Sedang Membaca
Tahqiqul Hayawan: Fikih Fauna dan Farmakologi Karya KH. A. Yasin Asymuni Kediri (1989)

Dosen di UNU Jakarta. Selain itu, menulis buku dan menerjemah

Tahqiqul Hayawan: Fikih Fauna dan Farmakologi Karya KH. A. Yasin Asymuni Kediri (1989)

Ini adalah kitab Tahqiqul Hayawan fi Bayan Ahkam wa Khawwashil Hayawan wa Ahkam Ghairihi wat Tadawi bin Najas karangan KH. Ahmad Yasin Asymuni, Ketua Lajnah Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur dan juga pengasuh pesantren tradisional Hidayatut Thullab, Petuk, Semen, Kediri (Jawa Timur).

 

Kitab berbahasa Arab dan berisi kajian fikih fauna (fiqhul hayawan) secara khusus dan terperinci, seperti jenis-jenis hewan yang hidup di darat dan laut, hewan-hewan yang halal dan haram dikonsumsi, termasuk hukum berburu hewan dan tatacara menyembelihnya secara halal. Kitab ini juga mengkaji ilmu berobat (farmakologi) dengan beberapa jenis hewan, termasuk dengan hewan dan benda-benda yang dihukumi najis.

 

Dalam kolofon, didapati informasi jika karya ini diselesaikan pada Ahad, 17 Safar 1410 Hijri (19 September 1989). Kitab ini kemudian dicetak secara mandiri oleh Pesantren Hidayatut Thullab, Petuk, Semen, Kediri (tanpa menyertakan tahun cetak). Jumlah keseluruhan halaman kitab ini mencapai 84 halaman.

 

Pengarang menulis:

وقد تمت هذه الرسالة المسماة بتحقيق الحيوان في بيان أحكام وخواص الحيوان وأحكام غيره والتداوى بالنجس وبيان تذكيته وصوره بعون الله الذي جعل الحيوان طعاما لعباده يوم الأحد السابع عشر من صفر سنة ألف وأربعمائة وعشرة من الهجرة النبوية

Baca juga:  Pemetik Puisi (24): Tak Lengkap, Tak Selesai

 

Telah selesai risalah ini yang bernama Tahqiqul Hayawan fi Bayan Ahkam wa Khawwashil Hayawan wa Ahkam Ghairihi wat Tadawi bin Najas wa Bayan Tadzkiyyatihi wa Shuwarihi (Tahqiq al-Hayawan dalam Menjelaskan Hukum-Hukum dan Kekhususan Hewan, Serta Hukum-Hukum Selainnya, Juga Hukum Berobat dengan Hewan-Benda yang Najis Serta Menerangkan Cara Menyembelihnya dan Hukum Menggambar Hewan) atas pertolongan Allah yang telah menjadikan hewan sebagai makanan untuk hamba-hamba-Nya, pada hari Ahad 17 Safar tahun 1410 Hijri).

 

Saya membeli kitab ini di toko kitab Hasan Putra di kawasan Simpang Lima, Kudus, Jawa Tengah pada 2 Juni 2000 seharga Rp. 6500 (enam ribu lima ratus). Hampir di setiap pengajian pasanan (pengajian yang khusus digelar pada libur bulan Sya’ban-Ramadan) di Pesantren Lirboyo, kitab ini selalu dibacakan oleh seorang ustaz. Pengarang kitab ini juga tercatat sebagai salah satu alumnus Pesantren Lirboyo.

 

Dalam pengantarnya, pengarang mengatakan, karyanya ini merupakan himpunan beberapa pandangan dan pemikiran yang ia nukilkan dari kitab-kitab fikih mazhab Syafi’i yang populer dan terakui keabsahannya. Pengarang menulis:

 

أما بعد فهذه عبارات مأخوذة من الكتب الشافعية المعتبرة وسميتها “تحقيق الحيوان” … ومعرفته من أكد مهمات الدين لأن معرفة الحلال والحرام فرض عين

Baca juga:  Pers dan Jurnalisme Sains

 

Amma ba’du. Ini adalah beberapa kutipan yang saya ambil dari beberapa kitab rujukan fikih mazhab Syafi’i yang populer dan diakui keabsahannya. Saya namakan risalah ini dengan Tahqiqul Hayawan … Mengetahui detail fikih hewan ini adalah hal yang sangat penting dalam agama kita, karena mengetahui hal yang halal dan haram adalah fardu ‘ain bagi setiap Muslim.

 

Kitab ini mendapatkan taqrizh (endorsement) dari KH. Ahmad Idris Marzuqi Dahlan (w. 2014), pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri dan juga keponakan dari Syaikh Ihsan Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri (Syaikh Ihsan Jampes, w. 1951), pengarang kitab Sirajut Thalibin yang merupakan syarah atas kitab Minhajul ‘Abidin karangan al-Imam al-Ghazali (w. 1111 M). Taqrizh lainnya ditulis oleh KH. Abdul Halim Syafi’i, Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Cabang (PCNU) Kediri.

 

Sebelum Tahqiqul Hayawan ini, terdapat kitab bertema fikih fauna lainnya karangan seorang ulama Nusantara yang juga ditulis dalam bahasa Arab, yaitu as-Shawa’iqul Muhriqah lil Awhamil Kadzibah fi Bayan Hall al-Belut karangan Syaikh Mukhtar Bogor (w. 1930), ulama asal Bogor yang mengajar di Masjidil Haram Makkah.

Kitab as-Shawa’iq karangan Syaikh Mukhtar Bogor mengkaji hukum belut dan hewan-hewan air lainnya yang hidup di iklim tropis Nusantara seperti kepiting, keong, tutut, kangkang, susuh, dan lain sebagainya, yang tidak ditemui keberadaannya di Jazirah Arab.

Baca juga:  Pesantren, Gus Dur, dan Pak Masdar Farid Mas’udi

 

Majalengka, Maret 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top