.
- Al-Ubadi, Abu al-Ashim. Tt. Thobaqot al-Fuqoha, as-Syafi’iyyah. Alexandria: Maktabah al-Baladiyyah.
- At-Tabiki, Abu al-Mahasin. Tt. An-Nujum az-Zahiroh. Kairo: Dar al-Kutub.
- Al-Isnawi, Abdurrahman. 1987. Thobaqot as-Syafi’iyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.