Sedang Membaca
Sejarah Wabah Amwas di Suriah
Mohammad Pandu
Penulis Kolom

Aktif di Komunitas Santri Gus Dur. Belum lama lulus kuliah di salah satu kampus negeri di Jogja. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas.

Sejarah Wabah Amwas di Suriah

Img 20210410 063727

Dunia Islam pernah dilanda wabah parah. Wabah yang terjadi jauh sebelum Covid-19 di abad ini, bahkan sebelum Wabah Hitam (Black Death) pada abad ke-14 yang menghebohkan Eropa. Kita sering mendengarnya dengan istilah Wabah Tha’un. Meskipun sebenarnya kalau kita kupas secara literal, tha’un (طاعون) sendiri berarti wabah dalam bahasa Arab.

Dalam sejarahnya, Wabah Tha’un merupakan Wabah Amwas yang terjadi di Syam (sekarang Suriah) pada abad ke-7. Tepatnya sekitar tahun 638 Masehi atau 17 Hijriah, ketika tampuk tertinggi kekuasaan Islam dipegang oleh Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat Wabah Amwas terjadi, Umar bin Khattab baru sekitar empat tahun menjabat sebagai khalifah, sedangkan Syam baru saja memasuki tahap akhir penakhlukan oleh kekhalifahan Islam dari tangan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium).

Karena persebarannya yang “terbatas”, Wabah Amwas masih belum bisa disebut sebagai pandemi, melainkan epidemi. Menurut Michael W. Dols, dalam artikelnya “Plague in Early Islamic History”, wabah ini pada mulanya hanya tersebar di seputar Syam, namun belakangan merembet hingga ke Irak dan Mesir. Epidemi Amwas juga menyebabkan sekitar 25.000 tentara muslim meninggal dunia.

Dols menyebut bahwa wabah ini disebabkan oleh tikus yang terinfeksi penyakit. Gerombolan tikus tersebut menyerang kota karena tertarik dengan cadangan makanan yang ada. Di sisi lain, pada saat itu Syam sedang dilanda kelaparan, sehingga membuat imun para warganya menurun. Meski belum ada catatan sejarah yang memastikan bentuk penyakitnya, namun jika melihat penyebab Wabah Amwas yang mirip Wabah Hitam, kemungkinan wabah ini membawa penyakit pes (sampar) yang diakibatkan oleh hewan pengerat seperti tikus.

Baca juga:  Sejarah Baghdad Berabad Lampau

Wabah Amwas merupakan latar belakang dari kisah populer tentang Umar bin Khattab yang “menghindari takdir”. Alkisah, Khalifah Umar beserta rombongannya melakukan perjalanan ke Syam. Dia memerintahkan Abu Ubaidah, panglima perang yang ditempatkan di Syam, untuk pindah ke Madinah dan menghindari wabah. Namun Abu Ubaidah menolak karena tidak ingin menghindari takdirnya dan tidak mau meninggalkan pasukannya.

Penolakan Abu Ubaidah tersebut membuat Khalifah Umar mendatangi Syam untuk meninjau keadaan dan bermusyawarah. Di sebuah tempat bernama Sargh, dia bertemu dengan Abu Ubaidah dan para sahabat lainnya, seperti Abdurrahman bin Auf dan Abdullah bin Abbas. Di sana Khalifah Umar menggelar musyawarah dengan para sahabat dari kaum Muhajirin, Anshar, dan Quraish untuk menentukan sikap kaum muslim terhadap wabah.

Ketika Umar memanggil orang-orang Muhajirin pertama, mereka berdebat panjang. Lalu dia ganti memanggil kaum Anshar untuk bermusyawarah, namun mereka juga kembali berdebat seperti sebelumnya. Musyawarah tersebut belum menemukan titik temu. Akhirnya Umar memanggil para pembesar Quraish untuk bermusyawarah dan menemukan sebuah titik terang. “Menurut kami, engkau harus mengevakuasi orang-orang itu, dan jangan biarkan mereka mendatangi wabah ini,” kata salah seorang pembesar Quraish. Umar menyetujuinya.

Kemudian Abu Ubaidah mempertanyakan kembali, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah ini lari dari takdir Allah?”

Baca juga:  Alegori Asal-Usul Adonan Fiqh

“Benar,” jawab Umar. “Ini lari atau berpaling dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain. Tidakkah engkau melihat, seandainya saja engkau memiliki unta dan lewat di suatu lembah, lalu menemukan dua tempat untuk untamu; yang pertama subur dan yang kedua gersang. Bukankah engkau akan memelihara unta itu di tempat yang subur? Itulah takdir Allah. Demikian juga apabila engkau memeliharanya di tempat yang gersang, itu juga takdir Allah.”

Umar bin Khattab beserta rombongannya kemudian kembali ke Madinah untuk meninggalkan wabah. Mereka semua selamat. Sedangkan Abu Ubaidah meninggal dunia ketika berada dalam perjalanan bersama pasukannya di Syam. Posisi Abu Ubaidah lalu digantikan oleh Muadz bin Jabal yang tak lama berselang juga meninggal karena wabah. Muadz bin Jabal meninggal di usia yang masih sangat muda, yaitu 33 tahun. Wabah Amwas sendiri mulai mereda pada tahun 639 Masehi atau 18 Hijriah, atau setahun setelahnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top