Ketika Imam Syafi’i hidup di Mekkah dengan ibunya, dia tidak tidak punya pekerjaan untuk mecukupi kebutuhan hidupnya. Lalu sebagian orang dari keturunan Quraisy mengusulkan kepada Gubernur Yaman yang pada waktu itu sedang lewat di Mekkah untuk mempekerjakan Imam Syafi’i dalam pemerintahannya dan menjadi pembantunya di sana.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Aziz al-Badri dalam karyanya Al-Islam baina al-Ulama wa al-Hukkam, bahwa Imam Syafi’i bahkan sempat mengaku, “Ibu saya tidak punya apa-apa untuk saya jadikan bekal, lalu saya menggadaikan rumah dan uangnya saya jadikan bekal untuk pergi bersama gubernur itu. Ketika sampai di sana saya bekerja kepadanya.”
Dalam melakukan pekerjaannya di Yaman yaitu di Najran, Imam Syafi’i menegakkan kebenaran dan menyebarluaskan keadilan. Dia memiliki kepribadian yang berprinsip dengan nilai-nilai Islam, akal yang cerdas dan jiwa yang lurus hingga kepribadiannya yang baik itu terkenal di Mekkah dan Najran. Mereka melihat bahwa pada dirin Imam Syafi’i terdapat teladan yang baik bagi orang yang memegang urusan manusia.
Ketika Imam Syafi’i ditugaskan di Najran, yang di dalamnya ada Bani Haris bin Abdullah al-Madan, para wali di Tsaqif. Yang mana jika para wali datang kepada orang-orang, maka mereka harus menghormatinya. Namun hal tersebut tidak dilakukan oleh Imam Syafi’i.
Ketika Imam Syafi’i tidak melakukan penyambutan kepada mereka, dan tidak menghormati gubernur dan pemimpinnya sebagaimana yang diperintahkan, namun Imam Syafi’i justru berdiri tegap melarang setiap kezaliman yang akan dilakukannya kepada rakyat. Dan juga mengkritiknya dalam segala urusan, dan menentang setiap kejahatan yang dilakukannya. Imam Syafi’i kemudian dianggap crewet seperti perkataan gubernur waktu itu “dia bekerja dengan lisannya (crewet) karena tidak mampu berperang dengan pedangnya.”
Sikap Imam Syafi’i pun membuat dada gubernur menjadi sempit, dan ingin berbuat jahat kepada Imam Syafi’i. Gubernur tersebut kemudian membuat strategi dengan memasukkan Imam Syafi’i ke dalam daftar sembilan orang yang dituduh sebagai pemberontak. Dan identitas tersebut telah didengar oleh Harun Al-Rasyid, bahkan dia sudah siap-siap menjatuhkan hukuman berat kepada nama-nama tersebut.
Dengan tipu daya inilah, gubernur itu berusaha untuk membebaskan dirinya dari orang yang selalu memotong jalannya untuk melampiaskan hawa nafsunya dan memuaskan keinginan jahatnya. Tanpa melihatnya secara detail, kesembilan orang itu dan kesepuluhnya adalah Imam Syafi’i. Digiringlah mereka semua sebagai tawanan dengan tangan dibelenggu ke leher. Mereka digiring dari Yaman ke Baghdad untuk dihadapkan kepada Harun Al-Rasyid, yang ditemani tiga orang tentara untuk mempertegas tuduhan yang membahayakan itu. Tuduhan penghianatan besar agar pelakunya mendapat hukuman berat.
Sepuluh orang itu akhirnya menghadap Harun Al-Rasyid dengan keadaan terbelenggu, dan diancam pedang. Sedangkan tentara yang membawa persenjataan telah siap-siap di ruang hukuman dalam istana kerajaan. Mereka menunggu perintah Harun Al-Rasyid, tidak melanggar perintah dan mengerjakan apa yang diperintahkan.
Dalam keadaan tertekan, pedang dan kematian serta tertuduh, Imam Syafi’i berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu tentang dua orang. Satu melihatku sebagai saudara, dan satunya melihatku sebagai budaknya. Mana kira kira yang lebih saya sukai?” Mendengar perkataan tersebut, Harun Al-Rasyid berkata, “yang melihatmu sebagai saudara.”
Kemudian Imam Syafi’i lanjut berkata, “Demikian pula kamu wahai Amirul Mukminin, bahwa kamu adalah anak Abbas dan mereka anak Ali dan kita keturunan Al-Muthalib. Kamu adalah anak Abbas, yang melihat kami sebagai saudara dan melihat kami sebagai hamba mereka.”
Setelah Imam Syafi’i menjelaskan bahwa dia memiliki kemampuan dalam bidang fiqh, dan Hasan Syaibani mengetahui hal itu, maka Harun Al-Rasyid bertanya kepada Hasan asy-Syaibani dan beliau menjawab bahwa Imam Syafi’i mempunyai banyak ilmu. Karena Muhammad bin Hasan asy-Syaibani pernah bertemu Imam Syafi’I, dan tentunya dalam rangka belajar ilmu terutama dalam fiqh dan masalah syariat.
Kemudian Hasan asy-Syaibani berkata kepada Khalifah, “Dengan demikian tuduhan atasnya itu tidak benar.”
Harun Al-Rasyid kemudian berkata, “Ajaklah dia bersamamu hingga saya melihat masalahnya.”
Akhirnya, Imam Syafi’i selamat dari hukuman mati karena fitnah yang dialamatkan kepadanya akibat adanya polemik dengan gubernur yang tidak mau dikritik dan diingatkan oleh Imam Syafi’i.